Sejarah dan Bentuk Upacara Makam Raja-Raja Mataram Imogiri

Makam raja-raja Mataram di Imogiri terletak kurang lebih 17 km sebelah tenggara dari kota Yogyakarta. Kompleks makam tersebut berada di wilayah Kelurahan Girirejo dan Kelurahan Wukirharjo. Hal ini di sebabkan karena, kompleks makam Imogiri yang milik Kasunanan Surakarta berada di wilayah Girirejo, sedangkan makam milik Kasultanan Yogyakarta berada di wilayah Wukirharjo. Kelurahan Girirejo dan 

Kelurahan Wukirharjo berada di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.Makam tersebut terletak di daerah perbukitan  Merak Handokopuro atau yang lebih dikenal dengan pegunungan Imogiri. Tempat tersebut merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian 85-100 m dari permukaan laut.1  Makam ini merupakan kompleks pemakaman khusus untuk raja-raja Mataram beserta warisnya semenjak Sultan Agung.
Raja-raja yang dimakamkan di makam tersebut dianggap memiliki karakteristik spiritual yang berhubungan dengan kesaktian, kepahlawanan, serta jasa-jasanya dalam menyebarkan Islam di Jawa, terutama Sultan Agung. Menurut keterangan juru kunci, makam ini dibangun sekitar tahun 1632 M sewaktu kraton Mataram berada di Kerta, Pleret.

Makam tersebut dalam pembangunannya mendatangkan seorang arsitek terkenal yang berasal dari Jepara bernama Tumenggung Citro Kusumo.2 Awal mula berdirinya makam Imogiri dalam sebuah cerita dikisahkan bahwa :
Ketika Sinuhun Hanyokrowati (Sinuhun Sedo Krapyak) mangkat, maka puteranya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom pada waktu sedo, sedang pergi tirakat ke pegunungan selatan. Sehingga sebagai wakil adalah Gusti Pangeran Martopuro. Sesudah satu tahun lamanya bertirakat, maka Gusti Pangeran Adipati Anom pulang ke kerajaan dan memegang kekuasaan Mataram dengan gelar Prabu Hanyokrokusumo.3

Sultan Agung adalah raja Mataram ke tiga, yang memegang kekuasaan pada hari Selasa Legi tanggal 10 Suro tahun 1613 M dengan nama Prabu Hanyokro Kusumo. Selama masa pemerintahannya, Sultan Agung terkenal sebagai raja yang arif, bijaksana, jujur dan sakti, sehingga seluruh rakyat hormat dan segan kepadanya. 
 
Selain itu Sultan Agung juga memiliki salah satu keistimewaan yakni pada setiap hari Jum’at melaksanakan sholat Jum’at di Mekah dengan perjalanan secepat kilat. Dengan seringnya berjama’ah sholat jum’at di masjid Mekah, maka ia meminta izin kepada pemerintah Arab, jika kelak ia meninggal  dunia ingin dikuburkan di Mekah. Akan tetapi pemerintah Arab tidak memberikan izin kepada Sultan Agung. Sultan Agung merasa kecewa, kemudian ia hanya meminta sedikit tanah dari Mekah untuk dibawa pulang ke Mataram.4 

Setelah memerintah selama 15 tahun ia ingin memulai membangun makam, yaitu dengan melemparkan sebagian tanah yang dibawa dari Mekah, kemudian ia menyuruh para prajuritnya untuk mencari tempat jatuhnya tanah tersebut dengan ciri-ciri tanah tersebut berbau wangi. Tanah tersebut diketemukan di pegunungan Giriloyo yang letaknya di sebelah timur laut dari Imogiri, kemudian Sultan Agung memerintahkan abdi dalemnya untuk segera membangun makam di tempat tersebut. Pada saat makam tersebut dalam pembangunan, paman Sultan Agung yang bernama Panembahan Juminah mengajukan permintaan untuk ikut di makamkan di makam tersebut jika meninggal nanti. Tidak lama kemudian pamannya jatuh sakit kemudian meninggal dunia dan dimakamkan di makam tersebut.

 Sultan Agung merasa kecewa karena makamnya telah didahului oleh pamannya, selanjutnya ia melemparkan kembali tanah yang masih tersisa dan tanah tersebut jatuh di pegunungan Merak, kemudian dibangunlah makam diatas pegunungan tersebut. Setelah memerintah selama 32 tahun, Sultan Agung menderita sakit keras dan meninggal dunia pada hari Jum’at Legi, bulan Sapar, tahun 1645 M yang kemudian dimakamkan di Imogiri. 5


Selain cerita tersebut diatas, ada versi lain tentang cerita pembuatan makam Imogiri yakni  seperti yang ditulis oleh Pranata, yang menceritakan  bahwa :
Pada suatu hari setelah selesai menunaikan sholat Jum'at di Mekah, Sultan Agung bercakap-cakap dengan penguasa Mekah yang pada saat itu adalah Imam Sufingi. Sultan Agung menyatakan keinginannya kepada Imam Sufingi untuk membangun makam di kota Mekah di sebelah Barat makam Nabi Muhammad SAW. Imam Sufingi menolak permintaan Sultan Agung dengan alasan bahwa hal itu tidak baik, sebab Sultan Agung adalah makhluk campuran ganda, yaitu keturunan manusia dan dewa, sedangkan yang dikubur di Mekah adalah Nabi Muhammad SAW, manusia yang suci. 6  

Selanjutnya, Pranata dalam bukunya yang berjudul Sultan Agung menceritakan : karena ditolak oleh Imam Sufingi, Sultan Agung merasa kecewa dan pulang ke Mataram kemudian pergi ke Parangkusumo menemui Kanjeng Ratu Kidul. Setibanya di sana Sunan Kalijaga sudah berada disana, kemudian menasehati Sultan Agung :
Ananda Sultan Agung, semua itu meunjukkan dengan jelas bahwa, ananda tidak diperkenankan untuk dimakamkan di tanah suci Arab. Ananda harus dimakamkan di bumi Nusantara ini. Ikutilah tanah yang kulemparkan ini, yang diambil dari Mekah, dimana tanah itu jatuh maka bangunlah makam diatas tanah tersebut untuk engkau dan anak cucumu. 7

Tanah yang dilempar Sunan Kalijaga jatuh diatas bukit yang sekarang bernama Imogiri. Di bukit tersebut kemudian Sultan Agung membangun makamnya.

Raja-raja pendahulu Sultan Agung dimakamkan di sebelah masjid di Kotagede, tetapi Sultan Agung sudah semasa hidupnya membangun makam yang letaknya tinggi di atas bukit. Pembangunan makam di atas bukit dihubungkan dengan pengangkatannya sebagai Susuhunan pada tahun 1624 dan gelar Sultan pada tahun 1645. 8 Menurut Mudjanto, penggunaan gelar Susuhunan dan Sultan oleh Sultan Agung adalah sebagai upaya untuk memantapkan mandat keagamaannya. 9 

Pembangunan makam di Imogiri dan penyusunan serangkaian babad memiliki tujuan yang sama yakni untuk menegakkan legitimasi keagamaan Mataram, salah satunya yakni Babad Nitik Sultan Agung. Babad tesebut menggambarkan kepandaian keagamaan dan kemampuan magis Sultan Agung yang dapat terbang dan melakukan shalat Jum'at di Mekah secara rutin. 10

Melihat dari bentuk arsitektur dan letak geografisnya pembangunan makam Imogiri ini ada 3 unsur kebudayaan yang mempengaruhinya yakni pengaruh dari adat Jawa, Hindu, dan Islam. Pengaruh adat Jawa terlihat dalam pengambilan nama Imogiri  dari bahasa Jawa  kuno yakni Imo  berarti kabut dan Giri berarti gunung. Selain itu terlihat juga dalam bentuk bangunan yakni pendopo yang berada di halaman depan yang berbentuk limasan yaitu bentuk rumah adat Jawa.11

Pengaruh dari Hindu terlihat bahwa makam Imogiri dibangun di atas pegunungan, hal ini menyerupai dengan gunung Himalaya yang menjadi tempat kediaman para Dewa. Pengaruh dari Islam adalah bahwa di komplek  pemakaman dibangun sebuah masjid, dan makam tersebut dibangun di atas bukit yang konon merupakan tempat jatuhnya tanah yang dilempar Sultan Agung yang didapat dari Mekah. 12
 
B. Upacara-upacara di Makam Raja-raja Mataram Imogiri
   Upacara dan tata cara mengagungkan roh leluhur banyak macam dan ragamnya, semuanya berhubungan dengan peristiwa kematian dan selametan.13  Mengagungkan, menghormati dan memperingati roh leluhur sudah dikenal orang Jawa dan dilaksanakan sejak nenek moyang beberapa tahun yang silam, sebelum Hindu masuk ke pulau Jawa. Upacara-upacara mengagungkan roh leluhur dilakukan di tempat-tempat yang dianggap keramat dan suci.
   Berkaitan dengan kepercayaan tersebut upacara-upacara tradisi di makam raja-raja Mataram di Imogiri bertujuan untuk menghormati roh-roh para leluhur yaitu para raja yang dimakamkan di tempat tersebut, khususnya Sultan Agung yang dianggap sebagai pepunden (orang yang dimuliakan) rakyat, sebagai tokoh yang pintar dan hebat. Selain tujuan tersebut juga untuk mencari berkah dari kekuatan ghaib yang ada di makam Imogiri. 14

Beberapa upacara yang dilakukan di makam raja-raja Mataram Imogiri adalah sebagai berikut :
1.   Upacara ruwahan/sadranan
Nyadran berarti melaksanakan upacara sadran atau sadranan. Upacara ini diadakan setiap tahun yaitu pada bulan Sya'ban (Ruwah) sesudah tanggal 15 hingga menjelang ibadah puasa bulan Ramadhan.  Nyadran dilangsungkan dengan selametan dirumah atau dimakam, dengan membuat makanan berupa ketan, kolak dan apem, ditambah sesaji yakni dengan membakar kemenyan dan menyajikan kembang setaman. Nyadran adalah suatu perwujudan pengagungan terhadap arwah leluhur. 15
Upacara ini diselenggarakan 2 rangkaian upacara yaitu caos dhahar (mempersembahkan santapan) dan upacara ziarah. Sebelum upacara dilaksanakan, diperlukan adanya suatu persiapan meliputi persiapan lahir dan batin. Persiapan lahir adalah mempersiapkan sesuatu yang berkaitan dengan upacara ruwahan yakni uborampe (barang-barang kebutuhan upacara).



Persiapan batin adalah persiapan kejiwaan untuk melakukaan upacara yang bersifat sakral yakni dilakukan dengan berpuasa untuk membersihkan jiwa. Di makam raja-raja Imogiri upacara nyadran dilangsungkan sesudah didahului upacara utusan dari kraton. Upacara ini dilaksanakan oleh para abdi dalem dan segenap tamu undangan dan bagi masyarakat setempat dalam   melaksanakan upacara sendiri waktunya setelah dilaksanakannya upacara hajatan dalem. Upacara ini bertujuan untuk mengagungkan dan mengirim do’a pada leluhur sebagai rasa hormat mereka.
2.   Upacara  ziarah/nyekar
   Ziarah kubur dilakukan untuk mengagungkan arwah yang jasad keluarganya di makamkan di sana. Di samping itu ada pula yang memohon do’a restu kepada nenek moyang dalam menghadapi masalah berat dalam hidup. Ziarah kubur dilakukan setiap Kamis malam Jum’at, ada yang tiap 35 hari sekali (selapan) dan ada pada hari-hari yang dianggap suci, Selasa Kliwon atau Jum’at Kliwon. 16
   Upacara ini biasa disebut nyekar, sebab nyekar (tabur bunga) mengikuti ziarah kubur. Upacara tersebut dilakukan dengan khidmat, bunga yang ditabur di atas makam adalah bunga yang dianggap paling baik yakni bunga mawar, melati, kantil dan telasih yang ditambah dengan membakar menyan. 17

3.   Upacara mboyong kayu wunglen
   Kayu wunglen dipercayai sebagai salah satu wasilah/pengantar Sultan Agung untuk memberikan pertolongan. Menurut cerita, kayu wunglen ini peninggalan Kanjeng Sultan yang dianggap keramat. Kayu tersebut dapat dijadikan untuk menjaga badan dari gangguan sesuatu yang ghaib, dapat menambah kewibawaan serta dapat juga menyembuhkan orang sakit.
Upacara ini dilakukan bila ada masyarakat yang ingin memiliki kayu wunglen tersebut. Untuk memiliki kayu tersebut harus sowan atau menghadap pada juru kunci makam, kemudian matur atau mengatakan bahwa akan memboyong (membawa pulang) kayu wunglen. Kayu wunglen harus diuji dahulu, yakni dengan cara dimasukkan dalam segelas air putih, jika kayu tersebut langsung tenggelem berarti kayu wunglen boleh dibawa pulang.
Akan tetapi jika kayu tersebut tidak tenggelam berarti tidak dapat dibawa pulang, karena menurut juru kunci, hati orang yang ingin memiliki kayu wunglen tersebut belum benar-benar tulus dan bersih. Setelah kayu diuji dan dapat dibawa pulang maka kayu tersebut harus diganti dengan mahar/uang.  
4.   Upacara hari pahlawan
   Upacara ini dilakukan dengan tahlilan bersama dengan mengundang seluruh abdi dalem yang dilanjutkan tabur bunga. Upacara ini dimaksudkan untuk mengenang kembali jasa-jasa para leluhur yang di makamkan di makam raja-raja Mataram Imogiri dan seluruh pejuang kemerdekaan RI. 18
   Upacara-upacara tersebut diatas adalah sebagian dari upacara tradisi yang sering dilakukan di makam Imogiri. Begitu juga halnya dengan upacara tradisi nguras kong, upacara-upacara tradisi tersebut diatas memiliki tujuan yang sama yakni untuk menghormati jasa para leluhur, meskipun cara dan waktu pelaksanaan berbeda.  

REFRENSI:
1 Data Monografi Tahun 2003 Desa Girirejo, Kec. Imogiri Kab. Bantul, hlm 3.
2 Wawancara dengan Bpk. K.R.T. Rekso Winoto, Bupati Makam Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat, tanggal 25 Februari 2004.  
3 R. Ng. Martohastono, Riwayat Pasarean Imogiri Mataram, (Yogyakarta: t.p., 1956), hlm. 1. 
4 Ibid, hlm. 2-3.
5 Ibid.
6 Pranata, Sultan Agung, cet. I, (Jakarta: Yuda Gama, 1977), hlm. 70-73.
7 Ibid.
8  H.J. De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram : Politik Ekspansi Sultan Agung, (Jakarta : Pustaka Grafiti Pers, 1986), hlm. 299
9 Mudjanto (1986 : 20-35), dalam Mark R. Woodward, Islam Jawa : Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, (Yogyakarta: LKIS, 1999), hlm. 87-88. 
10 Ibid.
11 Solihin Salam, Sejarah Islam di Jawa, (Jakarta: Djaya Surni, 1964), hlm. 75. 
12 Ukatjandrasamita (e.d.), Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: Grafika, 1975), hlm. 239. 
13 Franz Magnis Suseno, (1993, 15), menulis bahwa "selametan merupakan ritus religius terpenting dalam masyarakat Jawa. Selametan diadakan pada semua peristiwa penting dalam hidup seperti kehamilan, kelahiran, khitan, perkawinan, pemakaman, sebelum dan sesudah panen padi, kenaikan pangkat dan hampir pada setiap kesempatan. Selametan terdiri dari sekedar makan bersama dengan mengundang para tetangga umumnya laki-laki, dengan do'a oleh modin".   
14 Wawancara dengan Jumali, Juru Kunci Makam Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat, tanggal 27 Februari 2004.
15 Karkono, Kebudayaan Jawa Perpaduannya dengan Islam, hlm. 246-247. 
16 Ibid., hlm 252.
17 Wawancara dengan Jumali, tanggal 27 Februari 2004. 
18 Ibid.
Share on Google Plus

About Unknown

RIC Karya
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar