Jika Tak Kau Ijinkan Aku Tak Kan Memaksa

Oleh: Zainul Adzvar
(Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang) ·

Aku memesan Java Capucino . Ah, kamu pasti lupa pada secangkir kopi pahit dan coklat hangat yang pernah kita pesan dulu. Sudah terlalu banyak jenis kopi yang kita nikmati.

“Do’aku lekat denganmu” kata itu yang selalu kuingat, entah karena sering kau ungkapkan, ataukah memang aku senang mendengarnya.

Kubuka laptopku. Lebih baik aku bersibuk diri dengan dunia maya daripada mengingatmu. Payah aku ini. Bukankah dunia maya juga yang mempertemukan kita? Kembali berenang di samudra ini sama saja kembali mengarungi pantaimu.

Pantai?!. Berapa kali kamu mengajakku ke Pangandaran? Berapa kali kamu mengajakku ke Parang tritis? Hahaha. Tidak pernah.. Aku tertawa getir.

Kuhirup kopiku dalam-dalam. Dihatiku, ada sejuta harap bahwa kamu pergi dari hati dan otakku. Jangan singgah. Aku tak mau seperti kamu, yang pernah menulis bahwa kamu menyimpan semua orang yang pernah singgah dihidupmu dalam penjara-penjara kotak hatimu. Kamu tak akan pernah membiarkan mereka lepas, kecuali mereka sendiri yang memilih untuk pergi.

Kupejamkan mataku. Aku mencoba menggambar keseluruhanmu. Wajahmu yang sangat jauh dari tampan, tubuh yang tidak ideal apalagi atletis, ditambah butir-butir jerawat yang aduhai parahnya ketika kamu makan telur. Rambut ikal panjangmu, aku sangat ingin menyentuhnya, sebesar ketakutanku mengutarakannya padamu.

Membayangkanmu, tanganku pun bermain pada huruf-huruf.

Ijinkan aku meluapkanmu detik ini, sebelum tsunami membunuhmu tanpa permisi.

Segala tentangmu yang kusimpan dan membeku, kini biar kutuang tanpa sisa, agar penghuni hatiku yang memang berhak ada disana, tak lagi cemburu… Berbanggalah sedikit, kamu memang paling kalah dari segi fisik, tapi kamu selalu yang terbaik dalam mencintai.

Ladang pembantaian, biasanya dalam bentuk puisimu, seperti biasa puisi-puisimu dalam dan kuat, sekuat karakter perempuan yang kamu ciptakan, perempuan cerdas yang senang menampar para adam dengan kata-kata.

Kamu bisa mendongeng tentang krisis ekonomi dengan segala macam referensi, kamu bisa berkisah tentang strategi perang Negara-negara adidaya sampai Negara kelas teri, dan tentu saja analisa favoritmu; Filsafat!

Aku pun sering lupa apakah kamu seorang laki-laki atau perempuan, sebab kita tidak pernah saling menerkam. Dan keraguanku tentang jenismu terjawab. Kamu memang seorang adam, terlahir adam, yang ditakdirkan mencintai hawa. Pertemuan pertama kita di sebuah warung kopi, mengaduk benakku teramat dalam, karena sosokmu tak seperti yang kukira.

Hei, aku masih perempuan normal, yang berharap mengagumi laki-laki tampan, berbadan sehat, dan ada saldo tentu, sehingga mampu menenangkan lahir dan batin. Kalau pada akhirnya aku tetap berjalan disisimu, tentu karena aku merasa nyaman dan aman bersamamu, dan itu lebih penting dibanding penampilanmu.

Aku mencintai puisi-puisimu, meski aku tak pernah mengakui itu. Tanpa setahumu, aku menyimpan semua tulisanmu. Pada akhirnya kamu tahu, menertawakanku, dan kamu balik menyimpan semua tulisan-tulisanku tentang kamu. Kamu pernah bertanya, sebenarnya apa yang lebih kucintai, puisi-puisimu ataukah dirimu. Aku tidak tahu, mungkin aku hanya mencipta ilusi tentangmu untuk kepuasan batinku sendiri. Maaf, ketika bersamamu aku masihlah perempuan gila yang sedang bersusah payah mencari dirinya sendiri.

Mungkin, seorang sahabatku benar, ia berkata aku sejatinya tidak pernah mencintai para lelakiku, aku hanya mencintai mereka dalam bayanganku, dalam ruang imajinasiku. Mungkin, itu pula sebabnya percintaanku lebih sering kubiarkan kandas, ketika aku jemu hanya menuliskan satu nama. Dan mungkin, aku harus berbesar hati mengakui, bahwa analisa sahabatku itu bisa saja benar adanya. Maaf, sungguh maafkan aku. Mungkin,aku memang hanya berangan mencintai kamu, sehingga aku bisa melahirkan puisi. Pun kamu, hanya menjadikanku satu dari sekian pengembaraan hatimu, agar tanganmu tetap mampu mencipta puisi.

Terima kasih untuk bercangkir-cangkir kopi yang kita bagi ketika aku dan kamu bercinta dalam untaian kata-kata. Terima kasih, bahwa sepanjang percintaan kita kamu sangat menghormatiku dengan tidak menyentuhku. Hanya sekali tubuh kita beradu ketika kita pulang dari mantan kampusmu naik bis malam, kamu menyuruhku tidur menyandar dibahumu. Meski dalam puisi-puisi cintamu seolah kamu pernah memasung ketelanjanganku, pada kenyataannya, kamu seorang pecinta yang hebat yang mampu menghargai norma-norma yang coba kupegang teguh. Tentu saja posisimu dihatiku teramat dalam, karena kamulah sang pembebas, karena kamulah yang mengajariku ketulusan penerimaan diatas segala perbedaan.



Aku sudah menikah dengan suamiku yang sekarang, di masjid, jadi jangan menggodaku dengan ritual berbagi secangkir kopi di sudut malam bisu seperti dulu. Maaf pula permintaanmu untuk anak perempuanku memanggilmu “papa” kutolak. Aku menanti sebuah undangan pernikahan darimu, aku pasti akan datang di gereja itu, untukmu. Pupuklah bunga cintamu dengan perempuan baru yang kamu katakan mampu membuatmu benar-benar jatuh cinta, apalagi dia seagama. Mungkin benar adanya, percintaan kita memang dahsyat, tapi cukup sekali waktu dibaca ulang untuk dikenang.

Kamu ingat tentu, pernikahanku dengan suamiku, bapak anak perempuanku, didahului dengan perpindahan kepercayaan. Dan kamu tahu, aku berharap aku tak akan pernah mengulanginya lagi seumur hidupku, meski ada kerelaan. Dulu, kehilanganku karenamu, pernah dianggap oleh seorang kawanku, sebagai keputusasaan cinta yang teramat menyedihkan. Hanya karena agama, katanya, masak cinta bisa terkalahkan. Meski kamu tak peduli seandainya kita menikah akan di masjid atau gereja, saat itu aku merasa yang terbaik kita tidak menikah dan tidak perlu menyakiti pihak manapun. Namun, perjalananku setelah itu, dan penghakiman lingkungan mengenai keputusanku yang seolah tidak mengenal toleransi dan keadilan atas cinta, memaksaku kembali menerima seseorang yang pada awalnya berbeda keyakinan, bapak anak perempuanku. Dan aku menjadi tertantang untuk mempertahankan hubungan tersebut hingga pernikahan, maka atas nama cinta aku dan bapak anak perempuanku menikah dalam agamaku. Yang kamu tak setuju, meski kamu tetap menjadi sahabatku.

Aku mungkin, terlalu idealis saja, Jadi, ketika aku merasa melepasmu dulu bukan sebuah kekalahan, tapi sebuah kemenangan. Dan tak ada salahnya aku menang. aku tak mau bersamamu lagi. Kuanggap, kawanku yang menganggap aku putus asa ketika putus cinta denganmu itu, hanya omongan kawan yang belum merasakan pedasnya sambal percintaan yang dahsyat.



Aku sendiri tak mengerti, mengapa aku merasa paling nyaman dan berbahagia denganmu. Para lelakiku dulu sealur, satu gaya hidup. Ah, apa karena perbedaan kita itu memberi warna lain dan menantang kegilaanku? Yang jelas, aku pun sulit bersahabat dengan yang seirama, apalagi yang bisa ditebak, karena cenderung ada penghakiman atas model kehidupan yang kujalani. Denganmu dulu, aku merasa tak perlu berpura-pura. Kalau aku memang tidak ingin pulang dan memilih bermain angin dan hujan, ya kamu akan menemaniku meski kita bisa berpindah sampai empat kali warung kopi dalam semalam. Pernah di sebuah lapangan, di pos satpam kita menumpang duduk, hanya untuk mengamati bintang yang tiba-tiba terlihat di langit Jakarta. Tidak seperti yang lain, mereka akan berkhotbah bagaimana menjadi perempuan yang baik itu bila aku kumat dengan kelakuanku yang menurut mereka tidak selayaknya untuk seorang perempuan yang baik. Hahaha, hanya kamu yang bisa mengerti, ketika aku sedang ingin gila, ya harus disalurkan. Itukah sebabnya kamu masih yang terbaik dan selalu membuat bapak anak perempuanku merasa cemburu [?!]

Masihkah kamu akan dicemburui oleh seseorang yang baru?

Mungkin pertanyaannya harus dibalik. Bisakah aku membuat seseorang yang baru tidak cemburu? Aku merasa akan bisa, karena sejak aku menikah, ritual berkopi dan berpuisi ria denganmu telah tamat dan tak pernah terulang hingga detik ini. Tepatnya, aku menolak terulang. Disamping, aku ngeri juga jika anak perempuanku tertular kebiasaanmu atau ketika dewasa menjadi sepertiku doyan minum kopi sampai pagi, ketakutan berlebihan seorang ibu haha…ha... Dua kali kamu mengajak anak perempuanku keluar siang hari saja, aku sungguh tak rela melihat dia nyaman dalam gendonganmu. Biarkan aku memperbaiki diri, rasanya sekarang lebih nyaman menjadi ibu yang sederhana dan tidak neko-neko. Biarlah kini aku mendongeng dan melantunkan cerita untuk menidurkan anak perempuanku.

Aku tak mengelak bahwa kamu beberapa kali singgah dimimpiku. Itu masih menegaskan bahwa kamu memang masih kukenang. Bagaimana tidak, Kini aku jadi lebih sering membandingkan, yang aku tak ingin. Dulu, kamu tak pernah mempedulikan siapa diantara lelakiku yang paling kucintai, yang paling berkesan, yang paling lama bertahan dalam hubungan, bla bla bla.…. Pertanyaan-pertanyaan yang menurutku tidak penting dan malah menjebakkan diri pada keruwatan perasaan. Cara-caramu selalu istimewa untukku, itu yang tak kutemu pada yang lainnya. Kini ijinkan aku melepasmu dari sangkar ingatanku, agar aku tak lagi membandingkanmu dengan yang baru. Kamu manusia satu diantara sejuta, aku berbahagia pernah menjadi purnama untukmu, pernah menjadi perempuanmu.

Tak apa, kamu tak datang pada pernikahanku, aku menghargai keinginanmu. Tapi, ijinkan aku ada saat kamu nanti berikrar dihadapan Tuhanmu untuk setia pada istrimu yang satu, aku ingin menjadi bagian dari orang-orang yang berbahagia untukmu. Toh, seorang kawan berkata tidak apa-apa aku ke gereja meski aku bukan Katolik, jika diundang diacara pernikahan. Jika kamu tak ijinkan, aku tak akan memaksa.
Share on Google Plus

About Unknown

RIC Karya
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar