Oleh: Ahmad Subkhi
TERLIHAT di tengah kota Makkah ada rumah sederhana sedang digelayut awan haru. Suasana sepi mencekam isi rumah itu. Yang terdengar hanya doa-doa suci bersuara lirih. Fathimah menatap sedih ke arah dua bocah manis yang sedang tergeletak lemah tidak berdaya. Bibirnya bergetar menahan haru. Hasan dan Husain sedang sakit. Matanya berhias cekung dan badannya menipis kurus. Di sudut matanya menyimpan butir air mata yang menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Demam tinggi menahan dua putra mulia ini untuk tetap diam pada pembaringannya. Rasa khawatir yang panjang makin mendera hati Fathimah tatkala suara menahan sakit putranya terdengar mengaduh. Perlahan Fathimah menggerakkan tubuhnya, ia peluk kedua putranya dengan perasaan iba. Air mata Fathimah makin menderai ketika ia sering mendengar suara pilu terbata-bata karena menahan sakit. Pelukan Fathimah makin merapat dengan harapan agar beban yang menghimpit belahan jiwanya tidak semakin bertambah. Tapi, mereka masih saja meringis, menahan sakit yang tidak bisa dilawannya.
Dekapan hangat tubuh Fathimah terusik, ketika terdengar suara salam dan pintu terketuk. Perlahan Imam Ali bangkit dari duduknya, lalu dibukanya pintu itu. Dibalik pintu Imam Ali menyaksikan Rasul dan para sahabat datang berkunjung. Mengetahui Rasul yang datang, Fathimah segera menyambutnya. Ia menanyakan perihal kabar bapaknya. Begitu juga Rasul menanyakan kesehatan cucunya. Usai melihat Hasan-Husain, salah seorang sahabat Nabi berkata pada Fathimah dan Imam Ali, ”Wahai Abu Hasan, kalau engkau bernazar untuk kedua anakmu, tentu Allah akan menyembuhkan sakit mereka.” Imam Ali berkata, ”Aku akan berpuasa selama tiga hari sebagai rasa syukur kepada Allah.” Perkataan yang sama terucap dari bibir Fathimah, ”Begitu juga aku, aku akan berpuasa selama tiga hari sebagai rasa syukurku.” Ucapan yang sama disusul oleh Hasan-Husain dan Fidhdhah, pelayannya.
Dengan keagungan sumpah mereka, tak lama dari kejadian itu, Allah menyembuhkan sakit Hasan dan Husain. Keluarga agung itu pun memenuhi janjinya, berpuasa tiga hari. Ketika mereka akan memulai puasanya, tidak ada sedikit pun makanan yang mereka miliki, bahkan sepotong kurma pun tidak ada. Mereka tetap melaksanakan puasanya tanpa bekal makanan di waktu sahur. Di pagi hari, usai shalat dan zikir, Imam Ali bergegas untuk mencari bekal buat berbuka. Ia pergi mendatangi seorang Yahudi bernama Syam’un, ”Apakah engkau dapat memberikan kepadaku bulu domba untuk dipintal oleh putri Muhammad dengan upah tiga sha’ gandum?” Orang Yahudi itu mengangguk dan memberikan kepada Imam Ali bahan wol dan tiga sha’ gandum. Fathimah datang menyambut kehadiran suaminya, Ia menerima dan memintal bahan wol itu sesuai pesanan. Menjelang sore Fathimah mempersiapkan gandum untuk ditumbuk dan dijadikan roti.
Usai salat Maghrib dan zikir, ketika mereka bersiap-siap untuk berbuka, tiba-tiba mereka mendengar rintihan pilu seorang miskin, ia berdiri rapuh di depan pintu. Matanya sayu dan pakaiannya dipenuhi dengan debu. Bibirnya yang kering berkata, ”Salam sejahtera wahai Ahli Bait Muhammad, aku seorang miskin dari kaum muslim. Sudah beberapa saat aku tidak menemukan makanan. Sudikah engkau memberikan makanan yang kalian miliki, semoga Allah membalasnya dengan makanan surga.” Ada rasa khawatir yang mendalam pada hati Imam Ali dan Fathimah. Imam Ali menatap nanap Fathimah seraya berkata, ”Wahai Fathimah, perempuan mulia dan beriman teguh. Putri manusia agung di muka bumi. Di hadapan kita berdiri seorang miskin dan sengsara, merintih pedih menahan lapar.” Dengan iba Fathimah berucap, ”Wahai putra paman, perintahmu aku taati. Aku tak menyesal dan mencelamu. Engkau telah berikan makanan dengan sifat murahmu. Kuberikan juga makananku di jalan Allah meskipun lapar meradang perutku.” Segera Fathimah bangkit dan memberikan seluruh makanan yang terdapat di atas meja. Tidak ada makanan yang tersisa sedikit pun. Malam itu mereka tidur dalam keadaan perut yang lapar. Keesok harinya mereka berpuasa lagi tanpa buka dan sahur sebelumnya. Mereka hanya minum segelas air putih saja.
Pada puasa hari kedua Fathimah kembali membuat roti dari sisa gandum yang kemarin untuk bekal berbuka. Ketika mereka bersiap-siap untuk berbuka di hari itu, seorang anak datang dan berdiri di depan pintu, dari mulutnya yang pecah tergagap suaranya yang lembut, ”Salam sejahtera wahai Ahli Bait Nabi, Berilah aku makanan dari apa yang kalian makan.” Ia sebut dirinya seorang yatim dari kaum muslim. Imam Ali berkata, ”Wahai Fathimah, putri Rasulullah, yang mulia dan dermawan, Allah telah mengutus anak yatim kepada kita. Siapa yang hari ini mengharap rida Tuhan. Kelak tempatnya adalah surga dengan nikmat yang tak terhingga.” Fathimah menyambut ucapan suaminya, ”Ia pasti kuberi, dengan kerelaan yang tulus, tak peduli keadaan kita sendiri. Sama sepertiku, mereka akan bermalam dalam keadaan lapar. Dan si kecil dengan laparnya akan syahid di medan tempur.” Dari tangannya yang lembut,yang sering dicium bibir Rasul, ia berikan semua makanan yang ada. Kebahagiaan terpancar di roman muka anak yatim itu, ia makan dengan sangat lahap dan hilanglah rasa perih yang menusuk perutnya. Mata haru dan rasa bahagia menyelimuti keluarga Fathimah ketika menyaksikan kebahagiaan memenuhi hati anak itu.
Menjelang hari ketiga, tidak ada sedikit makanan pun yang tersentuh oleh bibir-bibir yang mulia itu, sahur dilaluinya dengan zikir dan rasa lapar. Hari ketiga dilewati oleh Fathimah dengan menumbuk sisa gandum untuk dibuatnya roti. Tangannya yang lelah melepuh karena menahan berat menggiling gandum.Wajahnya tampak pucat dan sayu. Tinggal sedikit saja sisa tenaganya yang ada. Sedangkan Hasan dan Husain masih tetap bertahan menahan rasa lemas dan lapar. Kekhawatiran meronakan wajah Imam Ali. Perjuangan yang berat hampir selesai.
Setelah mereka membasahi bibirnya dengan zikir dan shalat, mereka berkumpul untuk melepas ikatan puasa, berbuka. Tiba-tiba saja terdengar suara pelan mendendangkan ungkapan kepedihan, ”Salam sejahtera tercurah selalu bagimu, wahai Ahli Bait Nabi.” Suaranya kecil dan tersendat-sendat. ”Orang kafir telah menawanku berhari-hari, aku disekap tanpa minum dan makan. Rasa lapar membahana perutku. Sudikah kalian memberikan makanan untukku.” Imam Ali mempersilahkannya masuk, seraya berkata kepada Fathimah, “Duhai Fathimah putra Ahmad, putra agung dan dermawan, tanpa ada yang menunjukkan ke sini, tawanan itu datang dengan bekas belenggu di tangan. Ia mengeluh lapar dan sengsara. Barangsiapa memberi makan orang yang sengsara, kelak akan memperoleh balasan yang sama dari sisi Allah. Setiap orang yang menanam, pasti ia akan menuai hasilnya.” Fathimah bergumam, ”Gandum tinggal setakar. Tanganku melepuh karena gilingan. Demi Allah, inilah dua anakku sudah terlampau lapar. Ya Allah jangan binasakan mereka hingga aku kehilangan mereka.” Tanpa ragu Fathimah memberikan semua makanan. Pribadinya yang tulus dan ikhlas, yang selalu iba jika melihat ada orang yang lapar, membawanya menyerahkan semua makanan yang ada.
Mereka tidur dalam keadaan lapar lagi. Begitu pula di hari keempatnya. Perut mereka selalu dilewati dengan lapar, dan hal itu sering terjadi setiap hari-hari yang dilalui keluarga suci itu. Tidak ada makanan sedikit pun yang menjemput malam di atas meja rumah mereka. Fathimah tidak pernah lama-lama menyimpan makanannya di dalam lemari. Sifat dermawan dan cinta kasihya pada kaum mustadh’afin mengantarkannya untuk selalu memberi dan tanpa pamrih.
Setelah peristiwa itu, Imam Ali dan kedua putranya pergi menuju rumah Rasulullah dengan membawa beban lapar dan tubuh yang menggigil. Ketika Rasul melihat mereka, Rasul berkata, ”Wahai Abu Hasan, ada apakah dengan mukamu yang pucat dan tubuhmu yang menggigil. Sungguh, aku sangat mencemaskanmu dan kedua cucuku.” Segera Imam Ali menceritakan segala kejadian yang menimpa keluarganya. Rasulullah mengajak Imam Ali untuk menemui Fathimah. Sesampai di rumah dilihatnya Fathimah sedang duduk bersimpuh. Kondisinya sangat mengkhawatirkan Rasulullah. Perutnya kempis karena menahan lapar yang panjang. Begitu juga dengan matanya yang tampak cekung karena menahan pening yang mendera kepalanya. Rasul segera mendekap tubuhnya dengan erat, seraya menjerit, ”Apatah keluarga Muhammad akan mati karena kelaparan?” Tubuh Rasul masih saja berguncang dan bergetar menahan haru. Air mata pilu jatuh membasah pundak Fathimah. Sampai-sampai malaikat pembawa wahyu datang dan menyampaikan pujian istimewa kepada Muhammad dan Ahli Baitnya yang tertulis dalam surat Al-Insan 5-22.
Kecintaan Fathimah dan kepedulian yang tulus kepada orang miskin dan papa, ia buktikan dengan kerelaan berkorban menahan lapar yang mengoyak perutnya. Tak peduli perih menusuk perutnya, yang terpenting baginya memberikan kebahagiaan yang terbaik kepada orang lain. Sudahkah sebagian dari kita memberikan harapan bahagia dan mebebaskan belenggu kesulitan yang menghimpit pundak-pundak kaum papa walaupun hanya sebatas curahan kasih sayang kepada mereka? Sudahkah kita sedikit saja rela berkorban untuk menghilangkan rasa pedih tetangga kita yang menahan lapar dan membutuhkan bantuan kita dengan mengurangi jatah makan dan bekal kita seperti halnya keluarga Fathimah? Atau kita merasa terganggu ketika perjamuan makan keluarga kita terusik dengan kehadiran orang miskin yang mengetuk pintu rumah kita dan meminta belas kasihan untuk diberi, sementara hidangan mewah dan lezat menghias meja makan kita?
Bukti kecintaan yang dalam Fathimah kepada kaum miskin dapat kita simak dalam perjalanan hidupnya. Suatu hari, usai shalat berjamaah, Rasul didatangi seorang tua renta yang lemah, ia berkata, ”Wahai Nabi Allah, perutku lapar aku memohon kepadamu adakah sesuatu yang bisa aku makan. Begitu juga dengan tubuhku yang berbaju lusuh dan kotor, berilah aku pakaian serta kecukupan yang dapat menghilangkan kefakiranku.” Rasul menjawab iba, ”Wahai saudaraku, aku tidak memilki sesuatu pun apa yang kau minta. Pergilah engkau ke rumah putriku Fathimah.” Lalu Bilal mengantar lelaki tua itu ke rumah Fathimah.
“Siapakah Anda, wahai saudaraku,” kata Fathimah ketika lelaki itu tiba di rumah Fathimah beserta Bilal. “Aku seorang tua dari Arab. Aku datang dari negeri yang jauh. Tubuhku dibalut baju usang dan perutku lapar. Aku memohon kepadamu wahai putri Rasul, berilah aku bantuanmu.” Lalu Fathimah memberikan kulit domba yang telah disamak yang biasa dipakai Hasan dan Husain sebagai alas tidur. Fathimah berkata, ”Ambilah ini untukmu. Mudah-mudahan Allah memberikan yang lebih baik daripada ini.” Orang itu terdiam, lalu berkata, ”Bukan aku menolak pemberianmu wahai putri Rasulullah, aku sangat lapar dan apa yang bisa aku perbuat untuk menghilangkan rasa laparku dengan kulit domba ini.”
Saat itu, sudah tiga hari Fathimah tidak mendapatkan makanan, ia pun dalam kondisi yang sama seperti lelaki tua itu; sangat lapar dan lemas. Fathimah segera melepaskan kalung yang melingkar di lehernya, kalung satu-satunya yang ia miliki selama hidupnya dan merupakan pemberian Fathimah binti Hamzah. Segera ia memberikannya kepada pria itu, ”Ambilah ini dan juallah. Semoga Allah memberikan yang lebih baik daripada pemberianku.” Setelah kejadian itu, lelaki itu pergi menghadap Rasul dan diceritakannya semua tentang pertemuannya dengan Fathimah. Mendengar ucapan lelaki tua itu Nabi meneteskan airmata. Setelah disetujui oleh Rasulullah, Amar bin Yasar segera membeli kalung yang dibawa oleh lelaki itu. Ada rasa puas terpancar dari wajahnya yang penuh dengan keriput, dengan pelan ia berkata,”Terimakasih ya Rasulullah, aku telah puas dengan semuanya.” “Berterimakasihlah engkau kepada Fathimah,” Rasul menjawab haru. Lelaki tua itu menengadahkan muka dan tangannya seraya berdoa, ”Ya Allah, sesungguhnya Engkau adalah tempat kami memohon. Bagi kami tidak ada Tuhan yang kami sembah kecuali Engkau. Engkau ada pada setiap saat. Ya Allah, bukakanlah kepada Fathimah sesuatu yang tak terlihat mata dan tak terdengar oleh telinga.”
Dalam keadaan lapar, Fathimah masih saja sempat memberi kepada orang miskin. Sampai-sampai karena besarnya rasa ingin memberi dan lembutnya hati Fathimah, alas tidur pelindung dingin putranya di waktu malam ia rela berikan. Bahkan satu-satunya benda yang berharga di dalam hidupnya sudi ia berikan kepada orang yang memerlukan pertolongannya. Begitu terpujinya engkau duhai Fathimah. Rasa lapar bagimu adalah kebahagiaan untuk orang lain. Ketabahan dan kecintaanmu pada kaum miskin adalah hiasan mulia hati sucimu.
Di balik hatinya yang lembut, ia selalu terbayang akan perkataan ayahnya, ”Berhati-hatilah kamu dari sifat kikir, karena ia adalah penyakit yang tidak terdapat dalam diri seseorang yang mulia. Berhati-hatilah kamu dari sifat kikir, karena ia adalah sebatang pohon di neraka dan dahan-dahannya ada di dunia. Barangsiapa yang bergantung pada salah satu dahannya, maka ia akan memasukannya ke dalam api neraka.” Fathimah adalah sosok perempuan yang mulia. Kemuliaannya ia buktikan dengan memenuhi seluruh jiwanya dengan sikap dermawan dan menghindari kekikiran. Suatu saat, ketika Fathimah akan menikah, Rasul pernah membuatkan sehelai baju untuknya. Waktu itu Fathimah hanya memiliki beberapa pakaian saja. Baju terbaik yang dimilikinya ketika itu adalah baju yang penuh dengan tambalan. Karena itu Rasul hadiahkan baju kepada anaknya untuk dikenakan pada hari pernikahannya. Menjelang beberapa hari pernikahannya, suatu pagi di depan pintu berdiri seorang papa. Ia mematung sepi. Perlahan ia berkata, ”Wahai Fathimah, adakah sehelai baju yang layak bagiku untuk melindungi tubuhku ini,” Fathimah teringat firman Allah, Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (QS. Al-Imran 92).
Segera Fathimah memberikan baju baru pemberian ayahnya itu dengan ketulusan hatinya yang dalam. Menjelang pernikahan Fathimah, malaikat Jibril datang dan memberinya sehelai baju yang terbuat dari sutra hijau.
Dialah Fathimah, sosok ibu bagi kaum miskin. Dia yang memberikan segalanya pada kaum papa di saat kesulitan menghimpit diri dan keluarganya. Ia berikan kebahagiaan tanpa pamrih dan harap. Bahkan ia rela menahan lapar yang panjang untuk senyum kebahagiaan orang lain. Dialah pengayom dan tempat berlindung kaum mustadh’afin dari berbagai kesulitan. Dialah perempuan sederhana penuh karisma. Dialah bunda mulia pelipur lara. Sudahkah sebagian dari kita mencoba menjadi bunda seperti halnya Fathimah, selain bunda bagi putra-putranya? Ibu yang memiliki kepribadian tulus yang selalu mencintai dan memberi kebahagiaan kepada kaum miskin, seperti halnya Fathimah Az-Zahra.
Salam bahagia bagimu, ya Sayyidah Fathimah, bantulah kami dengan doa-doamu kepada Allah, agar kami bisa berakhlak mulia sepertimu dan menapak jalan kemuliaan dengan kecintaan kepada kaum miskin setiap saat. Kebahagiaan dan kasih sayang Allah besertamu selalu.
TERLIHAT di tengah kota Makkah ada rumah sederhana sedang digelayut awan haru. Suasana sepi mencekam isi rumah itu. Yang terdengar hanya doa-doa suci bersuara lirih. Fathimah menatap sedih ke arah dua bocah manis yang sedang tergeletak lemah tidak berdaya. Bibirnya bergetar menahan haru. Hasan dan Husain sedang sakit. Matanya berhias cekung dan badannya menipis kurus. Di sudut matanya menyimpan butir air mata yang menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Demam tinggi menahan dua putra mulia ini untuk tetap diam pada pembaringannya. Rasa khawatir yang panjang makin mendera hati Fathimah tatkala suara menahan sakit putranya terdengar mengaduh. Perlahan Fathimah menggerakkan tubuhnya, ia peluk kedua putranya dengan perasaan iba. Air mata Fathimah makin menderai ketika ia sering mendengar suara pilu terbata-bata karena menahan sakit. Pelukan Fathimah makin merapat dengan harapan agar beban yang menghimpit belahan jiwanya tidak semakin bertambah. Tapi, mereka masih saja meringis, menahan sakit yang tidak bisa dilawannya.
Dekapan hangat tubuh Fathimah terusik, ketika terdengar suara salam dan pintu terketuk. Perlahan Imam Ali bangkit dari duduknya, lalu dibukanya pintu itu. Dibalik pintu Imam Ali menyaksikan Rasul dan para sahabat datang berkunjung. Mengetahui Rasul yang datang, Fathimah segera menyambutnya. Ia menanyakan perihal kabar bapaknya. Begitu juga Rasul menanyakan kesehatan cucunya. Usai melihat Hasan-Husain, salah seorang sahabat Nabi berkata pada Fathimah dan Imam Ali, ”Wahai Abu Hasan, kalau engkau bernazar untuk kedua anakmu, tentu Allah akan menyembuhkan sakit mereka.” Imam Ali berkata, ”Aku akan berpuasa selama tiga hari sebagai rasa syukur kepada Allah.” Perkataan yang sama terucap dari bibir Fathimah, ”Begitu juga aku, aku akan berpuasa selama tiga hari sebagai rasa syukurku.” Ucapan yang sama disusul oleh Hasan-Husain dan Fidhdhah, pelayannya.
Dengan keagungan sumpah mereka, tak lama dari kejadian itu, Allah menyembuhkan sakit Hasan dan Husain. Keluarga agung itu pun memenuhi janjinya, berpuasa tiga hari. Ketika mereka akan memulai puasanya, tidak ada sedikit pun makanan yang mereka miliki, bahkan sepotong kurma pun tidak ada. Mereka tetap melaksanakan puasanya tanpa bekal makanan di waktu sahur. Di pagi hari, usai shalat dan zikir, Imam Ali bergegas untuk mencari bekal buat berbuka. Ia pergi mendatangi seorang Yahudi bernama Syam’un, ”Apakah engkau dapat memberikan kepadaku bulu domba untuk dipintal oleh putri Muhammad dengan upah tiga sha’ gandum?” Orang Yahudi itu mengangguk dan memberikan kepada Imam Ali bahan wol dan tiga sha’ gandum. Fathimah datang menyambut kehadiran suaminya, Ia menerima dan memintal bahan wol itu sesuai pesanan. Menjelang sore Fathimah mempersiapkan gandum untuk ditumbuk dan dijadikan roti.
Usai salat Maghrib dan zikir, ketika mereka bersiap-siap untuk berbuka, tiba-tiba mereka mendengar rintihan pilu seorang miskin, ia berdiri rapuh di depan pintu. Matanya sayu dan pakaiannya dipenuhi dengan debu. Bibirnya yang kering berkata, ”Salam sejahtera wahai Ahli Bait Muhammad, aku seorang miskin dari kaum muslim. Sudah beberapa saat aku tidak menemukan makanan. Sudikah engkau memberikan makanan yang kalian miliki, semoga Allah membalasnya dengan makanan surga.” Ada rasa khawatir yang mendalam pada hati Imam Ali dan Fathimah. Imam Ali menatap nanap Fathimah seraya berkata, ”Wahai Fathimah, perempuan mulia dan beriman teguh. Putri manusia agung di muka bumi. Di hadapan kita berdiri seorang miskin dan sengsara, merintih pedih menahan lapar.” Dengan iba Fathimah berucap, ”Wahai putra paman, perintahmu aku taati. Aku tak menyesal dan mencelamu. Engkau telah berikan makanan dengan sifat murahmu. Kuberikan juga makananku di jalan Allah meskipun lapar meradang perutku.” Segera Fathimah bangkit dan memberikan seluruh makanan yang terdapat di atas meja. Tidak ada makanan yang tersisa sedikit pun. Malam itu mereka tidur dalam keadaan perut yang lapar. Keesok harinya mereka berpuasa lagi tanpa buka dan sahur sebelumnya. Mereka hanya minum segelas air putih saja.
Pada puasa hari kedua Fathimah kembali membuat roti dari sisa gandum yang kemarin untuk bekal berbuka. Ketika mereka bersiap-siap untuk berbuka di hari itu, seorang anak datang dan berdiri di depan pintu, dari mulutnya yang pecah tergagap suaranya yang lembut, ”Salam sejahtera wahai Ahli Bait Nabi, Berilah aku makanan dari apa yang kalian makan.” Ia sebut dirinya seorang yatim dari kaum muslim. Imam Ali berkata, ”Wahai Fathimah, putri Rasulullah, yang mulia dan dermawan, Allah telah mengutus anak yatim kepada kita. Siapa yang hari ini mengharap rida Tuhan. Kelak tempatnya adalah surga dengan nikmat yang tak terhingga.” Fathimah menyambut ucapan suaminya, ”Ia pasti kuberi, dengan kerelaan yang tulus, tak peduli keadaan kita sendiri. Sama sepertiku, mereka akan bermalam dalam keadaan lapar. Dan si kecil dengan laparnya akan syahid di medan tempur.” Dari tangannya yang lembut,yang sering dicium bibir Rasul, ia berikan semua makanan yang ada. Kebahagiaan terpancar di roman muka anak yatim itu, ia makan dengan sangat lahap dan hilanglah rasa perih yang menusuk perutnya. Mata haru dan rasa bahagia menyelimuti keluarga Fathimah ketika menyaksikan kebahagiaan memenuhi hati anak itu.
Menjelang hari ketiga, tidak ada sedikit makanan pun yang tersentuh oleh bibir-bibir yang mulia itu, sahur dilaluinya dengan zikir dan rasa lapar. Hari ketiga dilewati oleh Fathimah dengan menumbuk sisa gandum untuk dibuatnya roti. Tangannya yang lelah melepuh karena menahan berat menggiling gandum.Wajahnya tampak pucat dan sayu. Tinggal sedikit saja sisa tenaganya yang ada. Sedangkan Hasan dan Husain masih tetap bertahan menahan rasa lemas dan lapar. Kekhawatiran meronakan wajah Imam Ali. Perjuangan yang berat hampir selesai.
Setelah mereka membasahi bibirnya dengan zikir dan shalat, mereka berkumpul untuk melepas ikatan puasa, berbuka. Tiba-tiba saja terdengar suara pelan mendendangkan ungkapan kepedihan, ”Salam sejahtera tercurah selalu bagimu, wahai Ahli Bait Nabi.” Suaranya kecil dan tersendat-sendat. ”Orang kafir telah menawanku berhari-hari, aku disekap tanpa minum dan makan. Rasa lapar membahana perutku. Sudikah kalian memberikan makanan untukku.” Imam Ali mempersilahkannya masuk, seraya berkata kepada Fathimah, “Duhai Fathimah putra Ahmad, putra agung dan dermawan, tanpa ada yang menunjukkan ke sini, tawanan itu datang dengan bekas belenggu di tangan. Ia mengeluh lapar dan sengsara. Barangsiapa memberi makan orang yang sengsara, kelak akan memperoleh balasan yang sama dari sisi Allah. Setiap orang yang menanam, pasti ia akan menuai hasilnya.” Fathimah bergumam, ”Gandum tinggal setakar. Tanganku melepuh karena gilingan. Demi Allah, inilah dua anakku sudah terlampau lapar. Ya Allah jangan binasakan mereka hingga aku kehilangan mereka.” Tanpa ragu Fathimah memberikan semua makanan. Pribadinya yang tulus dan ikhlas, yang selalu iba jika melihat ada orang yang lapar, membawanya menyerahkan semua makanan yang ada.
Mereka tidur dalam keadaan lapar lagi. Begitu pula di hari keempatnya. Perut mereka selalu dilewati dengan lapar, dan hal itu sering terjadi setiap hari-hari yang dilalui keluarga suci itu. Tidak ada makanan sedikit pun yang menjemput malam di atas meja rumah mereka. Fathimah tidak pernah lama-lama menyimpan makanannya di dalam lemari. Sifat dermawan dan cinta kasihya pada kaum mustadh’afin mengantarkannya untuk selalu memberi dan tanpa pamrih.
Setelah peristiwa itu, Imam Ali dan kedua putranya pergi menuju rumah Rasulullah dengan membawa beban lapar dan tubuh yang menggigil. Ketika Rasul melihat mereka, Rasul berkata, ”Wahai Abu Hasan, ada apakah dengan mukamu yang pucat dan tubuhmu yang menggigil. Sungguh, aku sangat mencemaskanmu dan kedua cucuku.” Segera Imam Ali menceritakan segala kejadian yang menimpa keluarganya. Rasulullah mengajak Imam Ali untuk menemui Fathimah. Sesampai di rumah dilihatnya Fathimah sedang duduk bersimpuh. Kondisinya sangat mengkhawatirkan Rasulullah. Perutnya kempis karena menahan lapar yang panjang. Begitu juga dengan matanya yang tampak cekung karena menahan pening yang mendera kepalanya. Rasul segera mendekap tubuhnya dengan erat, seraya menjerit, ”Apatah keluarga Muhammad akan mati karena kelaparan?” Tubuh Rasul masih saja berguncang dan bergetar menahan haru. Air mata pilu jatuh membasah pundak Fathimah. Sampai-sampai malaikat pembawa wahyu datang dan menyampaikan pujian istimewa kepada Muhammad dan Ahli Baitnya yang tertulis dalam surat Al-Insan 5-22.
Kecintaan Fathimah dan kepedulian yang tulus kepada orang miskin dan papa, ia buktikan dengan kerelaan berkorban menahan lapar yang mengoyak perutnya. Tak peduli perih menusuk perutnya, yang terpenting baginya memberikan kebahagiaan yang terbaik kepada orang lain. Sudahkah sebagian dari kita memberikan harapan bahagia dan mebebaskan belenggu kesulitan yang menghimpit pundak-pundak kaum papa walaupun hanya sebatas curahan kasih sayang kepada mereka? Sudahkah kita sedikit saja rela berkorban untuk menghilangkan rasa pedih tetangga kita yang menahan lapar dan membutuhkan bantuan kita dengan mengurangi jatah makan dan bekal kita seperti halnya keluarga Fathimah? Atau kita merasa terganggu ketika perjamuan makan keluarga kita terusik dengan kehadiran orang miskin yang mengetuk pintu rumah kita dan meminta belas kasihan untuk diberi, sementara hidangan mewah dan lezat menghias meja makan kita?
Bukti kecintaan yang dalam Fathimah kepada kaum miskin dapat kita simak dalam perjalanan hidupnya. Suatu hari, usai shalat berjamaah, Rasul didatangi seorang tua renta yang lemah, ia berkata, ”Wahai Nabi Allah, perutku lapar aku memohon kepadamu adakah sesuatu yang bisa aku makan. Begitu juga dengan tubuhku yang berbaju lusuh dan kotor, berilah aku pakaian serta kecukupan yang dapat menghilangkan kefakiranku.” Rasul menjawab iba, ”Wahai saudaraku, aku tidak memilki sesuatu pun apa yang kau minta. Pergilah engkau ke rumah putriku Fathimah.” Lalu Bilal mengantar lelaki tua itu ke rumah Fathimah.
“Siapakah Anda, wahai saudaraku,” kata Fathimah ketika lelaki itu tiba di rumah Fathimah beserta Bilal. “Aku seorang tua dari Arab. Aku datang dari negeri yang jauh. Tubuhku dibalut baju usang dan perutku lapar. Aku memohon kepadamu wahai putri Rasul, berilah aku bantuanmu.” Lalu Fathimah memberikan kulit domba yang telah disamak yang biasa dipakai Hasan dan Husain sebagai alas tidur. Fathimah berkata, ”Ambilah ini untukmu. Mudah-mudahan Allah memberikan yang lebih baik daripada ini.” Orang itu terdiam, lalu berkata, ”Bukan aku menolak pemberianmu wahai putri Rasulullah, aku sangat lapar dan apa yang bisa aku perbuat untuk menghilangkan rasa laparku dengan kulit domba ini.”
Saat itu, sudah tiga hari Fathimah tidak mendapatkan makanan, ia pun dalam kondisi yang sama seperti lelaki tua itu; sangat lapar dan lemas. Fathimah segera melepaskan kalung yang melingkar di lehernya, kalung satu-satunya yang ia miliki selama hidupnya dan merupakan pemberian Fathimah binti Hamzah. Segera ia memberikannya kepada pria itu, ”Ambilah ini dan juallah. Semoga Allah memberikan yang lebih baik daripada pemberianku.” Setelah kejadian itu, lelaki itu pergi menghadap Rasul dan diceritakannya semua tentang pertemuannya dengan Fathimah. Mendengar ucapan lelaki tua itu Nabi meneteskan airmata. Setelah disetujui oleh Rasulullah, Amar bin Yasar segera membeli kalung yang dibawa oleh lelaki itu. Ada rasa puas terpancar dari wajahnya yang penuh dengan keriput, dengan pelan ia berkata,”Terimakasih ya Rasulullah, aku telah puas dengan semuanya.” “Berterimakasihlah engkau kepada Fathimah,” Rasul menjawab haru. Lelaki tua itu menengadahkan muka dan tangannya seraya berdoa, ”Ya Allah, sesungguhnya Engkau adalah tempat kami memohon. Bagi kami tidak ada Tuhan yang kami sembah kecuali Engkau. Engkau ada pada setiap saat. Ya Allah, bukakanlah kepada Fathimah sesuatu yang tak terlihat mata dan tak terdengar oleh telinga.”
Dalam keadaan lapar, Fathimah masih saja sempat memberi kepada orang miskin. Sampai-sampai karena besarnya rasa ingin memberi dan lembutnya hati Fathimah, alas tidur pelindung dingin putranya di waktu malam ia rela berikan. Bahkan satu-satunya benda yang berharga di dalam hidupnya sudi ia berikan kepada orang yang memerlukan pertolongannya. Begitu terpujinya engkau duhai Fathimah. Rasa lapar bagimu adalah kebahagiaan untuk orang lain. Ketabahan dan kecintaanmu pada kaum miskin adalah hiasan mulia hati sucimu.
Di balik hatinya yang lembut, ia selalu terbayang akan perkataan ayahnya, ”Berhati-hatilah kamu dari sifat kikir, karena ia adalah penyakit yang tidak terdapat dalam diri seseorang yang mulia. Berhati-hatilah kamu dari sifat kikir, karena ia adalah sebatang pohon di neraka dan dahan-dahannya ada di dunia. Barangsiapa yang bergantung pada salah satu dahannya, maka ia akan memasukannya ke dalam api neraka.” Fathimah adalah sosok perempuan yang mulia. Kemuliaannya ia buktikan dengan memenuhi seluruh jiwanya dengan sikap dermawan dan menghindari kekikiran. Suatu saat, ketika Fathimah akan menikah, Rasul pernah membuatkan sehelai baju untuknya. Waktu itu Fathimah hanya memiliki beberapa pakaian saja. Baju terbaik yang dimilikinya ketika itu adalah baju yang penuh dengan tambalan. Karena itu Rasul hadiahkan baju kepada anaknya untuk dikenakan pada hari pernikahannya. Menjelang beberapa hari pernikahannya, suatu pagi di depan pintu berdiri seorang papa. Ia mematung sepi. Perlahan ia berkata, ”Wahai Fathimah, adakah sehelai baju yang layak bagiku untuk melindungi tubuhku ini,” Fathimah teringat firman Allah, Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (QS. Al-Imran 92).
Segera Fathimah memberikan baju baru pemberian ayahnya itu dengan ketulusan hatinya yang dalam. Menjelang pernikahan Fathimah, malaikat Jibril datang dan memberinya sehelai baju yang terbuat dari sutra hijau.
Dialah Fathimah, sosok ibu bagi kaum miskin. Dia yang memberikan segalanya pada kaum papa di saat kesulitan menghimpit diri dan keluarganya. Ia berikan kebahagiaan tanpa pamrih dan harap. Bahkan ia rela menahan lapar yang panjang untuk senyum kebahagiaan orang lain. Dialah pengayom dan tempat berlindung kaum mustadh’afin dari berbagai kesulitan. Dialah perempuan sederhana penuh karisma. Dialah bunda mulia pelipur lara. Sudahkah sebagian dari kita mencoba menjadi bunda seperti halnya Fathimah, selain bunda bagi putra-putranya? Ibu yang memiliki kepribadian tulus yang selalu mencintai dan memberi kebahagiaan kepada kaum miskin, seperti halnya Fathimah Az-Zahra.
Salam bahagia bagimu, ya Sayyidah Fathimah, bantulah kami dengan doa-doamu kepada Allah, agar kami bisa berakhlak mulia sepertimu dan menapak jalan kemuliaan dengan kecintaan kepada kaum miskin setiap saat. Kebahagiaan dan kasih sayang Allah besertamu selalu.
0 komentar :
Posting Komentar