Oleh: Agus Thohir
(Direktur LaStA dan Pendidik Alumnus IAIN Walisongo Semarang)
(Direktur LaStA dan Pendidik Alumnus IAIN Walisongo Semarang)
Pendidikan
merupakan proses belajar mengajar yang dapat menghasilkan perubahan di
segala hal termasuk perilaku, sikap dan perubahan intelektualnya.
Pendidikan sebagai usaha untuk membantu mencapai kedewasaan pola pikir
dan berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang melaju dengan cepat, yang cenderung tak
terkendali, bahkan hampir-hampir tak mampu dielakkan oleh dunia
pendidikan.
Seiring
dengan perubahan dunia yang begitu mencekam dan telah di dominasi oleh
sistem kapitalisme, menyebabkan dehumanisasi sebab meletakkan pendidikan
sebagai komoditas untuk mengakumulasi kapital dan mendapatkan
keuntungan. [1]
Dalam hal ini, sistem pendidikan di era kekinian lebih banyak dibangun
atas dekrit kebijakan yang mereproduksi ideologi penguasa kaum borjuis,
bukan lahir dari “rahim” kesadaran pembangunan masyarakat baru secara
“revolusioner” dan “visioner”. Melihat realitas pendidikan yang
cenderung liberatif diperlukan dasar penanaman nilai yang kuat untuk
membentengi moralitas peserta didik.
Tantangan
globalisasi yang menggurita hingga dalam ranah kebijakan pendidikan
menjadi semakin terasa, sehingga perlunya manusia dibentengi dengan
nilai-nilai luhur agama, mengingat pengaruhnya yang besar terhadap
manusia. Pengesampingan unsur jasmani dan rohani dapat
menyeret manusia pada kelalaian, kealpaan, dan lupa yang disebabkan oleh
kesibukan-kesibukan sehingga manusia butuh pendidikan. Dari realitas kekinian pendidikan
nilai menjadi sangat diperlukan untuk kemajuan pendidikan, karena
sekarang pendidikan hanya difokuskan pada kognitif saja, seperti yang
diungkapkan Djohar bahwa pendidikan moral hanya sebatas moral kognitif
bukan moral learning.[2]
Apalagi di era globalisasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi telah membawa manusia dalam kemudahan. Ilmu yang telah digelar
oleh Allah lewat ayat-ayatnya (qouliyah dan qouniyah) memang dipersiapkan oleh Allah sesuai dengan fitrah manusia artinya memenuhi dorongan asasi manusia yaitu keingintahuan (curiosity) terhadap segala sesuatu (realitas).
Perilaku
kehidupan pada era informasi ini juga telah merambah kehidupan domestik
dan personal. Maraknya kasus-kasus perceraian, pengunaan obat-obat
terlarang, depresi, psikopat, skizofrenia dan bunuh diri yang di sebut
oleh Frijof Capra sebagai “penyakit-penyakit peradaban”. [3]
Ternyata perkembangan sains dan teknologi yang spektakuler pada abad
ke-20 tidak selalu berkorelasi positif dengan kesejahteraan umat
manusia.
Persoalan
krisis global semakin kompleks dan multidimensional salah satu masalah
serius yakni kerusakan ekologi atau lingkungan hidup[4],
telah menjadi isu global yang melibatkan cara pandang manusia modern
terhadap alam. Alam telah dipandang sebagai sesuatu yang harus dinikmati
semaksimal mungkin. Memang dominasi terhadap alamlah yang menyebabkan
masalah bencana, lahan semakin sempit, kurangnya ruang bernafas,
pengurasan jenis sumber alam, hancurnya keindahan alam.
Dominasi
atas alam dan konsepsi materialistik tentang alam yang dianut manusia
modern ini telah didukung dengan nafsu dan ketamakan yang semakin banyak
menuntut lingkungan.[5] Semua ini dalam pandangan filosofis akibat dari cara pandang yang dualistik-mekanistik dan materialistik[6]. Cara pandang ini menyebabkan terjadinya dikotomik atau diversitas (pembedaan)
seperti; subyek-obyek, manusia-alam, manusia-Tuhan, suci-sekuler,
timur-barat. Cara pandang dikotomik ini menyebabkan tidak harmonis
antara manusia, Tuhan, dan alam yang telah dihancurkan. Semua ini
terkait dengan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh hancurnya harmoni
antara Tuhan dan manusia
.
Model Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal
Ditengah
maraknya pendidikan yang memberikan taraf untuk menjadi daya tarik,
sehingga menjadikan lembaga sekolah bisa memberi tarif untuk mendapatkan
untung (red- komoditas bisnis), maka harus ada benang merah untuk
menjembatani realitas global yang semakin materialistic. Modernisme
sendiri menjadi masalah kolektif dan afeknya mengikis budaya lokal
menjadi kebarat-baratan, di pendidikan sendiri mengalami dekadensi dalam
perannya sehingga harus ada alternatif yang solutif. Untuk
menilik dari apa yang akan diketengahkan dalam pembahasan kali ini,
sebelumnya penulis mencoba membahas sedikit dari arti kearifan local itu
sendiri.
Kearifan
lokal atau sering disebut local wisdom dapat diartikani sebagai usaha
manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan
bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam
ruang tertentu. Pengertian tersebut disusun secara etimologi, di mana
wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang atau pribadi dalam
menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil
penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai
sebuah istilah wisdom juga sering diartikan sebagai wujud dari makna
‘kearifan/kebijaksanaan’.
Local
sendiri juga bisa dimaknai secara spesifik menunjuk pada ruang
interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang
interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya
melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau
manusia dengan lingkungan fisiknya. Didalamanya terjadi pola interaksi
yang sudah terdesain dalam sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk
secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut yang
akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah-laku
mereka.
Mengurai
dari sedikit penjelasan tentang aras kearifan local, saya mencoba
membidik pada sisi peran pendidikan dalam ranah kelembagaannya untuk
diulas. Tanpa mengesampingkan dari berbagai sudut pandangnya dari sisi
model pendidikan menjadi menarik bila diketengahkan sebagai bidikan
kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam diskripsi dari
suatu sistem yang disederhanakan agar dapat menjelaskan. Model
pendidikan karakter berbasis kearifan budaya lokal merupakan satu
tawaran yang masih bisa diketengahkan sebagai satu alternatif solusi
ditengah tekanan liberalisasi kebijakan, hal ini sebagai upaya untuk
meletakkan dasar-dasar filosofi pendidikan yang sejati, yaitu bahwa
pendidikan tidak terpisahkan dari masyarakat.
Pendidikan yang sejati berfungsi membangun karakter individu agar sesuai dengan nilai-nilai kearifan yang menguri-uri
tradisi kebudayaan disekitarnya. Oleh karena itu perlu dikaji ulang
untuk kembali kepada makna, esensi, dan filosofi pendidikan nasional itu
sendiri, karena pendidikan tidak lepas dari pembelajaran yang mampu
menghidupkan kreatifitas, sehingga mampu menjadi representasi terampil
dan aktif.
Disinilah
yang menjadi titik tekan dari pendidikan sendiri, sehingga apa yang
diharapkan agar terjadi proses transformasi dan akulturasi ilmu dan
kebudayaan dapat berjalan dan bersanding. Pendidikan dan
kebudayaan memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Pendidikan tidak dapat
dipisahkan dengan kebudayaan. Tanpa proses pendidikan tidak mungkin
kebudayaan itu berlangsung dan berkembang. Sehingga dapat diartikan
pendidikan sendiri merupakan proses pembudayaan.
Melihat
begitu kuatnya peran pendidikan sebagai proses pembudayaan, maka
pendidikan juga harus berakar pada nilai. Nilai sendiri harus berawal
dari agama dan kebudayaan local, bahkan di lembaga sekolah sekarang ada
upaya untuk mengembangkan muatan lokal yang sesuai dengan nilai-nilai
budaya dan potensi lingkungan sekolahnya, sehingga sekolah memiliki ciri
khas sebagai keunggulannya.
Secara
tidak langsung kalau kita mengamati pendidikan dalam kekinian
diperlukan kurikulum yang integral agar bisa menjembatani antara
kebutuhan modern karena zaman yang begitu liberatif tetapi tetap berakar
pada kearifan local. Kearifan local ini adalah budaya atau tradisi budi
pekerti yang menjadi karakter. Sehingga pendidikan dan pembelajaran
menjadi satu sinergi yang mampu mencipta kreasi.
Untuk
mengurai permasalahan bangsa yang dihadapi demikian kompleks,diperlukan
pendekatan multidimensional dan multijalur. Tak cukup hanya dipecahkan
dari sudut ekonomi seperti yang selama ini. Hal ini perlunya
pengembangan pendidikan karakter bangsa berbasis kearifan lokal penting
untuk dikaji untuk menggali nilai-nilai lokal yang bisa dijadikan
sebagai muatan pendidikan karakter.
Kearifan
lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode
panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam
sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu
panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal
sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif
masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Kearifan lokal
tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh,
yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban.
Alternatif Pembelajaran
Pembelajaran
sering di istilahkan dalam mendefinisikan tentang transformasi
pengetahuan. Hal ini sering dikaitkan dengan guru dan murid, apalagi
kalau bukan melegitimasi bahwa guru menjadi sumber prioritas belajar.
Proses merupakan suatu perubahan yang dilakukan secara continue, menjadi
penting bahkan menjadi permanen dalam memberikan timbal balik atas
perubahan kemampuan manusia dan diikuti oleh sikap dan perilakunya.
Begitu juga dengan belajar, seharusnya mampu menghasilkan perubahan
perilaku anak didik dan guru adalah pelakunya untuk mengeksplorasi
potensi menjadi maksimal sesuai dengan fitrahnya. Untuk mencapai
perubahan pada lembaga pendidikan diperlukan kontrol dan gebrakkan
sistem yang membutuhkan waktu lama.
Pembelajaran sendiri bukan dimaknai sebagai pengetahuan ansich
yang dikenalkan melalui kelas-kelas formal. Bila ditelisik dalam
realitasnya sekolah konvensional cenderung pakem sehingga tidak
membebaskan “menjadi penjara”, yang memisahkan anak didik dari
dinamika persoalan sosial masyarakat nyata. Semakin lama bersekolah
semakin jauh pula dirinya dengan ralitas sosial. Fenomena ini menjadi
perhatian bersama bahwa hasil perbincangan yang diketengahkan sekarang
yakni tentang penanaman nilai dalam sekolah cenderung materi oriented.
Sehingga anak didik kurang peduli dengan lingkungan sekitarnya.
Pola
pendidikan lama yang bersifat tradisional inilah yang harus kita
konstruksi, karena polanya melahirkan sistem pendidikan yang menuntut
pada sikap kepatuhan, penerimaan dan ketaatan. Buku teks menjadi
representasi utama dari pengetahuan. Guru menjadi pelaku yang
menyampaikan pengetahuan dan ketrampilan serta memaksakan peraturan
kepada murid. Pembelajaran model ini hanya dipahami sebagai proses
memperoleh apa yang sudah terkumpul dalam buku-buku dan kepala yang
lebih dewasa.[7]
Sehingga dalam kondisi kekinian dibutuhkan terobosan yang mampu
menjembatani antara kebutuhan diri (peserta didik) dan lingkungan,
sedangkan guru bukan difahami sebagai sumber tapi menjadi fasilitator
untuk mengeksplorasi potensi dan bakat peserta didik agar bisa maksimal
dan bermanfaat untuk lingkungannya.
Menurut
hemat penulis ada beberapa hal yang harus ditekankan dalam pendidikan
itu sendiri agar bisa tercapai pada tujuan luhurnya, diantaranya
pertama, harus ada desain kontekstual dalam pembelajarannya. Kedua,
harus ada kurikulum khas yang dikembangkan, ketiga selanjutnya, lembaga
sekolah harus mampu menciptakan lingkungan yang sesuai dengan lokalitas.
Missal; sekolah harusnya mampu merepresentasikan daerahnya, sehingga
sekolah bukan hanya gedung dan tembok yang malah memisahkan ruang antara
masyarakat sekitar dan siswa itu sendiri. Sehingga sekolah harus bisa
meningkatkan bentuk sosialisasi yang mampu menerjemahkan diri (siswa)
dalam konteks kebersamaan yang berbasis lokalitas kedaerahan.
Pada prinsipnya bila dianalisa secara luas menurut hemat penulis,
ada lima pesan yang menjadi target mulia untuk mengembangkan kemampuan
pribadi yang akan dicapai dari pelaksanaan model pendidikan yang berbasis kearifan lokal untuk masa depan, diantaranya yaitu :
1. Disciplined Mind (pribadi yang memiliki satu atau lebih disiplin ilmu).
2. Syinthesis Mind (pribadi yang mempunyai daya ramu pengetahuan), ini menjadi penting untuk bekal berkelanjutan di pendidikan berikutnya.
3. Creative Mind
(pribadi yang memiliki daya cipta), menjadi penopang untuk menciptakan
kreasi dalam pembelajaran yang mengedepankan nalar kontekstual.
4. Respectful Mind
(pribadi yang memiliki rasa hormat) disinilah kelebihan dalam
pengejawantahan nilai moralitas sehingga membentuk karakter santun yang
bersifat aktif.
5. Ethical Mind
(pribadi yang etis), merupakan aktualisasi individu yang menghasilkan
nilai penghargaan akan ciptaanNya, sehingga menghasilkan rasa kepedulian
dan tanggungjawab.
Pendidikan
karakter menjadi sebuah integrasi antara knowledge dan skill, yang akan
memberikan acuan pada landasan diri dan kepribadian. Bukan dimaknai dalam ranah lahiriah ansich, sehingga pemaknaan
lebih implicit ditekankan pada moral yang berlandaskan pada nilai
kebijaksanaannya. Missal bertaqwa, bertanggungjawab, disiplin,
jujur,sopan, peduli, kerja keras, toleran bersikap baik, kreatif,
mandiri, couriosity (rasa ingin tahu), menghargai dll.
Tentunya semua itu tidak mudah, semua harus dilandasi tekad sebagai bentuk ijtihad dari semua elemen pendukung. Lebih
dari itu upaya penanaman pendidikan berkarakter, berbasis kearifan
local sebagai counter modernitas menuju bangsa yang luhur bukanlah suatu
yang mustahil karena bila kita melihat kekuatan budaya kita. Semua
menjadi mungkin tinggal bagaimana paradigma yang dibangun sebagai dasar
pembaharuan agar pendidikan bukan sekedar pemenuhan status social,
tetapi lebih dari itu. Pendidikan merupakan upaya menembus batas tradisi
yang bersifat mondial yang mengedepankan kearifan dan kebijaksanaan. Bahkan dalam tradisi jawa pendidikan merupakan “ngerti, ngroso lan nglakoni. Bila itu direnungkan sangat dalam sekali dan menjadi bentuk karakter dasar yang menjiwai keluhuran bangsa.
Semoga
kita semua dapat menyiapkan para generasi penerus bangsa untuk menjadi
calon pemimpin masa depan yang memiliki karakter. Dari harapan tersebut
prinsip, karakter dan kemampuan intektual mampu berintegrasi yang tinggi dan cerdas dalam melihat perkembangan sejarah bangsa. Amien.
*) Makalah ini dibuat sebagai wujud perbaikan pendidikan berwawasan lingkungan dan berkearifan
[1] Mansour Fakih, “Komodifikasi Pendidikan Sebagai Ancaman Kemanusiaan”, dalam pengantar buku Francis X Wahono, Kapitalisme Pendidikan; Antara kompetisi dan Keadilan, (Yogyakarta: Insist Press, Cindelaras bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2001), hlm. xi
[2] Djohar, Masalah Pendidikan Strategik; Alternatif Untuk Masa Depan, Editor: Andy Dermawan, (Yogyakata: LESFI, 2003), hlm.138
[3] Husain Heriyanto, Paradigma Holistik, Dialog Filsafat, Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005), hlm. 297
[4]
Problem lingkungan yang sudah terjadi di semesta memang sangat komplek,
akan tetapi jika diteliti secara seksama sebenarnya bersumber pada 5
aspek yaitu aspek dinamika kependudukan, pengembangan sumber daya alam
dan energi, pertumbuhan ekonomi, perkembangan science dan teknologi dan
benturan terhadap lingkungan. Kelima persoalan tersebut saling kait
mengkait satu dengan lainnya sehingga menjadi problem serius. Lihat:
M.T. Zein ed., Menuju Kelestarian Lingkungan, Gramedia, cet. II, Jakarta, 1980, hlm. 2 dst. Baca: Mujiono Abdillah, Disertasi, Teologi Lingkungan Islam, Program Pascasarjana (PPs) S.3 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[5] Seyyed Hossein Nasr, Antara Tuhan, Manuisa dan Alam, (Yogyakarta: Icisod, 2003), hlm 29
[6] Keyakinan bahwa realitas yang ada hanya materi (fisik), untuk dapat diyakini adanya (eksistensi) segala sesuatu harus dapat diamati dan diukur.
[7] John Dewey, Experience and Education, dialih bahasakan oleh Hani’ah, Experience and Education pendidikan berbasis pengalaman, (Jakarta: Teraju, 2004), hlm. 4
0 komentar :
Posting Komentar