NH DINI kepenulisan sastrawan, novelis, peraih penghargaan SEA Write Award di bidang sastra dari Pemerintah Thailand, asal Kota Lumpia ini teramat sangat berliku. Penulis yang lahir di Kampung Sekayu, Semarang Tengah, pada 29 Februari 1936 ini mengaku mulai tertarik menulis sejak kelas tiga SD.
“Semasa kecil, setiap kali melihat aktifitas menarik di lingkungan, selalu saya tulis. Belum ada komputer, adanya mesin ketik. Misal membuat cerpen, mulanya saya tulis tangan di sebuah lembaran kertas, kemudian saya bawa ke Balaidesa Kelurahan Sekayu. Karena di sanalah satu-satunya yang mempunyai mesin ketik,” ujar wanita bernama lengkap Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin, belum lama ini.
Seperti dalam karya novel pertamanya “Sebuah Lorong di Kotaku”. NH Dini bercerita tentang keluarganya, di mana dia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Sang Ibu adalah orang yang selalu menekankan tata krama, sehingga terkesan banyak aturan atau kaku. Sedangkan sang ayah adalah seorang pegawai PJKAI yang luwes, sehingga Dini kecil sering mendapat hadiah liburan naik kereta api. Di mana pada saat itu, kereta api merupakan transportasi yang istimewa.
Kesederhanaan dan peristiwa harian semacam itulah yang dia tulis kemudian menjadi sebuah karya besar. Bahkan saat terjadi bencana alam pun mampu menguntungkan manusia. Tempat tinggal Dini bersama keluarganya di Kampung Sekayu pernah tergenang banjir, maka sang Ayah pun membendung aliran air tersebut di sekitar rumah. Sebab air bah yang meluap dari sungai tak jauh dari rumahnya itu membawa banyak ikan. Sehingga warga sekitar bisa mengambil ikan untuk lauk-pauk makanan sehari-hari.
NH Dini bukan penulis yang “sukses” dalam hal materi. Namun karya-karyanya layak mendapat penghargaan. Sedikitnya ada 34 buku hasil perenungannya dalam “memotret” kehidupan. Dia hidup sangat sederhana. Pahit, manis dan getirnya kehidupan berhasil ia cecap dengan kejernihan berpikirnya.
Dini ditinggal wafat ayahnya sewaktu masih duduk di bangku SMP. Setelah dewasa dia dipersunting Yves Coffin, seorang diplomat asal Prancis di Kobe, Jepang, pada 1960. Atas pernikahan itu kemudian dikaruniai dua anak, Marie-Claire Lintang dan Pierre Louis Padang. Anak sulungnya kini menetap di Kanada, dan anak bungsunya menetap di Prancis.
Konsekuensi menikah dengan seorang diplomat, Dini harus mengikuti ke mana suaminya ditugaskan. Ia biasa hidup berpindah-pindah, diboyong ke Jepang, dan tiga tahun kemudian pindah ke Pnom Penh, Kamboja. Kembali ke negara suaminya, Prancis, pada 1966. Dini melahirkan anak keduanya pada 1967. Selama ikut suaminya di Paris, ia tercatat sebagai anggota Les Amis dela Natura (Green Peace). Dia turut serta menyelamatkan burung belibis yang terkena polusi oleh tenggelamnya kapal tanker di pantai utara Perancis.
Namun rupanya “badai” hidup menguntitnya. Dini berpisah dengan suaminya, Yves Coffin pada 1984, dan kemudian menjadi warganegara RI lagi pada 1985. Pulang kampung di Semarang, Dini hanya membawa uang 10.000 dollar AS pemberian mantan suaminya, yang kemudian digunakannya untuk mendirikan pondok baca anak-anak di Kampung Sekayu.
Negara “Kurang Ajar” Terhadap Sastrawan
Menurut NH Dini, kondisi sastra di Indonesia belum kondusif. Pasalnya, belum ada peran dari pemerintah Indonesia terkait sastra dan para pelakunya. “Memang mengkritik itu mudah saja, tapi penghargaan itu yang kurang,” ungkap wanita yang bercita-cita menjadi masinis ini.
Boro-boro mendapat penghargaan. Dia justru mengaku pernah menelan “pil” pahit yang diberikan oleh pemerintah Indonesia. Menurutnya, pelaku pemerintahan sangat “Kurang ajar” terhadap sastrawan. Mereka sangat tidak menghargai sastrawan. Sekitar 2-3 tahun yang lalu, Dini sempat mengirim surat kepada presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). “Isi dalam surat tersebut, saya mengusulkan permohonan untuk beberapa tokoh sastrawan, di antaranya Gesang, WS Rendra dan termasuk saya. Saya tidak meminta sumbangan apa-apa, melainkan mengajukan permohonan asuransi kesehatan (Askes) saja,” ujar mantan pramugrari GIA, mantan penyiar radio, pelukis dan penari ini.
Namun apa tanggapan pemerintah? NH Dini menjelaskan, saat itu dibalas oleh menteri sekretaris negara dengan lampiran Departemen Kesehatan RI, bahwa dalam balasan surat tersebut tertulis “Anda tidak masuk daftar”, disertakan pula daftar nama-nama. “Dengan balasan seperti itu, saya tandaskan, pemerintah k u r a n g a j a r,” celetuknya.
Soal penghargaan, lanjutnya, memang dulu pernah mendapat penghargaan dalam bentuk uang sebesar Rp 5 juta dari pusat bahasa, yakni pada masa wakil presidennya Megawati. Pada waktu yang sama dia juga mendapat penghargaan dari pihak luar negeri, yakni Ratu Silkit sebesar Rp 50 juta. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian pemerintah terhadap sastrawan memang kurang, padahal pihak luar negeri saja memberi penghargaan lebih. Perbandingannya kurang dari 1:5.
Di Malaysia, sastrawan yang telah melewati masa pengabdian lebih dari 10 tahun menekuni kepenulisannya, dia diberikan gelar “Sastrawan Negara”. Kemudian disantuni sisi hidupnya oleh pemerintah. Bahkan terlebih ironis saat NH Dini mengalami sakit keras, dia sempat menjual tumpukan sertifikat, piagam, dan surat-surat penghargaan seharga Rp 200 ribu untuk biaya berobat.
Karya novel-novel wanita yang pernah tinggal di Panti Wredha Langen Wedharsih, Ungaran, Perumahan Padana Merdeka dan Perumahan Beringin Indah, Jalan Angsana No 9 Blok A/V, Ngaliyan, Semarang ini memperkuat realisme, merintis ideologi anti-patriarki, dan mendalami novel autobiografis. Novel Dini, menjadi induk dari novel-novel populer yang ditulis oleh pengarang perempuan. Beberapa karya di antaranya, Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975) atau Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998) dan lain-lain. (Ngaliyan, 17/12/2011/ M-0615)
0 komentar :
Posting Komentar