Makam raja-raja
Mataram di Imogiri
terletak kurang lebih 17 km sebelah tenggara dari kota
Yogyakarta. Kompleks makam tersebut berada di wilayah Kelurahan Girirejo dan
Kelurahan Wukirharjo. Hal ini di sebabkan karena, kompleks makam Imogiri yang milik Kasunanan Surakarta berada di
wilayah Girirejo, sedangkan makam milik Kasultanan Yogyakarta
berada di wilayah Wukirharjo. Kelurahan Girirejo dan
Kelurahan Wukirharjo berada di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.Makam tersebut terletak di daerah perbukitan Merak Handokopuro atau yang lebih dikenal dengan pegunungan Imogiri. Tempat tersebut merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian 85-100 m dari permukaan laut.1 Makam ini merupakan kompleks pemakaman khusus untuk raja-raja Mataram beserta warisnya semenjak Sultan Agung.
Sultan Agung adalah
raja Mataram ke tiga,
yang memegang kekuasaan pada hari Selasa Legi tanggal 10 Suro tahun 1613 M
dengan nama Prabu Hanyokro Kusumo. Selama masa pemerintahannya, Sultan Agung terkenal
sebagai raja yang arif, bijaksana, jujur dan sakti, sehingga seluruh rakyat
hormat dan segan kepadanya.
Selain itu Sultan
Agung juga memiliki salah satu keistimewaan yakni pada setiap hari Jum’at melaksanakan sholat
Jum’at di
Mekah dengan perjalanan secepat kilat. Dengan seringnya berjama’ah sholat jum’at di masjid Mekah, maka ia meminta
izin kepada pemerintah Arab, jika kelak ia meninggal dunia ingin dikuburkan di Mekah. Akan tetapi
pemerintah Arab tidak memberikan izin kepada Sultan Agung. Sultan Agung merasa
kecewa, kemudian ia hanya meminta sedikit tanah dari Mekah untuk dibawa pulang
ke Mataram.4
Setelah memerintah selama 15 tahun ia ingin memulai membangun makam, yaitu dengan melemparkan sebagian tanah yang dibawa dari Mekah, kemudian ia menyuruh para prajuritnya untuk mencari tempat jatuhnya tanah tersebut dengan ciri-ciri tanah tersebut berbau wangi. Tanah tersebut diketemukan di pegunungan Giriloyo yang letaknya di sebelah timur laut dari Imogiri, kemudian Sultan Agung memerintahkan abdi dalemnya untuk segera membangun makam di tempat tersebut. Pada saat makam tersebut dalam pembangunan, paman Sultan Agung yang bernama Panembahan Juminah mengajukan permintaan untuk ikut di makamkan di makam tersebut jika meninggal nanti. Tidak lama kemudian pamannya jatuh sakit kemudian meninggal dunia dan dimakamkan di makam tersebut.
Selain cerita tersebut diatas, ada
versi lain tentang cerita pembuatan makam Imogiri yakni seperti yang ditulis oleh Pranata, yang
menceritakan bahwa :
Selanjutnya, Pranata dalam bukunya
yang berjudul Sultan Agung menceritakan : karena ditolak oleh Imam Sufingi,
Sultan Agung merasa kecewa dan pulang ke Mataram kemudian pergi ke Parangkusumo
menemui Kanjeng Ratu Kidul. Setibanya di sana
Sunan Kalijaga sudah berada disana, kemudian menasehati Sultan Agung :
Tanah yang dilempar Sunan Kalijaga
jatuh diatas bukit yang sekarang bernama Imogiri. Di bukit tersebut kemudian
Sultan Agung membangun makamnya.
Raja-raja
pendahulu Sultan Agung dimakamkan di sebelah masjid di Kotagede, tetapi Sultan
Agung sudah semasa hidupnya membangun makam yang letaknya tinggi di atas bukit.
Pembangunan makam di atas bukit dihubungkan dengan pengangkatannya sebagai
Susuhunan pada tahun 1624 dan gelar Sultan pada tahun 1645. 8 Menurut Mudjanto, penggunaan
gelar Susuhunan dan Sultan
oleh Sultan Agung adalah sebagai
upaya untuk memantapkan mandat keagamaannya. 9
Kelurahan Wukirharjo berada di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.Makam tersebut terletak di daerah perbukitan Merak Handokopuro atau yang lebih dikenal dengan pegunungan Imogiri. Tempat tersebut merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian 85-100 m dari permukaan laut.1 Makam ini merupakan kompleks pemakaman khusus untuk raja-raja Mataram beserta warisnya semenjak Sultan Agung.
Raja-raja yang dimakamkan di makam
tersebut dianggap memiliki karakteristik spiritual yang berhubungan dengan
kesaktian, kepahlawanan, serta jasa-jasanya dalam menyebarkan Islam di Jawa,
terutama Sultan Agung. Menurut
keterangan juru kunci, makam ini dibangun sekitar tahun 1632 M sewaktu kraton
Mataram berada di Kerta, Pleret.
Makam tersebut
dalam pembangunannya
mendatangkan seorang arsitek terkenal yang berasal dari Jepara bernama Tumenggung Citro
Kusumo.2 Awal mula
berdirinya makam Imogiri dalam sebuah cerita dikisahkan bahwa :
Ketika Sinuhun Hanyokrowati (Sinuhun Sedo Krapyak) mangkat, maka
puteranya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom pada waktu sedo, sedang pergi
tirakat ke pegunungan selatan. Sehingga sebagai wakil adalah Gusti Pangeran
Martopuro. Sesudah satu tahun lamanya bertirakat, maka Gusti Pangeran Adipati
Anom pulang ke kerajaan dan memegang kekuasaan Mataram dengan gelar Prabu
Hanyokrokusumo.3
Setelah memerintah selama 15 tahun ia ingin memulai membangun makam, yaitu dengan melemparkan sebagian tanah yang dibawa dari Mekah, kemudian ia menyuruh para prajuritnya untuk mencari tempat jatuhnya tanah tersebut dengan ciri-ciri tanah tersebut berbau wangi. Tanah tersebut diketemukan di pegunungan Giriloyo yang letaknya di sebelah timur laut dari Imogiri, kemudian Sultan Agung memerintahkan abdi dalemnya untuk segera membangun makam di tempat tersebut. Pada saat makam tersebut dalam pembangunan, paman Sultan Agung yang bernama Panembahan Juminah mengajukan permintaan untuk ikut di makamkan di makam tersebut jika meninggal nanti. Tidak lama kemudian pamannya jatuh sakit kemudian meninggal dunia dan dimakamkan di makam tersebut.
Sultan Agung
merasa kecewa karena makamnya telah didahului oleh pamannya, selanjutnya ia
melemparkan kembali tanah yang masih tersisa dan tanah tersebut jatuh di
pegunungan Merak, kemudian dibangunlah makam diatas pegunungan tersebut.
Setelah memerintah selama 32 tahun, Sultan Agung menderita sakit keras dan
meninggal dunia pada hari Jum’at Legi, bulan Sapar, tahun 1645 M yang kemudian
dimakamkan di Imogiri. 5
Pada suatu hari setelah selesai
menunaikan sholat Jum'at di Mekah, Sultan Agung bercakap-cakap dengan penguasa
Mekah yang pada saat itu adalah Imam Sufingi. Sultan Agung menyatakan
keinginannya kepada Imam Sufingi untuk membangun makam di kota Mekah di sebelah Barat makam Nabi Muhammad
SAW. Imam Sufingi menolak permintaan Sultan Agung dengan alasan bahwa hal itu
tidak baik, sebab Sultan Agung adalah makhluk campuran ganda, yaitu keturunan
manusia dan dewa, sedangkan yang dikubur di Mekah adalah Nabi Muhammad SAW,
manusia yang suci. 6
Ananda Sultan Agung, semua itu
meunjukkan dengan jelas bahwa, ananda tidak diperkenankan untuk dimakamkan di
tanah suci Arab. Ananda harus dimakamkan di bumi Nusantara ini. Ikutilah tanah
yang kulemparkan ini, yang diambil dari Mekah, dimana tanah itu jatuh maka
bangunlah makam diatas tanah tersebut untuk engkau dan anak cucumu. 7
Pembangunan makam di Imogiri dan
penyusunan serangkaian babad memiliki tujuan yang sama yakni untuk
menegakkan legitimasi keagamaan Mataram, salah satunya yakni Babad Nitik
Sultan Agung. Babad tesebut menggambarkan kepandaian keagamaan dan
kemampuan magis Sultan Agung yang dapat terbang dan melakukan shalat Jum'at di
Mekah secara rutin. 10
Melihat dari
bentuk arsitektur dan
letak geografisnya pembangunan makam Imogiri ini ada 3 unsur kebudayaan yang
mempengaruhinya yakni pengaruh dari adat Jawa, Hindu, dan Islam. Pengaruh adat
Jawa terlihat dalam pengambilan nama Imogiri
dari bahasa Jawa kuno yakni Imo
berarti kabut dan Giri berarti
gunung. Selain itu terlihat juga dalam bentuk bangunan yakni pendopo yang
berada di halaman depan yang berbentuk limasan yaitu bentuk rumah adat Jawa.11
Pengaruh dari
Hindu terlihat bahwa makam Imogiri dibangun di atas pegunungan, hal ini menyerupai dengan gunung Himalaya yang
menjadi tempat kediaman para Dewa.
Pengaruh dari Islam adalah bahwa di komplek
pemakaman dibangun sebuah masjid, dan makam tersebut dibangun di atas
bukit yang konon merupakan tempat jatuhnya tanah yang dilempar Sultan Agung
yang didapat dari Mekah. 12
B. Upacara-upacara di Makam Raja-raja Mataram Imogiri
Upacara dan tata cara mengagungkan roh
leluhur banyak macam dan ragamnya, semuanya berhubungan dengan peristiwa kematian
dan selametan.13 Mengagungkan, menghormati dan memperingati roh
leluhur sudah dikenal orang Jawa dan dilaksanakan sejak nenek moyang beberapa tahun yang silam, sebelum
Hindu masuk ke pulau Jawa. Upacara-upacara mengagungkan roh leluhur dilakukan
di tempat-tempat yang dianggap
keramat dan suci.
Berkaitan dengan kepercayaan tersebut
upacara-upacara tradisi di makam raja-raja Mataram di Imogiri bertujuan untuk
menghormati roh-roh para leluhur yaitu para raja yang dimakamkan di tempat
tersebut, khususnya Sultan Agung yang dianggap sebagai pepunden (orang
yang dimuliakan) rakyat, sebagai tokoh yang pintar dan hebat. Selain tujuan
tersebut juga untuk mencari berkah dari kekuatan ghaib yang ada di makam
Imogiri. 14
Beberapa upacara
yang dilakukan di makam raja-raja Mataram
Imogiri adalah sebagai berikut :
1. Upacara ruwahan/sadranan
Nyadran berarti melaksanakan upacara sadran atau
sadranan. Upacara ini diadakan setiap tahun yaitu pada bulan Sya'ban (Ruwah) sesudah tanggal 15 hingga
menjelang ibadah puasa bulan Ramadhan. Nyadran dilangsungkan dengan selametan
dirumah atau dimakam, dengan membuat makanan berupa ketan, kolak dan apem, ditambah
sesaji yakni dengan membakar kemenyan dan menyajikan kembang setaman.
Nyadran adalah suatu perwujudan pengagungan terhadap arwah leluhur. 15
Upacara ini diselenggarakan 2
rangkaian upacara yaitu caos dhahar (mempersembahkan santapan) dan
upacara ziarah. Sebelum upacara dilaksanakan, diperlukan
adanya suatu persiapan meliputi persiapan lahir dan batin. Persiapan
lahir adalah mempersiapkan sesuatu yang berkaitan dengan upacara ruwahan yakni uborampe (barang-barang kebutuhan
upacara).
Persiapan batin adalah persiapan
kejiwaan untuk melakukaan upacara yang bersifat sakral yakni dilakukan dengan
berpuasa untuk membersihkan jiwa. Di
makam raja-raja Imogiri upacara nyadran dilangsungkan sesudah didahului
upacara utusan dari kraton. Upacara ini dilaksanakan oleh para abdi dalem dan
segenap tamu undangan dan bagi masyarakat setempat dalam melaksanakan upacara sendiri waktunya
setelah dilaksanakannya upacara hajatan dalem. Upacara ini bertujuan untuk
mengagungkan dan mengirim do’a pada leluhur sebagai rasa hormat mereka.
2. Upacara ziarah/nyekar
Ziarah kubur dilakukan untuk
mengagungkan arwah yang jasad keluarganya di makamkan di sana. Di samping itu
ada pula yang memohon do’a restu kepada nenek moyang dalam menghadapi masalah
berat dalam hidup. Ziarah kubur dilakukan setiap Kamis malam Jum’at, ada yang
tiap 35 hari sekali (selapan) dan ada pada hari-hari yang dianggap suci,
Selasa Kliwon atau Jum’at Kliwon. 16
Upacara ini biasa disebut nyekar,
sebab nyekar (tabur bunga) mengikuti ziarah kubur. Upacara tersebut
dilakukan dengan khidmat, bunga yang ditabur di atas makam adalah bunga yang dianggap paling baik yakni bunga
mawar, melati, kantil dan telasih yang ditambah dengan membakar menyan. 17
3. Upacara mboyong
kayu wunglen
Kayu wunglen dipercayai sebagai
salah satu wasilah/pengantar Sultan Agung untuk memberikan pertolongan. Menurut
cerita, kayu wunglen ini peninggalan Kanjeng Sultan yang dianggap keramat. Kayu
tersebut dapat dijadikan untuk menjaga badan dari gangguan sesuatu yang ghaib,
dapat menambah kewibawaan serta dapat juga menyembuhkan orang sakit.
Upacara
ini dilakukan bila ada masyarakat yang ingin memiliki kayu wunglen tersebut.
Untuk memiliki kayu tersebut harus sowan atau menghadap pada juru kunci
makam, kemudian matur atau mengatakan bahwa akan memboyong
(membawa pulang) kayu wunglen. Kayu wunglen harus diuji dahulu, yakni dengan
cara dimasukkan dalam segelas air putih, jika kayu tersebut langsung tenggelem
berarti kayu wunglen boleh dibawa pulang.
Akan tetapi jika kayu
tersebut tidak tenggelam berarti tidak dapat dibawa pulang, karena menurut juru
kunci, hati orang yang ingin memiliki kayu wunglen tersebut belum benar-benar
tulus dan bersih. Setelah kayu diuji dan dapat dibawa pulang maka kayu tersebut
harus diganti dengan mahar/uang.
4. Upacara hari
pahlawan
Upacara ini dilakukan dengan
tahlilan bersama dengan
mengundang seluruh abdi dalem yang dilanjutkan tabur bunga. Upacara ini
dimaksudkan untuk mengenang kembali jasa-jasa para leluhur yang di makamkan di
makam raja-raja Mataram Imogiri dan seluruh pejuang kemerdekaan RI. 18
Upacara-upacara tersebut diatas adalah sebagian
dari upacara tradisi yang sering dilakukan di makam Imogiri. Begitu juga halnya
dengan upacara tradisi nguras kong, upacara-upacara tradisi tersebut
diatas memiliki tujuan yang sama yakni untuk menghormati jasa para leluhur,
meskipun cara dan waktu pelaksanaan berbeda.
REFRENSI:
1 Data Monografi Tahun 2003 Desa
Girirejo, Kec. Imogiri Kab. Bantul, hlm 3.
2 Wawancara dengan Bpk. K.R.T.
Rekso Winoto, Bupati Makam Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat, tanggal 25
Februari 2004.
3 R. Ng. Martohastono, Riwayat
Pasarean Imogiri Mataram, (Yogyakarta: t.p., 1956), hlm. 1.
4 Ibid, hlm. 2-3.
5 Ibid.
6 Pranata, Sultan Agung,
cet. I, (Jakarta: Yuda Gama, 1977), hlm. 70-73.
7 Ibid.
8
H.J. De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram : Politik Ekspansi Sultan
Agung, (Jakarta : Pustaka Grafiti Pers, 1986), hlm. 299
9 Mudjanto (1986 : 20-35), dalam
Mark R. Woodward, Islam Jawa : Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, (Yogyakarta:
LKIS, 1999), hlm. 87-88.
10 Ibid.
11 Solihin Salam, Sejarah Islam di Jawa, (Jakarta: Djaya Surni,
1964), hlm. 75.
12 Ukatjandrasamita (e.d.), Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta:
Grafika, 1975), hlm. 239.
13 Franz Magnis Suseno, (1993,
15), menulis bahwa "selametan merupakan ritus religius terpenting
dalam masyarakat Jawa. Selametan diadakan pada semua peristiwa penting
dalam hidup seperti kehamilan, kelahiran, khitan, perkawinan, pemakaman,
sebelum dan sesudah panen padi, kenaikan pangkat dan hampir pada setiap
kesempatan. Selametan terdiri dari sekedar makan bersama dengan
mengundang para tetangga umumnya laki-laki, dengan do'a oleh modin".
14 Wawancara dengan Jumali, Juru
Kunci Makam Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat, tanggal 27 Februari 2004.
15 Karkono, Kebudayaan Jawa
Perpaduannya dengan Islam, hlm. 246-247.
16 Ibid., hlm 252.
17 Wawancara dengan Jumali, tanggal 27 Februari 2004.
18 Ibid.
0 komentar :
Posting Komentar