Oleh: Wiwit Puspitasari
(Pengurus HMI Cabang Semarang)
NEGARA menyelenggarakan pendidikan bagi bangsanya adalah dengan maksud mencerdaskan rakyat, meningkatkan pengetahuan mereka demi kesejahteraan bersama yang pada gilirannya akan menjadikan Negara itu mengalami kemajuan. Akan tetapi, acap kali perkembangan pendidikan suatu Negara justru menjadi sebuah lahan bisnis baru bagi kaum tertentu. Ya bisa dikatakan “bisnis berbasis pendidikan” yang menjual “merk” internasional hingga menjamurnya” kapitalisasi pendidikan”. Tujuan dasar pendidikan tidak lagi dihiraukan melainkan hanya mengejar keuntungan yang mengakibatkan terjadinya sebuah kesenjangan sosial dalam masyarakat.
Melihat kondisi masyarakat dan bangsa Indonesia yang amat beragam dari segi geografis, ekonomi dan infrastruktur transportasi dan komunikasi maka kritik yang patut diajukan terhadap kebijakan pendidikan oleh pemerintah untuk tingkat SMA adalah lebih mengutamakan penguatan atau pembangunan sekolah berkeunggulan lokal ataukah mendorong tumbuhnya sekolah bertaraf internasional (RSBI)? Pertanyaan tersebut perlu dijawab jujur mengingat setiap pilihan mempunyai konsekuensi yang panjang termasuk dalam segi pembiayaan meskipun semestinya jawabannya harus mengarah kepada pada pengutamaan keunggulan lokal.
Namun ternyata fakta berbicara lain, baik pemerintah pusat dan daerah justru terobsesi untuk mengusahakan lahirnya sekolah-sekolah bertaraf internasional. Padahal untuk mengubah sekolah biasa menjadi sekolah yang berlabel internasional ini membutuhkan dana yang tidak sedikit. Selain pemerintah harus memberikan kucuran dana dengan nominal yang besar, sekolah juga diperbolehkan untuk melakukan pungutan terhadap orangtua siswa dengan alas an biaya operasional sekolah yang besar dan belum bisa tertutup hanya dengan dana dari pemerintah. Hak untuk melakukan pungutan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh sebagian besar sekolah yang ada untuk memberikan “tarif dasar masuk sekolah”.
Biaya operasional sekolah yang relatif mahal mengakibatkan biaya sekolah yang harus di bebankan terhadap siswapun mahal sehingga menjadikan anak-anak yang cerdas tidak bisa masuk RSBI/SBI ketika tidak punya uang yang memadai. Secara realistik peristiwa ini bisa disebut sebagai “kastanisasi pendidikan” yakni upaya untuk menciptakan kasta-kasta dalam pendidikan formal berdasarkan perhitungan ekonomi (finansial). Dalam kebijakannya pemerintah memang mengharuskan sekolah- sekolah berlabel internasional ini untuk memberikan tempat dengan kuota 20% bagi siswa kurang mampu. Akan tetapi justru siswa yang beruntung mendapatkannya malah merasa tidak nyaman dalam belajar karena terkucilkan oleh komunitas belajarnya yang sebagian besara dalah siswa dari golongan ekonomi atas.
Kesenjangan begitu terasa ketika kita mengingat nasib pendidikan di daerah terpencil dan pedalaman jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang berlabel internasional ini. Dengan fasilitas yang serba jauh dari layak mereka mencoba mengejar standart pendidikan yang ditetapkan dalam kurikulum pendidikan nasional. Bayangkan jika mereka harus bersaing dengan sekolah-sekolah yang fasilitasnya lebih dari lengkap. Jika hal yang demikian terus terjadi, dari mana datangnya pemerataan pendidikan yang menunjang pemerataan pembangunan? Dan dimana keberadaan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?
Seharusnya alangkah lebih baik jika kuncuran dana yang pemerintah keluarkan untuk menunjang pembelajaran pada RSBI atau SBI dipakai untuk membantu pembejaran di sekolah-sekolah terpencil, terpinggir dan pedalaman.
Sedangkan sebagai upaya peningkatan praktik pembelajaran salah satunya adalah dengan meningkatkan kapasitas guru sebagai pendidik. Hal ini ditujukan agar guru mampu membawakan proses pembelajaran yang efektif sesuai dengan kompetensi pendidik yang telah ditetapkan. Tapi pengertian efektif disini bukanlah lahir dari filosofi pendidikan, akan tetapi justru lahir dari filosofi ekonomi. Hal ini sangat berbahaya karena pada akhirnya akan menjadikan konsep pendidikan dan mekanisme management pendidikan didasarkan pada logika ekonomi. Dimana hegemoni dari logika ekonomi ini yang akan membuat sekolah atau kampus sebagai sebuah perusahaan, jadi sekolah hanya dilihat dari upaya untuk bertahan hidup, untung, bangkrut, darisisi financial.
Berkaitan dengan hal tersebut maka RSBI/SBI bisa menjadi salah satu proyek kapitalisasi. Terlebih bagi orang yang memang berada dalam status sosial yang tinggi maka akan menjadikan SBI atau RSBI sebagai salah satu tolak ukur keberadaan statusnya. Artinya semakin ternama sekolah anaknya dan semakin banyak sumbangan yang diberikan maka hal tersebut menandakan semakin tinggi status sosialnya.
Keinginan perbaikan pendidikan dengan adanya kelas internasional diharapkan mampu meningkatkan mutu dan mengankat citra bangsa dan disis lain murid tidak perlu susah-susah melanjutkan studi keluar negeri. Jika melihat pandanga tersebut kita dapat menduga secara kritis bahwa dalam praksis pendidikan kita agaknya sudah lazim bahwa yang mesti dibangun adalah citra baik. Padahal upaya membangun citra baik cenderung selalu mengarah pada reformasikulit, sekedar me-make up wajah pendidikan saja, tanpa banyak berurusan dengan upaya fundamental reformasi pendidikan. Sebagaimana dalam praktik politik citra yang menguat pasca reformasi sampai sekarang, dimana yang dipoles hanyalah citra untuk menimbulkan persepsi baik demi meraih suara yang banyak.
Kecenderungan itulah yang terjadi pada dunia pendidikan kita :membangun citra tapi tidak substansial-fundamental melainkan secara dangkal permukaan saja.
Selainitu system pembelajaran di RSBI atau SBI yang menggunakan dua bahasa (bilingual) dan sedikit banyak mengadopsi sistem pendidikan ala Cambridge justru ditakutkan akan mencerabut akar budaya bangsa yang bisa berdampak pada lunturnya identitas bangsa pada diri generasi muda.
(Pengurus HMI Cabang Semarang)
NEGARA menyelenggarakan pendidikan bagi bangsanya adalah dengan maksud mencerdaskan rakyat, meningkatkan pengetahuan mereka demi kesejahteraan bersama yang pada gilirannya akan menjadikan Negara itu mengalami kemajuan. Akan tetapi, acap kali perkembangan pendidikan suatu Negara justru menjadi sebuah lahan bisnis baru bagi kaum tertentu. Ya bisa dikatakan “bisnis berbasis pendidikan” yang menjual “merk” internasional hingga menjamurnya” kapitalisasi pendidikan”. Tujuan dasar pendidikan tidak lagi dihiraukan melainkan hanya mengejar keuntungan yang mengakibatkan terjadinya sebuah kesenjangan sosial dalam masyarakat.
Melihat kondisi masyarakat dan bangsa Indonesia yang amat beragam dari segi geografis, ekonomi dan infrastruktur transportasi dan komunikasi maka kritik yang patut diajukan terhadap kebijakan pendidikan oleh pemerintah untuk tingkat SMA adalah lebih mengutamakan penguatan atau pembangunan sekolah berkeunggulan lokal ataukah mendorong tumbuhnya sekolah bertaraf internasional (RSBI)? Pertanyaan tersebut perlu dijawab jujur mengingat setiap pilihan mempunyai konsekuensi yang panjang termasuk dalam segi pembiayaan meskipun semestinya jawabannya harus mengarah kepada pada pengutamaan keunggulan lokal.
Namun ternyata fakta berbicara lain, baik pemerintah pusat dan daerah justru terobsesi untuk mengusahakan lahirnya sekolah-sekolah bertaraf internasional. Padahal untuk mengubah sekolah biasa menjadi sekolah yang berlabel internasional ini membutuhkan dana yang tidak sedikit. Selain pemerintah harus memberikan kucuran dana dengan nominal yang besar, sekolah juga diperbolehkan untuk melakukan pungutan terhadap orangtua siswa dengan alas an biaya operasional sekolah yang besar dan belum bisa tertutup hanya dengan dana dari pemerintah. Hak untuk melakukan pungutan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh sebagian besar sekolah yang ada untuk memberikan “tarif dasar masuk sekolah”.
Biaya operasional sekolah yang relatif mahal mengakibatkan biaya sekolah yang harus di bebankan terhadap siswapun mahal sehingga menjadikan anak-anak yang cerdas tidak bisa masuk RSBI/SBI ketika tidak punya uang yang memadai. Secara realistik peristiwa ini bisa disebut sebagai “kastanisasi pendidikan” yakni upaya untuk menciptakan kasta-kasta dalam pendidikan formal berdasarkan perhitungan ekonomi (finansial). Dalam kebijakannya pemerintah memang mengharuskan sekolah- sekolah berlabel internasional ini untuk memberikan tempat dengan kuota 20% bagi siswa kurang mampu. Akan tetapi justru siswa yang beruntung mendapatkannya malah merasa tidak nyaman dalam belajar karena terkucilkan oleh komunitas belajarnya yang sebagian besara dalah siswa dari golongan ekonomi atas.
Kesenjangan begitu terasa ketika kita mengingat nasib pendidikan di daerah terpencil dan pedalaman jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang berlabel internasional ini. Dengan fasilitas yang serba jauh dari layak mereka mencoba mengejar standart pendidikan yang ditetapkan dalam kurikulum pendidikan nasional. Bayangkan jika mereka harus bersaing dengan sekolah-sekolah yang fasilitasnya lebih dari lengkap. Jika hal yang demikian terus terjadi, dari mana datangnya pemerataan pendidikan yang menunjang pemerataan pembangunan? Dan dimana keberadaan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?
Seharusnya alangkah lebih baik jika kuncuran dana yang pemerintah keluarkan untuk menunjang pembelajaran pada RSBI atau SBI dipakai untuk membantu pembejaran di sekolah-sekolah terpencil, terpinggir dan pedalaman.
Sedangkan sebagai upaya peningkatan praktik pembelajaran salah satunya adalah dengan meningkatkan kapasitas guru sebagai pendidik. Hal ini ditujukan agar guru mampu membawakan proses pembelajaran yang efektif sesuai dengan kompetensi pendidik yang telah ditetapkan. Tapi pengertian efektif disini bukanlah lahir dari filosofi pendidikan, akan tetapi justru lahir dari filosofi ekonomi. Hal ini sangat berbahaya karena pada akhirnya akan menjadikan konsep pendidikan dan mekanisme management pendidikan didasarkan pada logika ekonomi. Dimana hegemoni dari logika ekonomi ini yang akan membuat sekolah atau kampus sebagai sebuah perusahaan, jadi sekolah hanya dilihat dari upaya untuk bertahan hidup, untung, bangkrut, darisisi financial.
Berkaitan dengan hal tersebut maka RSBI/SBI bisa menjadi salah satu proyek kapitalisasi. Terlebih bagi orang yang memang berada dalam status sosial yang tinggi maka akan menjadikan SBI atau RSBI sebagai salah satu tolak ukur keberadaan statusnya. Artinya semakin ternama sekolah anaknya dan semakin banyak sumbangan yang diberikan maka hal tersebut menandakan semakin tinggi status sosialnya.
Keinginan perbaikan pendidikan dengan adanya kelas internasional diharapkan mampu meningkatkan mutu dan mengankat citra bangsa dan disis lain murid tidak perlu susah-susah melanjutkan studi keluar negeri. Jika melihat pandanga tersebut kita dapat menduga secara kritis bahwa dalam praksis pendidikan kita agaknya sudah lazim bahwa yang mesti dibangun adalah citra baik. Padahal upaya membangun citra baik cenderung selalu mengarah pada reformasikulit, sekedar me-make up wajah pendidikan saja, tanpa banyak berurusan dengan upaya fundamental reformasi pendidikan. Sebagaimana dalam praktik politik citra yang menguat pasca reformasi sampai sekarang, dimana yang dipoles hanyalah citra untuk menimbulkan persepsi baik demi meraih suara yang banyak.
Kecenderungan itulah yang terjadi pada dunia pendidikan kita :membangun citra tapi tidak substansial-fundamental melainkan secara dangkal permukaan saja.
Selainitu system pembelajaran di RSBI atau SBI yang menggunakan dua bahasa (bilingual) dan sedikit banyak mengadopsi sistem pendidikan ala Cambridge justru ditakutkan akan mencerabut akar budaya bangsa yang bisa berdampak pada lunturnya identitas bangsa pada diri generasi muda.
0 komentar :
Posting Komentar