Maha Mendengar Maha Melihat

INGATKAH engkau akan waktu malam sebagai pakaianmu. Ia menutupi dirimu supaya engkau sadar bahwa segala sesuatu ada maksudnya. Seperti malam ini aku berfikir, namun pena yang aku pegang hanya memandangiku. Ia tidak mau bergerak bahkan satu katapun tidak sempat mengotori kertas putih. Malam adalah simbol pakaian, supaya engkau sadar bahwa waktunya untuk instirahat.

Menulis saja tidak bisa, apa lagi menginginkan untuk menjadi orang hebat. Orang hebat itu harus berkarya. Orang hebat harus beda dengan kebanyakan orang. Aku baru yakin bahwa segala sesuatu ada waktunya, seperti malam ini mengingatkanku pada masa yang tak kusangka, sekarang aku memahaminya.

Masa yang tak kusangka itu adalah perjalananku ketika di pondok pesantran Bahrul Ulum Tambakberas Jombang Jawa Timur. Sangat mengasyikan hidup dipesantren, walaupun jauh dengan orang tua. Asalkan mampu menyadari akan pentingnya belajar. Karena sekarang sudah marak model pembelajaran, tidak hanya ilmu agama tapi ilmu umum juga didapat termasuk program ketrampilan.

Untuk mendapatkan ilmu yang praktis, saya bersama teman-teman mendatangi salah satu kyai. Di kalangan pesantren tradisional, kyai menjadi sesosok yang agung. Saya hendak mencari ijazah atau biasa disebut dengan doa atau amalan yang memudahkan dalam segala hal. Teman saya yang bernama Fahmi, berharap dapat ijazah ilmu kanuragan. Jadi ketika berhadapan dengan musuh, musuh akan ketakutan. Lain lagi dengan Nawawi, ia berharap mendapatkan ijazah pengasihan yakni ilmu yang bisa menjadikannya lebih berwibawa dan mendapatkan simpati orang lain.

Saya tidak tau soal amalan, doa, ataupun ijazah. Ke pesantren yang aku ingat hanya pesan bapak.

“Di pesantren kamu harus baca ak-Quran dan shalat tahajud”, kata bapak

“Iya”, jawabku. Sambil mikir kebingungan, saya hanya dikasih dua pesan itu saja.

Sampailah saya didepan rumah kyai irfan, kami disambut dengan baik. Beberapa hidangan lezat sudah ada dimeja, biasanya hidup dipesantren makan-makanan yang lezat amatlah jarak. Bisa makan enak kalo kiriman datang.

“Ada keperluan apa datang kesini”, tanya Pak Yai. Teman-teman ngak ada berani yang angkat bicara, sudah menjadi kebiasaan kalau dengan Pak Yai rasa minder selalu datang. Apa lagi dengan berbagai maca kepentingan. Fahmi dan Nawawi meyuruh aku untuk angkat bicara. Seketika aku beranikan untuk bicara.

“Maksud kedatangan saya dengan teman-teman, pertama silatuhrahmi. Kedua, kita memiliki keinginan dan keinginan itu terasa berat untuk diucapkan”.

“Memang yang berat itu apa, besi”, Pak Yai sambil tersenyum

“Ya..ngak Pak Yai”.

“Ke sini mau minta ijazah kan”, tanya Pak Yai

Tanpa aku beri tahu Yai Irfan sudah tau maksud kedatangan kami. Saya berserta teman-teman semakin berdebar-debar jantungnya.

“Maaf Pak Yai, memang gitu maksud kedatangan kami”, jawabku dengan agak malu memandang wajah Pak Yai.

Pak Yai tersenyum melihat kami, dimana perasaan kami semakin tidak enak saja. Tanpa pikir panjang Pak Yai memberikan wejanganya. Dunia ini seperti permainan drama, dimana semua pemainnya adalah pemeran utamanya. Tapi seorang pemeran utama adalah mereka yang mampu dan bisa.

Mereka melakukan yang terbaik, kalian minta ijazah pasti berharap ijazah tentang kanuragan dan lain sebgainya. Sekarang ini sudah tidak zamanya, pemeran utama itu bukan mengandalkan otot tapi pikirannya. Maka didiklah pikiranmu, dan tentu berikan makanan yang bergizi supaya jasmanimu juga ikut mendukungnya.

Kami semakin bingung, berharap mendapatkan amalan malahan mendapatkan ceramah dan petuah.
Lalu Yai Irfan mengambil secarik kertas, dan menuliskan beberapa potong ayat. Diberikan tulisan itu kepada saya.

“Coba kamu baca”, suruh Yai Irfan

Akupun membacanya, tulisan itu berbunyi ya sam’iu ya bashir yang artinya Allah itu maha mendengar dan maha melihat.

“Inikan salah satu dari asmaul husna. Apa manfaat dan khasiatnya Pak Yai”, tanyaku pada Pak Yai.

“Kamu benar. Manfaat dan kasiatnya, bisa menjadikanmu lebih cerdas dan pintar. Kalian harus membacanya 500 kali setelah selesai shalat jum’at.

Waduh…dalam hatiku mengatakan begitu, 500 kali. Akupun dan teman-teman akhirnya minta pamitan dan rasa terima kasih saya ucapkan kepada Yai Irfan. Kami mencium tangan Yai Irfan, dalam adat tradisional, katanya supaya mendapatkan berkah. Jarak sepuluh meter dari rumah Yai Irfan, Nawawi dan Fahmi saling komentar.

“Ngak jadi kebal bacok nih”, kata Fahmi. Lain lagi dengan Nawawi yang mengatakan

“Wah..wah..ngak jadi dapat cewek dong”.

Kami tetap menerima lapang dada, karena petuah Pak Yai adalah sesuatu yang penting dan bermanfaat pastinya. Begitu juga dengan diriku semakin penasaran akan manfaat dan khasiat, apa lagi membacnaya setelah habis selesai shalat jum’at.

Taukah engkau tujuanku menuntut ilmu dan sampai bapakku hanya berpesan dua syarat itu. Sebenarnya aku di pondok pesantren ada sesuatu menjadi alasannya. Pertama, nilai ujian akhirku waktu SMP itu sangat jelek. Kata bapak, nilai semacam ini tidak bisa diterima disekolah negeri yang favorit. Memang bapak saya, dalam sekolah ukurannya sekolah negeri yang berpatok dengan nilai.

Kedua, karena ketakutan saya sekolah di sekolah yang berbasis agama. Aku tidak bisa membaca al-Qur’an sama sekali. Bahkan aku ingat waktu ada ujian praktek kelulusan untuk membaca al-Qur’an, aku mengajak teman yang tidak bisa untuk keluar dari ruang kelas. Kebetulan sekolah kami dekat dengan pabrik, dan kami melompat dan bersembunyi di situ. Namun beberapa hari kemudian, kami tetap saja dipanggil guru agama, namanya Bu Ida. Kebetulan juga bapakku juga pengajar agama di sekolah. Karena membaca Qur’an adalah kewajiban, sayapun membacanya. Aku membaca dikantor, betapa malunya diriku disaksikan banyak guru. Namun sungguh luar biasa diluar batas nalarku, aku bisa membacanya. Bu Ida bilang; kamu bisa baca Qur’an gitu kok lari. Aku hanya tersenyum, dan keluar dari ruang guru. Dalam hatiku terima kasih bapak, engkau telah mengajarkanku mengingat. Memang aku diajar oleh bapakku sendiri, tapi aku pura-pura melihat Qur’an yang sesungguhnya aku menghafal. Jadi aku tidak mengerti huruf-huruf arab.

Bahkan awal di pesantren dulu, ada tes baca Qur’an. Aku berhadapan dengan orang-orang pintar. Kebetulan pula yang dibaca surat al-Baqarah dan aku menghafalnya. Tanpa pikir panjang aku membacanya dan ternyata aku salah membaca. Aku membaca bismillahi rahmanirahim keliru membaca bismillah rabbilalamin. Sungguh merah padam mukaku, dan akupun keluar dari majlis ilmu.

Lulus dari pesantren dan mendapatkan ijasah SMA. Puji syukur, akhirnya saya bisa mengenal huruf arab. Dan membawa amalan dari Kyai Irfan. Waktunya aku melanjutkan studi lanjut ke perguruan tinggi. Aku bingung memilih perguruan tinggi di semarang. Pada akhirnya akupun melanjutkan studi di IAIN Walisongo Semarang. Sekolah berbasis agama yang dulu sering aku takuti. Namun aku berusaha enjoy belajar disana.

Belum genap satu semester bapakku meninggal. Aku menjadi orang linglung, memikirkan berbagai macam hal tentang bagaimana aku melanjutkan studi sedankan aku tidak punya biyaya. Aku hanya bisa berdoa dan menerima kepergian bapakku.

Aku sempat aktif di Ukm Teater, disanalah aku mendapatkan teman-teman baru. Temanku selalu menasehatiku, semua pasti ada jalannya masing-masing. Aku tetap melanjutkan studi.

Taukah engkau, setelah kepergian bapakku. Ilmu yang kau dapatkan di pondok pesantren, semua hampir sirna. Aku menjadi orang hilang ditengah hutan rimba, hidupku semakin kacau dan rumit. Walau di kota sendiri aku kuliah, namun aku kontrak sama teman-teman. Karena perjalanan dari daerahku menghabiskan waktu hampir dua jam.

Minum-minuman keras telah membakar tubuhku. Diskotik acara konser musik aku sangat mengemarinya. Karena aku seperti mendapatkan surga dunia. Minimal setiap satu minggu sekali aku pasti meminum barang haram itu.

Bahkan temanku ada yang menawariku obat-obatan terlarang. Namun karena aku anak orang miskin, aku tidak mencobanya. Temanku tetap mendesak, soal uang itu urusan gampang, katanya. Namun aku masih punya prinsip, itu barang mahal. Mampuku hanya membeli minuman yang nikmat ini dan menghangatkan tubuhku.

Badanku semakin kurus, bahkan kuliahku sempat terhenti dua semester. Di kampus aku mendapatkan julukan preman kampus. Julukan itu saya dapatkan dari salah satu dosen musuhku, ia selalu memebriku nilai E.  Kebetulan juga aku gemar berkelahi.

Inilah kehidupan sebenarnya, aku sangat menikmati setiap kali mencoba minuman haram, apa lagi ditemani wanita-wanita cantik. Bertengkar dengan teman beda ukm dan bahkan orang lain.

Betapa malang nasibku, ketika mengendarai montor pinjaman dengan keadaan yang kurang sadar. Aku terjatuh dari montor dan semua tubuhku penuh dengan tinta warna merah. Namun aku tidak masuk rumah sakit, karena tentu biyaya sangat mahal. Kaki dan tangaku hampir patah, untung saja temanku ahli pijat soal saraf dan tulang.

Setelah sembuh, minum-minuman keras masih saja aku lanjutkan. Bahkan memakan makanan barang haram. Tubuhku seperti mendapatkan sinar hitan, yang mampu mengeluarkan nanah berwana kuning keemasan.

Ternyata meminum dan memakan barang haram, itu rasanya nikmat. Aku pernah berkata, mengapa makanan dan minuman senikmati ini di haramkan. Itu sedikit soal makanan dan minuman haram.

Pesan bapakku aku lupakan, tentang baca Qur’an dan shalat tahajud. Bahkan hampir dua tahun aku tidak shalat dengan komplit, apa lagi baca Qur’an menyentuh saja tidak. Aku seperti kehilangan Tuhanku, dan kenikmatan dunia itulah Tuhanku.

Semester sebelas, aku teringat dengan teman pesntrenku Fahmi dan Nawawi. Aku telpon keduanya, Nawawi kuliah hanya diploma kini dia sudah memiliki usaha kecil-kecilan dibidang komputer. Lain lagi dengan Fahmi, dia tidak kuliah namun sungguh luar biasa kini dia mejadi agen Koran di wilayah Bojonegoro Jawa Timur. Sedangkan aku luluspun belum, hidup masih terlunta-lunta.

Keberuntungan masih menyertaiku, aku selalu curhat dengan kedua temanku itu. Dia mengingatkanku tentang amalan dari Kyai Irfan, hampir saja aku lupa. Kedua temanku mengamalkan ijazah tersebut. Aku adalah orang yang rasionalis, tapi aku menginginkan peurbahan dalam hidup ini.

Aku beranjak lari dari hal-hal merugikan hidupku, walau banyak temanku menghindar dariku karena kini aku sedikit mengalami perubahan. Diajak berbuat yang negatif, aku selalu menolak.

Amalan kyai aku ingat begitu juga dengan pesan bapak. Aku baca dan aku resapi makna Allah maha melihat lagi maha mendengar. Kini aku menemukan sesuatu mukjizat diluar batas akal pikiranku. Ternyata kedua kata tersebut memiliki makna tersendiri yang menyatu.

Melihat itu mata, mendengar itu telinga. Mata dan telingi berada dalam satu garis lurus dan bergandeng mesra.

Dengan mata aku mampu melihat realitas sesungguhnya. Belajar dari teater untuk mengamati orang gila, kini aku mendapatkan ilmunya. Ternyata kehidupan ini harus seperti orang gila, soal rizki ada yang mengatur, usaha dan doalah yang menjadikan rizki itu berlipat ganda.

Orang yang tidak punya mata saja, bisa memiliki berbagai macam karya seperti lagunya symphony bethoven. Dengan matapula aku bisa membaca. Sehingga aku sering ke perpustakaan dan membaca buku. Ternyata belajar tidak hanya diruang berbentuk persegi, namun dengan membaca. Kini aku menjadi orang yang haus akan buku.

Mata ini telah mengajarkanku, untuk selalu bersyukur dengan melihat sesuatu yang rendah. Sehingga aku bisa mensyukuri nikmat. Dengan mata ini telah menunjukkanku ke arah hidup yang lebih baik. Maka sayangilah mata, Karena dengan mata, kita bisa tahu segalanya.

Lain lagi dengan telinga. Aku sering mendengarkan ceramah-ceramah dari tokoh-tokoh. Sehingga aku mendapatkan pengetahuan baru dari mereka. Sekarang aku gemar menghadiri diskusi, seminar, dialog kebangsaan dan bahkan mengadakan diskusi. Dengan diskusi aku dapat mendengarkan melalui telingaku ini, tentang segala sesuatu realitas.

Telinga ini telah mengajarkanku tentang keindahan dan kemerduan nyanyian alam. Sehingga kini aku sering merawat keduamya, karena keduanyalah yang telah menuntun hidupku menjadi orang yang bijak. Terima kasih wahai mata dan telinga.

Semester dua belas aku lulus dari kuliah. Berbagai macam tawaran pekerjaan sudah ada di depan mata. Aku pernah menjadi seorang guru, dosen dan bahkan wartawan. Menjadi pedangangpun saya alami.
Telinga dan matakulah yang menuntunya, dengan memanfaatkan mata dan telinga. Aku dapat menulis karya di media masa, sehingga namaku sering muncul di media cetak.


Ya sami’u ya bashir. Ternyata dibalik kekuatan sadar manusia dan kekuatan diluar batas realitas. Itulah keagungan mata dan telinga, karena ia berjalan bersama.
Share on Google Plus

About Unknown

RIC Karya
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar