Hakekat Evolusi dalam Pendidikan Islam

PARA ahli Filsafat Pendidikan, menyatakan bahwa dalam merumuskan pengertian pendidikan sebenarnya sangat tergantung kepada pandangan terhadap manusia; hakikat, sifat-sifat atau karakteristik dan tujuan hidup manusia itu sendiri. Perumusan pendidikan bergantung kepada pandangan hidupnya, “apakah manusia dilihat sebagai kesatuan badan dan jasmani; badan, jiwa dan roh, atau jasmani dan rohani? Apakah manusia pada hakekatnya dianggap memiliki kemampuan bawaan (innate) yang menentukan perkembangannya dalam lingkungannya, atau lingkungannyalah yang menentukan (domain) dalam perkembangan manusia? 
Bagimanakah kedudukan individu dalam masyarakat? Apakah tujuan hidup manusia? Apakah manusia dianggap hanya hidup sekali di dunia ini, ataukah hidup lagi di hari kemudian (akhirat)?” Demikian beberapa pertanyaan filosofis yang diajukan.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, memerlukan jawaban yang menentukan pandangan terhadap hakekat dan tujuan pendidikan, dan dari sini juga sebagai pangkal perbedaan rumusan pendidikan atau timbulnya aliran-aliran pendidikan seperti; pendidikan Islam, Kristen, Liberal, progresif atau pragmatis, komunis, demokratis, dan lain-lain. Dengan demikian, terdapat keanekaragaman pendangan tentang pendidikan. Tetapi, dalam keanekaragaman pandangan tentang pendidikan terdapat titik-titik persamaan tentang pengertian pendidikan, yaitu pendidikan dilihat sebagai suatu proses; karena dengan proses itu seseorang (dewasa) secara sengaja mengarahkan pertumbuhan atau perkembangan seseorang (yang belum dewasa). Proses adalah kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang sesuai dengan nilai-nilai yang merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Maka, dengan definisi itu, kegiatan atau proses pendidikan hanya berlaku pada manusia tidak pada hewan. 
Hakikat manusia adalah merupakan suatu sejarah, suatu peristiwa yang bukan semata-mata datum. Hakikat manusia hanya dapat dilihat dalam perjalanan sejarahnya, dalam sejarah bangsa manusia. Dalam pandangan antropologi filsafat, terdapat suatu rangkaian anthropological constants yaitu dorongan-dorongan dan orientasi yang tetap dimiliki manusia, yaitu; (a) relasi manusia dengan kejasmanian, alam, dan lingkungan ekologis; (b) keterlibatan dengan sesama; (c) keterikatan dengan struktur sosial dan institusional; (d) ketergantungan masyarakat dan kebudayaan pada waktu dan tempat; (e) hubungan timbal balik antara teori dan praktis; (f) kesadaran religius dan para-religius. Keenam anthropological constants ini merupakan satu sintesis dan masing-masing saling berpengaruh satu dengan lainnya.
Pada kajian filsafat pendidikan Islam, dapat pula dikatakan bahwa filsafat pendidikan Islam adalah suatu upaya menggunakan jasa filosofis, yakni berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal tentang masalah-masalah pendidikan seperti masalah manusia (anak didik), guru, kurikulum, metode dan lingkungan dengan menggunakan al-Qur’an  dan al-Hadits sebagai dasar acuannya.
Dengan demikian, maka yang harus diperhatikan adalah “nilai-nilai Islam tentang manusia; hakekat dan sifat-sifatnya, misi dan tujuan hidupnya di dunia ini dan akhirat nanti, hak dan kewajibannya sebagai individu dan anggota masyarakat. Semua ini dapat kita jumpai dalam al-Qur'an dan Hadits.  Selanjutnya, bagaimanakah potret potensi evolusi yang dimiliki manusia yang dalam Al-Qur'an telah diperkenalkan dengan sebutan al-insan dan al-basyar, selanjutnya akan dibahas dalam makalah ini.
RUMUSAN MASALAH
A.    Kedudukan manusia dalam alam semesta?
B.    Bagaimana hakekat evolusi dalam filsafat pendidikan Islam?

PEMBAHASAN 
Kedudukan Manusia Dalam Alam Semesta
Banyaknya teori tentang manusia, menunjukkan banyaknya orang yang penasaran akan diri manusia. Misalnya saja teori evolusi Darwin, Sigmund Freund, yang mengadakan pengamatan pada sekelompok orang-orang sakit (abnormal) dan yang pada akhirnya berkesimpulan bahwa manusia pada hakekatnya adalah makhluk bumi yang segala aktivitasnya bertumpu dan terdorong oleh libido. Manusia juga disebut sebagai hewan yang berpikir demikian pendapat seorang filosof Yunani Aristoteles. Kaum sosiolog berbeda titik pandangnya tentang manusia. Mereka menganggap makhluk ini adalah makhluk sosial yang tidak mampu untuk hidup sendiri.
Definisi-definisi di atas memberi gambaran akan keunikan manusia, sehingga sulit untuk dipahami. Berkaitan dengan ini, tidak salah kiranya kalau penulis akan menguraikan hakekat manusia secara agamis yaitu dalam perspektif Islam, dalam hal ini akan mengacu pada Al Qur’an dan Hadits serta pandangan dari pemikir-pemikir muslim.
Tidak sedikit ayat Al Qur’an yang berbicara tentang manusia. Setidaknya ada dua kata kunci dalam Al Qur’an yang semuanya mengacu pada makna pokok manusia yaitu Basyar dan Insan.
1.    Basyar
Menurut Ali Syari’ati, al-basyar adalah manusia yang esensi kemanusiaannya tidak nampak, aktifitasnya serupa dengan binatang. Ia hanyalah wujud (being) ia memang makhluk Allah SWT. Tetapi bukan hamba dan khalifahnya, karena esensi kemanusiaan tidak tampak adanya.  Selanjutnya kata al-basyar, dalam al Qur’an disebut sebanyak 27 kali, memberikan referensi pada manusia sebagai makhluk biologis. Adapun acuan pendapat ini adalah surat Ali Imron: 47, al Kahfi : 110; Al Fushilat : 6; Al-Furqon : 7 dan Yusuf : 31.  Salah satu dari surat-surat tersebut adalah berbunyi:
Maryam berkata: “Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun…” (QS. Ali Imran: 47).

Sedangkan menurut Abuddin Nata, kata Al-Basyar itu dipakai untuk menyebutkan manusia dalam pengertian lahirnya, sehingga menurutnya pengertian Basyar tidak lain adalah manusia dalam kehidupannya sehari-hari yang berkaitan dengan aktifitas lainnya, yang dipengaruhi dorongan kodrat alamiah, seperti makan, minum, bersetubuh dan akhirnya mati mengakhiri kegiatannya.  Jadi basyar dapat pula dikatakan pengertian manusia, yang menunjuk pada manusia yang terlihat pada aktivitas fisiknya, lebih jelasnya basyar menurut Asyah Abd Al Rahman, sebagaimana dikutip Abuddin Nata adalah kata yang dipakai untuk menyebutkan semua makhluk baik laki-laki maupun perempuan, baik secara individu maupun kolektif.  Kata Basyar adalah jamak dari “Basyarah” yang artinya: permukaan kulit kepala, wajah dan tubuh yang menjadi tampak tumbuhnya rambut.
Pemakaian kata Basyar untuk menyebut pada semua makhluk, mempunyai pengertian adanya persamaan umum yang selalu menjadi ciri pokok. Ciri pokok itu adalah kenyataan lahiriahnya yang menempati ruang dan waktu, serta terikat oleh hukum-hukum alamiahnya.  Serta tersebutkan di atas bahwa manusia dalam pengertian ini adalah manusia seperti tampak pada lahirnya, mempunyai kerangka tubuh yang sama, makan dan minum dari bahan yang sama, yang ada di alam ini dan sering waktu mereka akan tua dan akhirnya mati.
Sedangkan dalam Al Qur’an, seperti tersebut di atas kata Basyar disebut kurang lebih 27 kali, kesemuanya dipakai untuk menyebut manusia dalam pengertian lahiriahnya. Satu ayat diantaranya menyebutkan kata 
Basyar dalam pengertian kulit kepala, Al Qur’an menyatakan:
Tahukan kamu apa (neraka) saqar itu ? Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan (neraka Saqar) adalah membakar kulit kepala.” ( QS. Al- Mudatsir ; 27-29).

Selanjutnya Basyar sering dipakai dalam kaitan dengan persentuhan laki-laki dengan perempuan atau persentuhan seperti yang telah disebutkan terdahulu (QS. Ali Imron : 47) kata Basyar juga mengartikan manusia pada umumnya (QS. Al-Mudatsir: 25) tentang penciptaan manusia (QS. Al Mushaad: 71-76) dan menjelaskan manusia semuanya akan mati (QS. Al-Anbiya’: 34-35).
Jadi bila manusia basyar ini, dikatakan sebagai subyek kebudayaan memang benar, sebab segala aksinya adalah  kodrat alamiah.
2.    Al-Insan
Dalam mengenal manusia secara komprehansif selain satu istilah yang telah disebutkan di atas yakni Basyar, ada istilah lain yang dinyatakan dapat menghantar pengenalan terhadap siapa manusia itu sebenarnya, yaitu istilah yang lebih banyak disebut dalam Al Qur’an melebihi Basyar yaitu Al-Insan.
Kata Insan yang bentuk jamaknya Al-Naas dari segi semantik atau ilmu akar kata, dapat dilihat dari asal kata al-naas yang mempunyai arti melihat, mengetahui dan minta izin. Atas dasar ini, kata itu mempunyai petunjuk adanya kaitan subtansial antara manusia dengan kemampuan penalaran, yakni dengan penalaran itu manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya. Ia dapat pula mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, dan terdorong untuk minta izin menggunakan sesuatu yang bukan miliknya.  Dengan informasi ini dapat dikatakan bahwa manusia dalam kategori yang kedua ini adalah manusia yang diberi pelajaran, sehingga dengan pelajaran yang diterima tersebut, manusia dapat mengembangkan dirinya menuju kesempurnaan.
Pendapat tersebut di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh seorang cendekiawan muslim, sekaligus ulama yaitu Ali Syari’ati menjelaskan bahwa Insan berarti seorang manusia dalam arti sebenarnya. Tipe manusia ini berada dengan tipe manusia umumnya, memiliki karakteristik khusus yang berlainan antara orang satu dengan orang yang lainnya, sesuai dengan tingkat realitas atau esensinya. Jadi bila kita meyebutkan Insan, kita tidak memaksudkannya pada sebagian penduduk dunia pada umumnya yakni tiga miliar makhluk berkaki dua yang sekarang hidup di muka bumi. Jadi tidak semua manusia adalah insan. Namun mereka mempunyai potensi untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi dari kemanusiaan lain.
Selanjutnya, masih menurut Ali Syari’ati, dalam mengekspresikan manusia dalam istilah Insan adalah manusia yang bergerak maju ketaraf menjadi (becoming) atau menyempurna. Menjadi adalah bergerak maju, mencari kesempurnaan, merindukan keabadian, tidak pernah menghambat atau menghentikan proses terus menerus kearah kesempurnaan.
Kata Insan yang dalam Al Qur’an disebut sebanyak 65 kali, dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori: Pertama, Insan dihubungkan dengan konsep manusia sebagai khalifah atau pemikul amanat; Kedua, Insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia; Ketiga, semua konteks Insan menunjuk pada sifat-sifat psikologi atau spiritual.
Insan dihubungkan dengan konsep manusia sebagai khalifah atau yang memikul amanat seperti dalam Al Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 72 yang berbunyi:
Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan memikul amanat itu dan mereka khawatir untuk mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. (Q.S.Al-Ahzab: 72).

Sedangkan manusia dalam kategori kedua yakni dihubungkan. Dengan predisposisi negatif pada diri manusia, misalnya cenderung zalim dan kafir terdapat dalam Q.S. Ibrahim : 34, manusia itu tergesa-gesa dalam, dalam Q.S. Al Isra’: 11, manusia itu banyak membantah dan berdebat, dalam Q.S. Al- Kahfi : 52 dan masih banyak sifat-sifat negatif manusia yang lain.
Selanjutnya, manusia dalam kategori terakhir yaitu dihubungkan dengan proses penciptaan manusia sebagai insan, manusia diciptakan dari tanah liat (Q.S. Al-Hijr: 26, Al-Rahman: 14, Al-Mu’minun: 12, dan Q.S. Al Sajadah: 7).
Kemudian, kata dalam kategori nasia yang juga berasal dari insan mempunyai arti “lupa”, hal ini terdapat dalam Q.S. Al-Zumar: 8. Sedangkan kata An-Naas, dipakai Al Qur’an untuk menyatakan adanya sekelompok orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai kegiatan untuk mengembangkan kehidupannya.  Berbagai kegiatan itu antara lain:
a.    Sekumpulan manusia mengadakan kegiatan peternakan (Q.S. Al-Qashas: 23).
b.    Pemanfaatan besi (Q.S. Al Hadid: 25)
c.    Tentang perubahan sosial (Q.S. Ali Imron: 140)
d.    Tentang pelayaran dan perlunya memperhatikan perubahan alam (Q.S. Al-Baqarah: !64).
e.    Tentang kepemimpinan (Q.S. Al Baqarah: 124), dan
f.    Tentang ibadah (Q.S. Al Baqarah: 21).
Semua kegiatan yang telah disebutkan di atas, menunjukkan bahwa semua kegiatan itu pada dasarnya adalah kegiatan yang didasari dan berkaitan dengan kapasitas akalnya dan aktualitas dalam kehidupan konkrit, yaitu perencanaan, tindakan dan akibat-akibat atau perolehan-perolehan yang ditimbulkan. 
Manusia Insan secara kodrati sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna bentuknya dibanding dengan ciptaan 
Tuhan yang lainnya.  Sehingga dari sini dapat difahami bahwa manusia yang disebut insan menunjukkan betapa luasnya lapangan kegiatan manusia di dunia ini.
Seluruhnya akan sukses bila manusia menggunakan akalnya, menyeimbangkan kegiatan itu dengan nurani dan beraktivitas dengan jasadnya. Jasad digunakan sebagai sarana perhubungan fisik dengan alam, akal sebagai daya hidup yang menggerakkan dan ruh sebagai kekuatan yang kreatif yang memunculkan gagasan-gagasan yang sifatnya pembenaran.
Bertolak dari hal di atas, manusia sempurna itu dapat ditelaah dari dimensi fisik (physical), akal (intelectual) dan ruh (religiusity). Kesatuan dari kesempurnaan kegiatannyalah wujud dari insan kamil.

Tuhan menciptakan manusia untuk hidup di muka bumi ini dengan disertai bekal yang cukup demi kelangsungan hidupnya, yaitu segala sesuatu di alam ini diciptakan untuk kepentingan manusia. Oleh karenanya, manusia memiliki kedudukan di alam semesta ini:
1.    Sebagai pemanfaat dan penjaga alam
Berpegang pada dalil-dalil Al-Qur'an, maka alam semesta ini diciptakan oleh Allah adalah untuk kepentingan manusia dan untuk dipelajari manusia agar manusia dapat menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai manusia di muka bumi. Pandangan ini didasarkan pada firman Allah.
Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Q.S. Al-Jum’at: 10).

2.    Sebagai peneliti alam dan dirinya untuk mencari Tuhan
Dalam kedudukan ini, Allah memerintahkan pada manusia agar menggunakan akalnya, untuk mempelajari alam semesta dan dirinya sendiri, kecuali untuk kemanfaatan hidupnya, juga untuk dapat menggunakan nama Tuhannya yang telah menciptakan dirinya (beriman kepada Allah).

 “ dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah.” (11)
“dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit. dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya, dan pada masing-masingnya kamu Lihat kapal-kapal berlayar membelah laut supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur.” (12)
“Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. yang (berbuat) demikian Itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” (13)
(Q.S. Faathir: 11-13).

3.    Sebagai khalifah (penguasa) di muka bumi
Manusia diberi kedudukan oleh Tuhan sebagai penguasa, pengatur kehidupan di muka bumi ini. Pada kedudukan ini Allah berfirman:

 “dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-An’am: 165).

4.    Sebagai makhluk yang paling tinggi dan paling mulia
Allah menciptakan manusia dalam bentuk wujud dan psikis yang paling sempurna, dengan firman-Nya.

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (Q.S. At-Tiin:

5.    Sebagai hamba Allah
Kedudukan sebagai hamba Allah ini memang menjadi tujuan Allah menciptakan manusia dan makhluk-makhluk lainnya.

dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyaat: 56)

6.    Sebagai makhluk yang bertanggung jawab
Setelah dengan kemampuan akalnya manusia meneliti dunianya dan dirinya sendiri, dan kemudian mengerti bahwa hakikat diciptakannya manusia dan alam semesta ini semata-mata untuk menyembah kepada Tuhan, maka sebagai konsekuensi diberikan kedudukan yang istimewa oleh Tuhan pada manusia seperti tersebut di atas, maka manusia juga dituntut untuk bertanggung jawab terhadap apa-apa yang telah dilakukan di atas dunia ini, kelak di akhirat.
Allah berfirman:
pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.”
“di hari itu, Allah akan memberi mereka Balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang benar, lagi yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya)
.” (Q.S. An-Nuur: 24-25).

7.    Sebagai makhluk yang dapat dididik dan mendidik
Manusia sebagai makhluk yang dapat dididik dapat dipahami dari firman Allah:
 
dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya,…” (Q.S. Al-Baqarah: 31).

Demikian kedudukan manusia yang sempat dikemukakan dalam uraian ini, ini adalah sebagian kecil yang dapat memberi gambaran dalam mana yang baik bagi manusia, diri sendiri, sesamanya, alamnya, dan Tuhannya. 

Dengan demikian, secara keseluruhan kedudukan manusia di alam raya ini disamping sebagai makhluk yang memiliki kekuasaan untuk mengelola mengolah alam (khalifah) dengan menggunakan segenap daya dan potensi yang dimilikinya, juga sekaligus sebagai ‘abd, yaitu seluruh usaha dan aktivitasnya itu harus dilaksanakan dalam rangka ibadah kepada Allah. 

Hakekat Evolusi Dalam Filsafat Pendidikan Islam
Sebelum membicarakan permasalahan, dalam filsafat pendidikan Islam, terlebih akan ditelaah definisi filsafat pendidikan itu sendiri. Imam Barnadib mendefinisikan filsafat pendidikan sebagai “ilmu pendidikan yang bersendikan filsafat atau filsafat yang diterapkan dalam usaha pemikiran dan pemecahan masalah pendidikan”.  Definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa filsafat pendidikan dapat didekati dan problema-problema pendidikan bersifat filosofis yang memenlukan jawaban yang filosofis pula.
Di samping itu, filsafat pendidikan dapat pula didekati dan ide-ide filosofis yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan. Dalam tulisan ini, pendekatan kedua Iebih ditekankan, dibandingkan pendekatan pertama. Di dalarn filsafat, terdapat tiga masalah utama, yakni: masalah keberadaan termasuk masalah kenyataan, masalah pengetahuan termasuk masalah kebenaran dan rnasalah nilai. Masalah pertama dibji dalam cabang filsafat yang disebut metafisika. Masalah kedua dikaji dalam cabang filsafat yang disebut epistemology, dan masalah ketiga dikaji dalam cabang filsafat yang disebut aksiologi.
Ilmu yang mempelajari tentang hakikat manusia disebut antropologi filsafat. Filsafat berpandangan bahwa hakikat manusia itu berkaitan antara badan dan ruh. Islam secara tegas mengatakan bahwa badan dan ruh adalah substansi alam, sedangkan alam adalah makhluk dan keduanya diciptakan oleh Allah. Dalam hal ini dijelaskan bahwa proses perkembangan dan pertumbuhan manusia menurut hukum alam material. Menurut Islam, manusia terdiri dari substansi materi dari bumi dan ruh yang berasal dari Tuhan. Oleh karena itu, hakikat manusia adalah ruh sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh semata. Tanpa kedua substansi tersebut tidak dapat dikatakan manusia.
Berdasar substansi di atas, atas dimilikinya berbagai potensi kodrat manusia yang dalam bahasa lain dapat disebut sebagai proses evolusi manusia. Sebutan-sebutan itu adalah antara lain:
1.    Manusia adalah “Homo Sapiens” artinya makhluk yang mempunyai budi.
2.    Manusia adalah “Animal Pational” artinya binatang yang berpikir.
3.    Manusia adalah “Homo Laquen” yaitu makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan pikiran manusia dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun.
4.    Manusia adalah “Homo Faber” artinya makhluk yang tukang, dia pandai membuat perkakas atau disebut juga “Tool Making Animal” yaitu binatang yang pandai membuat alat.
5.    Manusia adalah “Zoon Politicon” yaitu mahkluk yang pandai bekerja sama, bergaul dengan orang lain dan mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
6.    Manusia adalah “Hono Economicus” artinya makhluk yang tunduk pada prinsip-prinsip ekonomi dan bersifat ekonomis.
7.    Manusia adalah “Homo Religius” yaitu makhluk yang beragama. Dr. M.J. Lengeveld seorang tokoh pendidikan Belanda, memandang manusia itu sebagai “Animal Educadum dan Animal Educable” yaitu bahwa manusia itu adalah makhluk yang harus dididik dan dapat dididik, disamping manusia juga sebagai “Homo Planemanet” artinya unsur rohaniah merupakan syarat mutlak untuk terlaksananya program-program pendidikan.
Dalam proses evolusi, manusia tidak lepas dari proses yang mengikuti keberlangsungan hidup manusia, dari sini ada beberapa perkembangan manusia dalam dirinya; menurut Jean Piaget, manusia memiliki perkembangan sebagai berikut:
1.    Periode sensorimotor pada umur 0 - 2 tahun. Kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak refleks. Reaksi intelektual hampir seluruhnya karena rangsangan langsung dari alat-alat indra. Punya kebiasaan memukul-mukul dan bermain-main dengan permainannya. Mulai dapat menyebutkan nama-nama objek tertentu.
2.    Periode praoperasional pada umur 2 - 7 tahun. Perkembangan bahasa anak ini sangat pesat. Peranan intuisi dalam memutuskan sesuatu masih besar, menyimpulkan hanya berdasarkan sebagian kecil yang diketahui. Analisis rasional belum berjalan.
3.    Periode operasi konkret pada umur 7 - 11 tahun. Kemampuan anak dalam berpikir mulai logis, sistematis, dan memecahkan masalah yang bersifat konkret. Mereka sudah mampu mengerjakan penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian.
4.    Periode operasi formal pada umur 11 - 15 tahun. Anak-anak pada masa ini sudah dapat berpikir logis terhadap masalah baik yang konkret maupun yang abstrak. Dapat membentuk ide-ide dan masa depannya secara realistis.
Terkait dengan hakikat manusia tersebut, Poespoprodjo mengemukakan bahwa: 
1.    Hakikat manusia haruslah diambil secara integral dari seluruh bagiannya; bagian esensial manusia, baik yang metafisis (animalitas dan rasionalitas) maupun fisik (badan dan jiwa). Manusia wajib menguasai hakikatnya yang kompleks dan mengendalikan bagian-bagian tersebut agar bekerja secara harmonis. Karena manusia pada hakikatnya adalah hewan, maka ia harus hidup seperti hewan, ia wajib menjaga badannya dan memenuhi kebutuhannya. Namun sebagai hewan yang berakal budi, manusia harus hidup seperti makhluk yang berakal budi.
2.    Hakikat manusia harus diambil dari seluruh nisbahnya; tidak hanya keselarasan batin antara bagian-bagian dan kemampuan-kemampuan yang membuat manusia itu sendiri, tetapi juga keselarasan antara manusia dengan lingkungannya.
Memang keberadaan manusia di muka bumi ini adalah suatu yang menarik. Selain manusia selalu menjadi pokok permasalahan, ia juga dapat melihat bahwa segala peristiwa dan masalah apa pun yang terjadi di dunia ini pada akhirnya berhubungan dengan manusia. Oleh karena itu, dalam usaha mempelajari hakikat manusia diperlukan pemikiran yang filosofis. Karena setiap manusia akan selalu berpikir tentang dirinya sendiri. Meskipun tingkat pemikiran itu selalu mempunyai perbedaan. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa selain sebagai subjek pendidikan, manusia juga merupakan objek pendidikan itu sendiri.
Manusia memiliki banyak sifat yang serupa dengan makhluk lain. Meski demikian, ada seperangkat perbedaan antara manusia dengan makhluk lain, yang menganugerahi keunggulan pada manusia. (Muthahhari, 1992: 62). Kenyataan inilah yang terkadang membuat manusia mempunyai pandangan yang berbeda. Suatu saat manusia akan berpikir bahwa mereka merupakan salah satu anggota margasatwa (animal kingdom), di saat lain dia juga akan merasa warga dunia idea dan nilai. Pandangan seperti itulah yang pada akhirnya akan memperlihatkan keberadaan manusia secara utuh bahwa mereka adalah pencari kebenaran.
Dengan pandangan secara terpadu, hakikat manusia dalam pandangan filsafat pendidikan Islam bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi ini, yang tidak akan berbuat sesuatu yang mencerminkan kemungkaran atau bertentangan dengan kehendak Tuhan. Untuk dapat melaksanakan fungsi kehalifahan dan ibadah dengan baik ini manusia perlu diberikan pendidikan, pengajaran, pengalaman, ketrampilan, teknologi, dan sarana pendukung lainnya. Ini menunjukkan bahwa konsep kehalifahan dan ibadah dalam Al-Qur'an erat kaitannya dengan pendidikan. Manusia yang dapat melaksanakan fungsi-fungsi yang demikian itulah yang diharapkan muncul dari kegiatan usaha pendidikan.

KESIMPULANHampir semua disiplin ilmu pengetahuan berusaha menyelidiki dan mengerti tentang makhluk yang bernama manusia. Begitu juga pendidikan, secara khusus tujuannya adalah untuk memahami dan mendalami hakikat manusia. Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
Ilmu yang mempelajari tentang hakikat manusia disebut antropologi filsafat. Filsafat berpandangan bahwa hakikat manusia itu berkaitan antara badan dan ruh. Islam secara tegas mengatakan bahwa badan dan ruh adalah substansi alam, sedangkan alam adalah makhluk dan keduanya diciptakan oleh Allah.
Filsafat pendidikan Islam memberikan kesimpulan tentang hakikat manusia dalam tiga kategori pembahasan, yaitu:
1.    Manusia adalah “Homo Sapiens” artinya makhluk yang mempunyai budi.
2.    Manusia adalah “Animal Pational” artinya binatang yang berpikir.
3.    Manusia adalah “Homo Laquen” yaitu makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan pikiran manusia dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun.
4.    Manusia adalah “Homo Faber” artinya makhluk yang tukang, dia pandai membuat perkakas atau disebut juga “Tool Making Animal” yaitu binatang yang pandai membuat alat.
5.    Manusia adalah “Zoon Politicon” yaitu mahkluk yang pandai bekerja sama, bergaul dengan orang lain dan mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
6.    Manusia adalah “Hono Economicus” artinya makhluk yang tunduk pada prinsip-prinsip ekonomi dan bersifat ekonomis.
7.    Manusia adalah “Homo Religius” yaitu makhluk yang beragama. Juga manusia itu sebagai “Animal Educadum dan Animal Educable” yaitu bahwa manusia itu adalah makhluk yang harus dididik dan dapat dididik, disamping manusia juga sebagai “Homo Planemanet” artinya unsur rohaniah merupakan syarat mutlak untuk terlaksananya program-program pendidikan.
Dalam hal ini dijelaskan bahwa proses perkembangan dan pertumbuhan manusia menurut hukum alam material. Menurut Islam, manusia terdiri dari substansi materi dari bumi dan ruh yang berasal dari Tuhan. Oleh karena itu, hakikat manusia adalah ruh sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh semata. Tanpa kedua substansi tersebut tidak dapat dikatakan manusia.

PENUTUP
Demikianlah makalah tentang hakikat evolusi dalam filsafat pendidikan Islam yang dapat kami susun, tentunya tidak terlepas dari kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik konstruktif dari bapak dosen dan saudara sekalian kami terima sebagai koreksi dan pemacu untuk menyempurnakan makalah ini.  (Dok - Rumah Pendidikan Sciena Madani)




DAFTAR PUSTAKA
  1. Asy’ari, Musa, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al Qur’an, Lembaga Studi Filsafat Islam, Yogyakarta 1992
  2. Barnadib, Imam, Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode, Yogyakarta: Penerbit ANDI OFFSET, 1994.
  3. Hakim, Atang Abdul dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 1999.
  4. http://mbegedut.blogspot.com/2010/10/tahap-tahap-perkembangan-manusia.html
  5. Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat dan Pendidikan, Jakarta: Arruz Media, Cet. III, 2010.
  6. Jasin, Anwar, Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam: Tinjauan Filosofis, Jakarta. Conference Book, 1985.
  7. Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
  8. Shihab, M. Qurraish, Membumikan Al Qur’an, Bandung: Mizan, 1994.
  9. Syari’ati, Ali, Tugas Cendekiawan Muslim, Penterjemah: Dr. Amin Rais, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
  10. Zaini, Syahminan, Mengenal Manusia Lewat Al-Qur'an, Surabaya: 1980.
  11. Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. V, 2009.

Share on Google Plus

About Unknown

RIC Karya
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar