Pencarian

Oleh: Agus Munif
(Pendidik dan Pegiat Budaya)
 
DENGAN berganti-ganti kendaraan antara semangat dan kekecutan, serta kadang berganti antara ketakutan dan keberanian. Maka sampailah aku dan masa muda ditepi lembah ngarai yang sangat luas, dalam misi pencariaan. Tampak puncak gunung masih diselimuti oleh kabut yang bercampur dengan awan-gemawan. Disinilah untuk sementara kami berhenti. Kulihat masa muda nampak memandang ketimuran matahari yang sedang khusuk melantunkan pepujian terhadap zat yang Maha Agung. Dan secara perlahan aku pun memanjatkan doa semoga awan-gamawan yang berada dipuncak gunung tidak menjadi badai.

Selesai berdoa, aku memberanikan diri bertanya kepada masa muda,”Wahai masa muda! Kita berada di mana?”

“Kita berada di lembah ngarai kebingungan!”

“Lalu, mengapa kita harus melewati lembah dan ngarai ini?”

“Sebab lembah ngarai kebingungan merupakan awal dari pengetahuan! Maka bersabarlah dengan selalu berpegang pada tali zat keaguangn, supaya kita tidak tersesat di dalamnya!”

Tiba-tiba sesosok bayangan menghampiri kami berdua, sontak aku terpekik, “Siapakah engkau?”

“Inilah aku, anak misteri dari penguasa lembah ngarai ini!”

Aku pun berbisik pada masa muda, “Gerangan apa yang dia inginkan! Wahai masa muda?”

“Dia datang untuk menunjukan kepada kita akan dunia dan duka cita, sebab siapa yang tidak mengetahui duka cita ia tidak akan melihat keriaan.” Jawab masa muda.

Sejurus kemudian, tampak tangan anak misteri merenggutku dan membawaku terbang ke atas bumi. Sekejap kemudian kusaksikan bumi dan semua yang di dalamnya terbentang di hadapanku. Tampak olehku para manusia berjuang mencari dan mengenali lambang kehidupan. Sebagian dari mereka berada di dalam kebingungan yang kini bergerak menuju harapan lalu menuju keputus-asaan.

Aku menyaksikan cinta dan kebencian bermain di hati setiap insan. Kulihat cinta menyembunyikan kesalahannya dibalik ketulusan untuk tunduk dekat penyarahan dalam doa sanjungan. Sedangkan kebencian tampak membangkitkan amarah dan membutakannya terhadap kebaikan, serta menutup telingannya dari pembicaraan yang benar.

Kulihat para pemimpin agama bersaing satu dengan yang lainnya dengan mengangkat pandangan mereka ke arah surga, sementara hati mereka di dalam kubangan nafsu birahi.Ya, aku melihat agama terkubur di antara kitab dalam manfaat ilusinya. Kusaksikan manusia memanggil kesabaran yang bernama kemalasan, dan kelemahan.

Aku melihat kekayaan di tangan para pemboros, sehingga bagai jerat perbuatan jahat dan bila kekayaan jatuh pada orang-orang yang kikir, maka bagai kedunguan para pengikutnya yang dungu. Disisi yang lain kusaksikan si miskin yang menyedihkan menabur dan menanam, sedang si kaya yang kuat menuai dan memakan. Itulah penindasan, dan rakyat memanggilnya hukum.

Para pencuri, perampok dan pemuja kegelapan, kusaksikan mencuri benda pikiran. Sementara para penjaga cahaya tenggelam dalam tidur kemalasan. Sedang para pembuat hukum memperdagangkan antara tirani dan keadilan. Mereka memutarbalikkan fakta dan realita menjadi sebuah kesemuan belaka. Para dokter menukar kesehatan dengan kesakitan kepada masyarakat yang penuh percaya. Kusaksikan pula kebodohan bersanding dengan kearifan. Keduanya kemudian mengambil contoh masing-masing sebuah permadani dan membentangkannya, dan dari keduanya, tampaklah yang satu berupa petaka dan yang satu adalah kehormatan.

Demikian juga kusaksikan muda-mudi berbagi cinta, mereka bergelut dengan eros dan philos. Mereka menarik dekat cita-cita kegagahannya yang selalu diapit oleh kerinduan serta kasih sayang yang tak pernah tidur.

Ketika kusaksikan semua peristiwa tersebut, aku mengerang pedih dan bertanya kepada anak misteri, “Apa arti bumi ini?Wahai anak misteri! Inikah manusia yang sesugguhnya?”

Dia menjawab dengan suara luka yang basah,”Inilah jalan yang terbuat dari bebatuan, onak dan duri. Inilah bayangan manusia. Bukankah engakau dan masa muda sedang dalam misi pencarian. Inilah yang dapat kuperlihatkan sebagai mana titah orang tuaku yaitu lembah dan ngarai kebingungan”.

Sekonyong-konyong, ketika anak misteri mengakhiri ucapannya aku seperti melihat diriku di dalam kebeliaanku yang berjalan lamban. Sedangkan harapan telah berlari di depanku. Dan sayup-sayup kumendengar masa muda melantunkan doa, “Allahumma Kama Hasanta Kholqina Fahasin Huluqina. Wa akrimna Bitaqwa Wajimilna Bil Ilmi Wal Mal Wal Afiyah”.
28 -09- 1423/ 4 Des 002. mp smg.
Share on Google Plus

About Unknown

RIC Karya
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar