PARA NASAR DAN KEJUJURAN INDONESIA
Oleh Anis Sholeh Ba’asyin
“Politik kita sudah menjadi politik nasar, politik para pemakan bangkai” tegas seorang kawan dengan berapi-api dalam sebuah diskusi.
Nasar adalah jenis burung pemakan bangkai, seperti juga burung kondor. Semula saya sempat kaget karena menyangka ia menyebut Nazar, Nazarudin; yang dulu tampak pucat dan ketakutan ketika kali pertama tiba di Indonesia pasca penangkapannya; tapi sekarang tampak begitu enjoy dan bahkan berani cengengesan tiap di wawancara televisi.
“Ungkapan ‘berlomba-lombalah dalam kebaikan’ sekarang diplesetkan jadi ‘berlomba-lombalah dalam memburu bangkai’. Orang tidak lagi memikirkan rakyat, tapi mengerahkan seluruh energinya untuk mengais-kais, mencari kelemahan lawan politiknya.”
“Bukankah yang demikian justru menguntungkan rakyat, semua ditelanjangi sehingga tak ada lagi yang bisa bersembunyi dari kebusukannya sendiri?” sergah seorang kawan.
“Justru itulah masalahnya,” sahut kawan tadi, “kalau semua benar-banar saling menelanjangi, maka akan bersorak-sorailah rakyat, dan KPK mungkin butuh tambahan ratusan ribu atau malah jutaan penyidik untuk menanganinya!”
“Tapi kan tidak demikian yang terjadi! Rasanya semua pihak seperti sengaja berburu bangkai siapapun yang dianggap bisa jadi lawan, hanya agar mereka memiliki kartu untuk melindungi kebusukannya sendiri! Lha ngurus negara kok dianggap kayak orang main remi saja! Gila!”
Mengikuti perdebatan tersebut, yang terlintas pertama kali di pikiran saya adalah: rakyat-lah yang pertama kali akan jadi korban. Mereka sudah sangat sengsara, tapi tiap hari masih dipaksa mengikuti sinetron tidak bermutu dari para nasar. Mereka memang cuma diam, tapi diam yang mencekam.
Ada istilah bahasa Jawa yang tepat untuk menggambarkan situasi diam mencekam ini, yaitu: tintrim. Sunyi yang menggetarkan. Sunyi ini terasa menggetarkan, karena rakyat bukannya tidak tahu bahwa selama ini prioritas bagi kepentingan mereka hampir selalu berada di posisi paling buncit; dan mereka tak punya kekuatan yang memadai untuk merubahnya.
Mereka toh tidak mungkin beramai-ramai menggelar demonstrasi, agar kepentingannya diperhatikan misalnya. Jadi tidak ada yang bisa mereka lakukan kecuali menunggu dan berharap-harap cemas akan adanya perubahan yang menguntungkan mereka.
Paling tidak selama delapan tahun terakhir, rakyat telah begitu banyak belajar. Mereka sudah begitu banyak menelan pil pahit, karena harapan mereka yang menggebu sering harus berakhir dengan kekecewaan. Tak heran bila mereka tak mau kembali terperosok pada lubang yang sama. Mereka tak mau lagi ceroboh membaca janji sebagai kenyataan; sehingga -seperti yang sudah-sudah- gampang terprovokasi untuk meluapkan kegembiraan, begitu tokoh yang sudah membius mereka dengan janji-janji indah, duduk di tampuk kekuasaan.
***
Banyak yang meyakini bahwa masalah utamanya adalah mulai meredupnya kejujuran dalam kehidupan kita sebagai sebuah bangsa. Kejujuran mulai tersingkir dari pergaulan sehari-hari. Orang seolah dipaksa berlomba untuk saling meyakinkan kebenaran ungkapan ‘jujur ajur’, jujur hancur.
Tapi saya milihat bahwa masalah utamanya justru bukan pada kejujuran itu sendiri, tapi pada amanah, pada kepercayaan.
Kejujuran memang jalan utama yang pertama kali harus dilakoni agar orang menemukan kesejatian; tapi kejujuran pertama-tama adalah tindakan ‘ke dalam’, menyangkut hubungan kepada diri sendiri, kepada alam dan kepada liyan. Kejujuran adalah langkah untuk menemukan dan merealisasi keberadaan diri sejati seseorang.
Kejujuran akan menghasilkan sikap lugu apa adanya, tidak menyembunyikan atau menyimpan kepentingan apapun diluar yang diucapkan atau ditampakkan dalam perbuatan. Kejujuran adalah satunya kata dengan perbuatan, satunya sikap dengan tindakan.
Dalam terminologi Islam, kejujuran adalah salah satu muatan makna kata shidiq (tapi shidiq juga punya muatan makna benar, orisinal). Jujur atau shidiq inilah yang pada dasarnya harus menjadi landasan bagi bangunan kepribadian.
Mungkin kita bisa mengambil pelajaran dengan menengok pada kehidupan Nabi Muhammad SAW. Ada empat sifat beliau yang berulang kita hafalkan, yakni: shidiq, amanah, tabliq dan fathonah. Empat kualitas ini bukan saja wajib ada dalam membangun kepemimpinan, namun pada akhirnya menjadi prasyarat pembentukan masyarakat dan lembaga-lembaganya yang solid dan bermartabat.
Ketika orang sudah mampu hidup dalam kejujuran, maka secara otomatis ia akan menemukan bahwa hubungan dengan masyarakat harus dibangun berdasar kepercayaan. Ketika secara pribadi seseorang dikenal jujur, maka secara sosial dia akan tampil sebagai sosok terpercaya. Kepercayaan inilah yang disebut amanah.
Tanpa kejujuran, kepercayaan tidak mungkin bisa dibangun diantara sesama anggota masyarakat, diantara sesama anak-anak bangsa. Tanpa kepercayaan, tak ada yang bisa membangun tatanan masyarakat yang kukuh dan bermartabat. Sebelum Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul, beliau sudah dikenal oleh masyarakat Makkah sebagai al amiin, yang terpercaya. Terpercaya bicaranya, terpercaya tindakannya.
Apabila amanah tak bisa dibangun, maka tabligh tak akan bisa dijalankan. Tabligh adalah penyampaian pesan kebenaran, penyampaian nilai-nilai, aturan-aturan dan seterusnya.
Betapa tidak? Tanpa amanah, tanpa kepercayaan, apapun kata yang diucapkan seseorang, apapun aturan yang dikeluarkan pimpinan, apapun perundangan yang ditetapkan lembaga, tidak akan mampu mendorong masyarakat untuk mentaati atau bertindak sesuai dengannya; bahkan untuk mendengarpun mungkin tidak.
Tanpa amanah, tanpa kepercayaan, tahap tabligh akan rapuh. Perundangan, peraturan, kebijakan apapun yang diambil oleh pimpinan atau oleh lembaga hanya akan sekedar terpaksa ‘diamini’ oleh masyarakat lewat proses-proses pemaksaan oleh kekuasaan atau lewat rekayasa sosial lainnya.
Amanah atau keterpercayaan inilah yang sekarang raib dalam interaksi sosial, sehingga hampir seluruh sendi kehidupan berbangsa kita mengalami guncangan hebat.
Acara pelaksanaan:
Hari: Jum’at
Tanggal: 15 November 2013
Jam: 19.30 sampai selesai
Tempat: Rumah Adab Indonesia Mulia
Jalan P. Diponegoro No 94 – Pati
Siaran langsung: PAS 101,0 FM
Live Streaming: www.pasfmpati.com dan www.paspati.co.id
bersama:
Perwakilan KPK RI
Agus Toto Widyatmoko (Pimred Harian Wawasan - Semarang)
Boyamin Saiman (Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia)
Anis Sholeh Ba'asyin
Orkes Puisi Sampak GusUran
Dyah Kencono Puspito Dewi (Bekasi)
Euis Herni (Subang)
Bontot Sukandar (Tegal)
Dwi Ery Santoso (Tegal)
Ribut Achwandi (Pekalongan)
Wardjito Soeharso (Semarang)
Fransiska Ambar Kristiyani (Semarang)
Ahmad Daladi (Magelang)
Suyitno Ethex (Mojokerto)
Ardi Susanti (Tulungagung)
Kelompok Hadrah Kajen
Mulai September 2013 rekaman Ngaji NgAllah Suluk Maleman juga bisa disaksikan di Aswaja TV, setiap Ahad jam 22.00 – 01.00, Senin jam 10.00 – 13.00, Selasa jam 22.00 – 01.00 dan Rabu jam 10.00 – 13.00.
Aswaja TV bisa diakses lewat Palapa D dengan frekwensi 03932/Vertikal/Simbol Rate 15800/MPEG2 – Asia Tenggara Area
ACARA INI UNTUK UMUM DAN GRATIS!
Suluk Maleman adalah acara rutin bulanan yang diselenggarakan tiap Jum’at ketiga. Acara ini dirancang sebagai ajang untuk silaturrahim pikiran untuk mengaji masalah-masalah yang dihadapi bangsa, baik di tingkat lokal maupun nasional. Acara ini sejak awal digagas sebagai oase untuk merekatkan kembali ikatan kemanusiaan, kemasyarakatan dan kebangsaan, yang selama ini cenderung cerai berai.
Kecuali dialog dan pengajian, juga akan ditampilkan pagelaran kesenian. Secara rutin Orkes Puisi Sampak GusUran akan menemani tampilan kelompok kesenian tamu yang diundang: bisa teater, monolog, baca puisi, wayang, musik, tari dls (pada dasarnya, kami menerima siapapun dan dari manapun untuk tampil di acara ini).
Bagi mereka yang bermukim di Pati dan sekitarnya, atau kebetulan berada di wilayah Pati, dipersilakan hadir. Acara ini memang dirancang untuk umum dan gratis.
Oleh Anis Sholeh Ba’asyin
“Politik kita sudah menjadi politik nasar, politik para pemakan bangkai” tegas seorang kawan dengan berapi-api dalam sebuah diskusi.
Nasar adalah jenis burung pemakan bangkai, seperti juga burung kondor. Semula saya sempat kaget karena menyangka ia menyebut Nazar, Nazarudin; yang dulu tampak pucat dan ketakutan ketika kali pertama tiba di Indonesia pasca penangkapannya; tapi sekarang tampak begitu enjoy dan bahkan berani cengengesan tiap di wawancara televisi.
“Ungkapan ‘berlomba-lombalah dalam kebaikan’ sekarang diplesetkan jadi ‘berlomba-lombalah dalam memburu bangkai’. Orang tidak lagi memikirkan rakyat, tapi mengerahkan seluruh energinya untuk mengais-kais, mencari kelemahan lawan politiknya.”
“Bukankah yang demikian justru menguntungkan rakyat, semua ditelanjangi sehingga tak ada lagi yang bisa bersembunyi dari kebusukannya sendiri?” sergah seorang kawan.
“Justru itulah masalahnya,” sahut kawan tadi, “kalau semua benar-banar saling menelanjangi, maka akan bersorak-sorailah rakyat, dan KPK mungkin butuh tambahan ratusan ribu atau malah jutaan penyidik untuk menanganinya!”
“Tapi kan tidak demikian yang terjadi! Rasanya semua pihak seperti sengaja berburu bangkai siapapun yang dianggap bisa jadi lawan, hanya agar mereka memiliki kartu untuk melindungi kebusukannya sendiri! Lha ngurus negara kok dianggap kayak orang main remi saja! Gila!”
Mengikuti perdebatan tersebut, yang terlintas pertama kali di pikiran saya adalah: rakyat-lah yang pertama kali akan jadi korban. Mereka sudah sangat sengsara, tapi tiap hari masih dipaksa mengikuti sinetron tidak bermutu dari para nasar. Mereka memang cuma diam, tapi diam yang mencekam.
Ada istilah bahasa Jawa yang tepat untuk menggambarkan situasi diam mencekam ini, yaitu: tintrim. Sunyi yang menggetarkan. Sunyi ini terasa menggetarkan, karena rakyat bukannya tidak tahu bahwa selama ini prioritas bagi kepentingan mereka hampir selalu berada di posisi paling buncit; dan mereka tak punya kekuatan yang memadai untuk merubahnya.
Mereka toh tidak mungkin beramai-ramai menggelar demonstrasi, agar kepentingannya diperhatikan misalnya. Jadi tidak ada yang bisa mereka lakukan kecuali menunggu dan berharap-harap cemas akan adanya perubahan yang menguntungkan mereka.
Paling tidak selama delapan tahun terakhir, rakyat telah begitu banyak belajar. Mereka sudah begitu banyak menelan pil pahit, karena harapan mereka yang menggebu sering harus berakhir dengan kekecewaan. Tak heran bila mereka tak mau kembali terperosok pada lubang yang sama. Mereka tak mau lagi ceroboh membaca janji sebagai kenyataan; sehingga -seperti yang sudah-sudah- gampang terprovokasi untuk meluapkan kegembiraan, begitu tokoh yang sudah membius mereka dengan janji-janji indah, duduk di tampuk kekuasaan.
***
Banyak yang meyakini bahwa masalah utamanya adalah mulai meredupnya kejujuran dalam kehidupan kita sebagai sebuah bangsa. Kejujuran mulai tersingkir dari pergaulan sehari-hari. Orang seolah dipaksa berlomba untuk saling meyakinkan kebenaran ungkapan ‘jujur ajur’, jujur hancur.
Tapi saya milihat bahwa masalah utamanya justru bukan pada kejujuran itu sendiri, tapi pada amanah, pada kepercayaan.
Kejujuran memang jalan utama yang pertama kali harus dilakoni agar orang menemukan kesejatian; tapi kejujuran pertama-tama adalah tindakan ‘ke dalam’, menyangkut hubungan kepada diri sendiri, kepada alam dan kepada liyan. Kejujuran adalah langkah untuk menemukan dan merealisasi keberadaan diri sejati seseorang.
Kejujuran akan menghasilkan sikap lugu apa adanya, tidak menyembunyikan atau menyimpan kepentingan apapun diluar yang diucapkan atau ditampakkan dalam perbuatan. Kejujuran adalah satunya kata dengan perbuatan, satunya sikap dengan tindakan.
Dalam terminologi Islam, kejujuran adalah salah satu muatan makna kata shidiq (tapi shidiq juga punya muatan makna benar, orisinal). Jujur atau shidiq inilah yang pada dasarnya harus menjadi landasan bagi bangunan kepribadian.
Mungkin kita bisa mengambil pelajaran dengan menengok pada kehidupan Nabi Muhammad SAW. Ada empat sifat beliau yang berulang kita hafalkan, yakni: shidiq, amanah, tabliq dan fathonah. Empat kualitas ini bukan saja wajib ada dalam membangun kepemimpinan, namun pada akhirnya menjadi prasyarat pembentukan masyarakat dan lembaga-lembaganya yang solid dan bermartabat.
Ketika orang sudah mampu hidup dalam kejujuran, maka secara otomatis ia akan menemukan bahwa hubungan dengan masyarakat harus dibangun berdasar kepercayaan. Ketika secara pribadi seseorang dikenal jujur, maka secara sosial dia akan tampil sebagai sosok terpercaya. Kepercayaan inilah yang disebut amanah.
Tanpa kejujuran, kepercayaan tidak mungkin bisa dibangun diantara sesama anggota masyarakat, diantara sesama anak-anak bangsa. Tanpa kepercayaan, tak ada yang bisa membangun tatanan masyarakat yang kukuh dan bermartabat. Sebelum Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul, beliau sudah dikenal oleh masyarakat Makkah sebagai al amiin, yang terpercaya. Terpercaya bicaranya, terpercaya tindakannya.
Apabila amanah tak bisa dibangun, maka tabligh tak akan bisa dijalankan. Tabligh adalah penyampaian pesan kebenaran, penyampaian nilai-nilai, aturan-aturan dan seterusnya.
Betapa tidak? Tanpa amanah, tanpa kepercayaan, apapun kata yang diucapkan seseorang, apapun aturan yang dikeluarkan pimpinan, apapun perundangan yang ditetapkan lembaga, tidak akan mampu mendorong masyarakat untuk mentaati atau bertindak sesuai dengannya; bahkan untuk mendengarpun mungkin tidak.
Tanpa amanah, tanpa kepercayaan, tahap tabligh akan rapuh. Perundangan, peraturan, kebijakan apapun yang diambil oleh pimpinan atau oleh lembaga hanya akan sekedar terpaksa ‘diamini’ oleh masyarakat lewat proses-proses pemaksaan oleh kekuasaan atau lewat rekayasa sosial lainnya.
Amanah atau keterpercayaan inilah yang sekarang raib dalam interaksi sosial, sehingga hampir seluruh sendi kehidupan berbangsa kita mengalami guncangan hebat.
Acara pelaksanaan:
Hari: Jum’at
Tanggal: 15 November 2013
Jam: 19.30 sampai selesai
Tempat: Rumah Adab Indonesia Mulia
Jalan P. Diponegoro No 94 – Pati
Siaran langsung: PAS 101,0 FM
Live Streaming: www.pasfmpati.com dan www.paspati.co.id
bersama:
Perwakilan KPK RI
Agus Toto Widyatmoko (Pimred Harian Wawasan - Semarang)
Boyamin Saiman (Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia)
Anis Sholeh Ba'asyin
Orkes Puisi Sampak GusUran
Dyah Kencono Puspito Dewi (Bekasi)
Euis Herni (Subang)
Bontot Sukandar (Tegal)
Dwi Ery Santoso (Tegal)
Ribut Achwandi (Pekalongan)
Wardjito Soeharso (Semarang)
Fransiska Ambar Kristiyani (Semarang)
Ahmad Daladi (Magelang)
Suyitno Ethex (Mojokerto)
Ardi Susanti (Tulungagung)
Kelompok Hadrah Kajen
Mulai September 2013 rekaman Ngaji NgAllah Suluk Maleman juga bisa disaksikan di Aswaja TV, setiap Ahad jam 22.00 – 01.00, Senin jam 10.00 – 13.00, Selasa jam 22.00 – 01.00 dan Rabu jam 10.00 – 13.00.
Aswaja TV bisa diakses lewat Palapa D dengan frekwensi 03932/Vertikal/Simbol Rate 15800/MPEG2 – Asia Tenggara Area
ACARA INI UNTUK UMUM DAN GRATIS!
Suluk Maleman adalah acara rutin bulanan yang diselenggarakan tiap Jum’at ketiga. Acara ini dirancang sebagai ajang untuk silaturrahim pikiran untuk mengaji masalah-masalah yang dihadapi bangsa, baik di tingkat lokal maupun nasional. Acara ini sejak awal digagas sebagai oase untuk merekatkan kembali ikatan kemanusiaan, kemasyarakatan dan kebangsaan, yang selama ini cenderung cerai berai.
Kecuali dialog dan pengajian, juga akan ditampilkan pagelaran kesenian. Secara rutin Orkes Puisi Sampak GusUran akan menemani tampilan kelompok kesenian tamu yang diundang: bisa teater, monolog, baca puisi, wayang, musik, tari dls (pada dasarnya, kami menerima siapapun dan dari manapun untuk tampil di acara ini).
Bagi mereka yang bermukim di Pati dan sekitarnya, atau kebetulan berada di wilayah Pati, dipersilakan hadir. Acara ini memang dirancang untuk umum dan gratis.
0 komentar :
Posting Komentar