Nikah Rupiah



SEMAKIN banyak orang pandai, dunia ini semakin sempit. Segala bentuk perubahan sudah tidak bisa dihindari, hingga membuat seseorang sibuk dengan dirinya. Lihatlah kota kita yang sesak dengan manusia-manusia pekerja, atau kampus-kampus yang dipenuhi manusia pemikir yang belum tentu menemukan pemikirannya.
Mereka sibuk dengan dirinya, para pekerja sibuk untuk menggais rupiah sehingga buku tabungan penuh dengan angka-angka. Ingin membuktikan bahwa dirinya sukses dalam perantauan. Bahkan kalau perlu pulang kampung sudah membawa mobil mewah dan perhiasan yang dapat ditampakan kilauannya.
Atau para mahasiswa yang seolah-olah menjadi aktifis kampus, baik di intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Mengapa ia menjadi aktifis, sejujurnya menjadi aktifis sungguh menyibukan diri dengan tujuan yang sebenarnya tidak sesuai dengan dengan harapa dari rumah untuk menimba ilmu.
Waktu mereka akan terbuang jika menjadi aktifis, ternyata itu hanya omong kosong. Sekedar mampir untuk memenuhi perut kosongnya, siapa tak ingin dekat dengan penguasa dengan berbagai macam beasiswa.
Sungguh mereka telah menghitung-hitung angka, rela bayar mahal untuk mendapatkan yang lebih banyak. Merelakan berliter-liter keringat, untuk ditimbang hasil jasa yang didapatkan. Dunia ini penuh dengan tipu muslihat, penuh dengan kepura-puraan.
Itulah sedikit keluh kesah yang aku rasakan. Aku menikmati malam ini dengan penuh kepuasan, karena aku bisa memaki mereka yang darahnya mengalir uang. Minuman teh manis yang dibuat oleh ibuku, menyegarkan tenggorokan yang dipenuhi cacian. Aku bisa tertawa hari ini, meski banyak beban yang harus aku pikul.
“Hai manusia kerdil yang tak tahu diri, cobalah kau mengerti dengan diri anda”. Tiba-tiba suara itu muncul, aku mendengarnya bahkan ia mengatakan jelas kepadaku.
“Siapa diri anda, tampakan wajahmu kalau engkau berani”, tantangku padanya.
“Ha..ha..hai bocah kerdil, kau tidak perlu tahu siapa diriku. Jelasnya engkau harus membuktikan omong kosongmu”.
“Apa maksudmu”, tanyaku. Aku semakin penasaran padanya, sepertinya dia benar-benar menantangku. Berani benar dia padaku.
“Cepatlah engkau bergegas membuktikan kejelasan mata koin yang dipenuhi gambar-gambar pahlawan. Yang belum tentu mereka adalah pahlawan sesungguhnya. Sungguh mereka harus patut berterima kasih kepada para pembela”.
“Ok..ok, kalau anda tidak mau menampkan diri, tidak masalah. Tapi anda harus mengenalkan diri anda supaya ada kejelasan dan keselarasan cara berfikirku dengan berfikir anda”.
“Sudah aku bilang kau tidak perlu tahu siapa diri. Bersegeralah engkau tantang dirimu dengan beragam masalah. Hingga dirimu jangan sampai terjebak koin burung garuda”.
“Dasar anda tidak tau diri. Aku sudah berusaha”. Lemparan gelas itu mengarah kedepan, hingga terdengar suara pecahan. Namun malam sunyi menjadikan suara itu tampak nyaring.
“Jangankan melempar dengan gelas, engkau tembak dengan senapan aku tidak akan mati. Selamat jalan, semoga anda mengerti”. Iapun berpamitan tiba-tiba, tanpa siapa dan mengapa ia berbicara begitu.
Benar-benar membosankan, seenaknya aja berbicara. Ini bukan kampanye politik, yang seolah-olah bebas berbicara padahal mereka saling menjatuhkan satu sama lain. Bicaranya mereka memiliki nilai hingga bisa berubah menjadi mata uang dolar, bahkan mulutnya bisa berubah menjadi singasana berlian dan permata.
Lihat saja nanti, episode yang akan aku buat dengan beragam judul yang lebih menantang. Sehingga para penikmat film, tidak sadar siapa sebenarnya dirinya. Padahal mereka hanya terjebak halusinasi layar kaca, mata mereka melihat namun mata hati mereka sesungguhnya tertutup.
“Aduh…”. Kakiku berdarah. Oh..dasar inikan pecahan gelasku tadi yang aku lempar kepadanya. Mengapa bisa ada dibawah kursi, hingga melukai diriku pula. Huh…sungguh tak terduga kalau begini, ini namanya senjata makan tuannya.
Ya..sudah berhubung waktu sudah pagi. Aku akan istirahat dulu, melanjutkan segala persoalan di esok hari.
“Hai…jangan engkatu tidur dulu. Sebelum engkau berjanji kepadaku”. Tiba-tiba suara itu muncul kembali, suara itu mengarah ketelingaku sehingga telingaku terasa panas sekali.
“Iya…aku aku buktikan kepadamu”, aku hanya bisa menuruti apa katanya sebab telingaku sudah tidak kuat menahan lengkingan suara itu.
Sudahlah aku akan mengingatnya. Jika aku memang seorang terpelajar harus dibuktikan dengan karya dan gagasan bukan sekedar bualan saja. Bagi mereka yang memiliki biyaya untuk kuliah, sepertinya hanya sekedar mampir beli makanan ringan. Tapi bagi mereka yang tidak memiliki biyaya kuliah, hal itu merupakan kenikmatan.
Namun itu tidak menjadi persoalan didunia keilmuan baik kaya atau miskin. Siapa yang mau berusaha pasti akan mendapatkan hasilnya. Namun bisa saja mereka merekayasa hasil pengetahuan dengan mata uangnya, bahkan hasil risetpun bisa ditutup-tutupi. Anehnya pula nilai-nilai itu bisa dirubah dengan sedikit bau uang kertas.
Begini saja, kita memiliki tujuan masing-masing dalam menjalani semua ini. Aku hanya berkeinginan setelah lulus akan segera menikah. Tapi aku harus buktikan kepadanya, bahkan lulusku hasil kerja keras bukan rekayasa atau untuk mencari pekerjaan. Tentu bagi mereka yang lulus, selanjutnya akan berfikir untuk menjadi orang mandiri pada akhirnya terjun ke dunia kerja.
Berbeda dengan diriku yang menginginkan setelah mendapatkan ijasah, aku ingin menikah. Tapi apakah ada yang bersedia menikah dengan diriku yang hanya bermodal ijasah, rupiahpun tidak ada disaku apa lagi dibuku tabungan. Sungguh malang diriku, ternyata sebentar lagi aku akan mendapatkan tantangan yang sesungguhnya.
Aku semakin berfikir, masyarakat ini juga telah menjadi materialis. Ingin menikah saja perlu kerja keras. Padahal syarat orang yang ingin menikah hanya persolan mampu atau tidak mampu. Mengapa harus persolan materi, atau bahkan pekerjaan. Apakah anda percaya dengan kataku ini.
Coba buktikan saja, datangi calon orang tuamu bahwa diri anda berkeinginan untuk melamar putrinya. Pasti orang tuanya akan setuju karena engkau tampan, dengan jas parlente. Tapi tunggu setelahnya maka orang tua itu akan berkata. Lulusan mana, sudah kerja apa belum kalau sudah bekerja, bekerja dimana, bagian apa ataupun jabatan apa. Tragisnya jika ditanya seputar berapa gaji anda, cukup tidak membiyayai kelangsungan hidup putri kesayangannya.
Hahahahahha…itulah relaitas masyarakat kita. Ingin menikah saja, pertanyaannya beraneka ragam seperti polisi mengintrograsi perampok. Tapi anda jangan menyerah, aku saja ingin mematahkan realitas masyarakat tersebut.
Aku ingin membuktikan bahwa menikah tidak perlu harus bekerja dan memiliki banyak rupiah.
Tugu muda dan lawang sewu menjadi buktinya. Tugu itu ibarat keinginanku yang sudah bulat dan aku ingin tangapkan bendera kemenangan diatasnya. Sedangkan lawang sewu dengan jumlah pintu yang banyak bermaksud bahwa segala sesuatu pasti ada pintu yang terbuka dengan kebebasan dan kemerdekaan. Tanpa berfikir soal berapa jumlah uang ditabungan anda.
Lihat…ibu, aku sudah mendapatkan ijasah. Tiga lembar kertas yang tertutup rapat oleh map berwarna hijau. Bapak, terima kasih selama ini telah mensuportku untuk tetap menuntut ilmu. Semoga tuhan memberikan tempat terindah untuk bapak tercintaku.
Tinggal satu lagi harapan yang sudah aku jadwalkan yakni menikah. Siapa gerangan yang mau menikah dengan pemuda penggauran seperti diriku ini. Tidak ada yang bisa aku banggakan, kecuali keinginanku yang sudah bertekad bulat.
Lihat..ibu, aku sudah mencarikan untukmu calon menantu. Dia dari provinsi jawa timur, maka kita akan menjadi orang timur tengah. Karena kita dari provinsi tengah dan dia dari timur. Semoga terbit kemenangan dari timur dan tengah sebagai penyangga keseimbangan.
Aku…telah membuktikannya, bahwa aku menikah dalam kondisi pengganguran. Bahkan anda harus tahu, hampir satu tahun lebih setelah pernikahanku aku masih tetap menjadi pengganguran. Namun aku memiliki gagasan dan karya.
Yakni aku mengamalkan ilmuku dengam memberikan sanggar belajar gratis kepada masyarakat. Bahkan di masyarakat sendiri aku diangkat untuk menjadi ketua tamir masjid dan paling anehnya aku juga harus memangku menjadi seorang pemimpin jamaah. Berbagai karya tulisku telah menghias media masa.
Bagaimana dengan anda, kalau hanya sekedar menjadi seorang manusia itu amatlah mudah. Karena manusia tidak beda jauh dengan binatang yakni makan hanya untuk mencukupi dirinya. Tanpa tau tujuan anda diciptakan di dunia yakni menjadi khalifah atau pemimpin bumi. Tentu bagi mereka yang menyadari, bahwa dirinya untuk orang lain. Beranikah anda menikah dalam kondisi menjadi pengganguran, tanpa embel-embel dari kepemilikan orang tua anda.
Hai….aku telah membuktikan kepadamu. Kini aku tidak memiliki materi yang cukup untuk menyuapmu, namun aku penuhi janjimu.
“Pyaarrr…pyara…pyaarr”, itu bukti pecahan gelas yang selama ini menjadi saksi janji kita. Selamat berkreasi dengan koin mata uang.
“Hahahah….wahai pemuda, tugasmu masih banyak. Hindarkan manusia dari gejolak penyakit yang bakal mengrogoti jantungnya yakni materi. Selamat jalan kawan, terima kasih atas lemparan gelasnya”. (A1/Ma)
Share on Google Plus

About Unknown

RIC Karya
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar