Ikhlaskanlah...

Oleh: Budiyanti Anggit
(Pendidik dan Penulis tinggal di Ambarawa Semarang)

Mendung Menyelimuti kota Ambarawa, Pak Khohar berdiri mematung di depan pasar terbesar di daerahnya pada tengah malam yang dingin ini. Kini dadanya sesak, badannya seolah –olah akan jatuh. Pak Khohar tidak percaya akan peristiwa yang ada di depan matanya ini, mimpikah? Tatapannya hanya satu, kobaran api yang kian membumbung tinggi ke udara mewarnai malam pada awal bulan puasa.

Satu per satu tiang –tiang penyangga bangunan pasar terbesar di kota Ambarawa itu roboh. Lengkingan suara menyebut Asmaallah tak menyurutkan kobaran api dan dengan cepat meluluhlantakkan seluruh isi pasar termasuk dagangan Pak Khohar. Jerit tangis manusia semakin menjadi. Bara api kian tinggi meski air telah disiramkannya. Lalu-lalang orang mengamankan barang yang masih bisa diselamatkan. Raungan mobil pemadam kebakaran tak mengubah wajah Pak Khohar, masih muram karena ia tak mungkin menembus api yang melalap kiosnya yang berada di tengah pasar. Malam pun semakin pekat oleh asap yang tebal.

“Ya Allah... mengapa begitu cepat kau ambil semua hartaku, apa salahku ya... Allah,”Pak Khohar menjerit. Suasana semakin ramai dengan berduyun-duyun manusia menyemut memenuhi depan pasar. Makin malam udara dingin semakin menusuk tubuh Pak Khohar yang kurus. Pak Khohar yang sudah beruban ini terlihat letih dan tak berdaya. Tatapannya kosong tak bisa berucap walau sejuta kata masih memenuhi rongga tenggorokan yang kian kering.
Badan Pak Khohar kini makin panas dingin tak karuan, lebih-lebih samar-samar ia dengar celoteh orang-orang yang kebetulan berada di sampingnya

”Astaghfirullahaladzim.. semoga para pedagang diberi ketabahan atas cobaan ini.” Pak Khohar menjawab dengan kata pelan ”Amin” berkali-kali. Namun, yang mengagetkannya, ia dengar juga suara parau dari orang yang berada agak jauh.

”Ya.... inilah hukuman para pedagang, hukuman bagi orang yang menipu pembeli.”
“Deg,” kuping Pak Khohar mulai panas.

“Coba kita lihat para pedagang dengan seenaknya menipu pembeli, misalnya tuh.. jual tahu, atau bakso berformalin, pakai borak. Belum lagi jual makanan dengan pewarna palsu dan pemanis buatan. Ada lagi masalah timbangan. Ya..para pedagang menimbang dagangannya tidak pas, di bawah timbangannya diberi besi atau logam,” teriak orang lebih keras lagi.

“Pedagang itu bohongnya gede. Belinya Rp 10.000 tapi dia ngomong kalau belinya Rp 15. 000. kepada pembeli. Nah... inilah balasan dari Tuhan, rasakan saja ! sekarang Tuhan telah memberi peringatan pada manusia,” suara lantang orang yang persis di sebelah kanannya. Pak Khohar menutup telinganya dengan kedua tanganya. “Tidak.. tidak... tidak..aku tidak berbuat seperti itu,” teriak Pak Khohar sambil melangkah meninggalkan tempat itu.
“Bapak...!!!”

“Oh ...kau anakku dan kau Bu....” tiba-tiba khohar bertemu anak dan istrinya. Mereka berangkulan tak berucap apa-apa
“Bapak... ke mana saja tadi, saya dan ibu mencari Bapak.”
“Saya di sini dari tadi.. Bu...,lha kalian ke mana saja?” kata Pak Khohar lemas.
“Saya dan Ibu sudah dari tadi di sini dan langsung mencari Bapak, ternyata kita berdekatan dari tadi.”
“Dagangan kita lenyap semua, Bu... padahal kemarin baru saja kita belanja banyak dan... gimana nih.. Bu.. utang kita banyak?” keluh Pak Khohar

“ Sudahlah, yang penting kita selamat, sebenarnya saya juga sedih Pak, tapi gimana lagi!”
“ Ikhlaskan... saja Bapak... insyaallah, Allah akan menggantinya,” kali ini anak Pak Khohar ikut menasihati.
“Tapi... utang kita yang ratusan juta gimana, saya harus membayar ke Bank dengan apa Bu..?”
“Benar Pak .. pasrahkan pada Allah, sekarang Bapak pulang, biar saya dan Tarni di sini dulu.”
“Iya... Bapak pulang saja, nanti sakit lho... ” kali ini anak Pak Khohar yang baru saja lulus SMA ikut membujuk ayahnya
“ Tidak anakku, aku ingin di sini sampai api padam.”
“ Bapak... ikhlaskan semua harta Bapak, insyaalah nanti Allah akan menggantikannya lebih banyak, pasrah saja Bapak,” Surti berkata lembut sambil memegang tangan ayahnya yang dingin.
“Bisakah aku menyekolahkanmu, Nak?” kata Pak Khohar sambil meneteskan air mata.
“ Bapak tidak usah memikirkan hal itu, yang penting, sekarang Bapak harus bisa menjaga kesehatan, aku sudah memutuskan tidak kuliah dulu, Pak. Nanti aku akan bekerja saja, dan insyallah saya akan membantu Bapak dan ibu.”
“Benar itu kata anakmu.. Bapak harus bisa menjaga kesehatan, walaupun harta kita habis tapi kita masih diberi kesehatan. Oleh karena itu kita wajib bersyukur dan tawakal kepada Allah, karena harta sebanyak apapun itu hanyalah titipanNya. Kalau Allah menghendaki apapun milik kita bisa diambilNya. Kita tidk bisa mengelak. Kita harus ikhlas. Ya.. semoga kita diberi kesabaran, ketabahan dan keimanan.” Kata istri khohar yang sudah ikhlas walaupun sebelumnya juga sulit menerima kenyataan seperti itu.
“Ayo...sekarang pulang dulu...nanti Bapak sakitnya kambuh lho!!”
“ Tapi aku masih ingin di sini menunggu kios kita !”kata Pak Khohar keras hati sambil batuk –batuk.
“ Nah... Bapak batuk-batuk.. sebaiknya Bapak pulang dan minum obat!”
Pak Khohar akhirnya menuruti nasihat istri dan anaknya. Surti mengantar Bapaknya pulang ke rumah yang tidak jauh dari pasar.
--------

Pagi- pagi sekali setelah adzan subuh, Pak Khohar berkemas-kemas menuju pasar.
“Bapak ....sebaiknya subuhan dulu, ke pasarnya nanti dengan saya saja, ” ajak istrinya sambil melipat mekena.
“Bu... saya malas shalat, malas ke masjid, percuma saja, saya shalat rutin, tapi semua hartaku lenyap seketika, gak bisa diselamatkan, kan? adilkah Tuhan ? dan nyatanya Tuhan tidak mengasihiku.. ya... itu kenyataan...dagangan kita yang banyak tetap habis.”
“Bapak gak boleh berkata begitu, kualat lho.. kita itu gak bisa berbuat apa-apa kalau Tuhan menghendaki, ini cobaan bagi kita Pak!”
“Ah kamu bisanya ceramah saja, coba pikir... kita selama ini rajin shalat di masjid, nyatanya...harta kita tetap habis.”
“Bapak... hati-hati kalau bicara, eling pak...eling dengan Allah.”

“Ah gak usah khutbah, sudahlah aku mau ke pasar, siapa tahu ada dagangan yang tidak hangus dan saya akan menemui lurah pasar, ingin tahu siapa yang membakar pasar tersebut.”
Pak Khohar sangat sulit untuk diberi nasihat, dan istrinya benar-benar heran dengan suaminya. Kebakaran telah mengubah begitu cepat perangai suaminya. Padahal dulu Pak Khoharlah yang mempunyai jiwa sabar, tidak pemarah dan sangat tekun beribadah, tapi kini berubah seratus delapan puluh derajat.
Pak Khohar pun sudah sampai pasar, walau bara api sudah tidak semerah tadi malam. Khohar tetap ingin melihat kiosnya yang berada di tengah pasar.
“Bapak... jangan masuk dulu, api belum sepenuhnya padam Pak,” kata petugas keamanan yang masih berjaga-jaga di sekitar pasar.
“Tapi... saya ingin lihat kiosku , masak tidak boleh?”

“ Ini sudah ada garis polisi kan, Pak? itu tandanya kawasan ini masih berbahaya,”

Kali ini hati Pak khohar jengkel, mau protes tidak berani. Pikiran Pak Khohar makin panas, bingung mau melakukan apa. Pak Khohar seperti orang linglung berulang-ulang ia mengitari pasar. Setelah lelah ia berhenti, duduk bersila sambil memandangi bongkahan bara yang hitam. Sekarang bibirnya tersungging sedikit, diselingi tawa yang agak hambar.

Tiba-tiba...Pak Khohar berdiri dan menyalami satu persatu orang- orang yang kebetulan lewat di depannya. “Mari...mari kalau mau lihat pasar kobong... gratis kok, mau foto-foto juga boleh atau mau belanja di kiosku? Sebentar ya!!sebentar lagi dagangan saya datang sabar... ya, sabar.. sabar... sabar... heeeee!!! Pak Khohar berulah aneh, tawanya sumbang, membuat orang yang lewat di depannya penuh tanda tanya.

” He... lihat kasihan sekali tuh... ada orang stres, gara-gara hartanya habis,” suara sinis orang-orang yang berada tak jauh dari Pak Khohar.

Detik-demi detik orang-orang yang merubung Pak Khohar makin banyak. Dengan tawanya yang kadang diselingi tangis, ekspresi Pak Khohar berbeda. Orang-orang melihat dengan penuh keheranan atas tingkah laku aneh pada diri pak Khohar. Namun, tiada satu pun orang yang peduli dengan ulah Pak Khohar, yang ada, mereka ikut mentertawai.

“Bapak... Bapak..mengapa Bapak seperti ini?”
tiba-tiba anak dan istri Pak Khohar menyeruak di antara kerumunan. Tangis pilu mewarnai suasana saat itu.
“Pergi... pergi semua, Bapakku bukan tontonan ayo pergi!!!” teriak Tarni, anak Pak Khohar sambil mendekap ayahnya dengan berurai air mata. Satu per satu orang meninggalkan kerumunan.

“Ya.... Allah kuatkan hambaMu ini,” begitu kata istri Pak Khohar sambil mengajak suaminya pulang.
Ambarawa, 28 Januari 2013
Share on Google Plus

About Unknown

RIC Karya
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar