ANALISA Perbandingan
Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer dan Para Priyayi Karya Umar
Kayam
Karya sastra
merupakan sarana bagi pengarangnya untuk mengungkapkan realitas yang ada dari
pembacaan pengarang, kreativitas, pergulatan antara realitas dan imajinasi
pengarangnya tidak akan terlepas dari pengalamanya. Realitas yang terjadi
biasanya terkait dengan masalah kehidupan, rumah tangga, ekonomi, seks,
politik, budaya dan lain-lain. Budaya Jawa sering menjadi pembahasan dalam
novel modern saat ini termasuk dari orang-orangnya dengan keunikan budayanya,
tingkah laku, serta prinsip hidup tertentu yang membedakan dengan budaya yang
lain.
Clifford
geertz, dalam buku the religion of Java membagi masyarakat Jawa berdasarkan
status sosial menjadi tiga kelas yaitu kelas atas, kelas tengah dan kelas
bawah. Para priyayi merupakan kelas yang kedudukanya paling tinggi termasuk
kelas atas, kelas tengah adalah kelas santri sedangkan kelas bawah atau kelas
abangan (kawula) seperti masyarakat kebanyakan. Para priyayi gambaranya sebagai
orang yang memiliki kekuasaan dibawah raja yang selalu dihormati banyak orang.
Pada
kenyataanya banyak pandangan tentang priyayi yang ternyata setiap orang berbeda
pendapat dalam mengungkapkanya. Dalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya
Ananta toer dan novel Para Priyayi karya umar khayam berbeda pandangan
dalam menggambarkan priyayi maka akan terjadi kecurigaan mengapa hal tersebut
dapat terjadi yang dapat mempengaruhi karakteristik priyayi menurut pandangan
kedua pengarang yang berbeda. Maka terkait hal tersebut membutuhkanpenelitian
khusus untuk mengungkap latar belakang yang menyebabkan hal tersebut
terjadi.Dalam tulisan ini akan diidentifikasi mengenai perbedaan pandangan dari
kedua pengarang dan dasar yang melatar belakanginya
Priyayi Jawa
Priyayi
berasal dari kata para dan yayi yaitu para adik (Kartodirdjo, 1987:2),
maksudnya adalah para adik raja yaitu status kedudukanya berada dibawah raja
tentunya dalam hal ini priyayi memiliki kewibawaan, kehormatan yang tinggi
serta dekat dengan pejabat tinggi. Priyayi dibagi menjadi dua macam, yaitu
priyayi yang pangreh praja dan priyayi yang bukan pangreh praja. Priyayi yang
pangreh praja merupakan pejabat pemerintah daerah yang diakui kebangsawananya.
Priyayi yang bukan pangreh praja merupakan orang-orang terpelajar dan
berpendidikan dari daerah pedesaan atau di kota yang berhasil menjadi pegawai
negeri seperti guru.
Pada umumnya
mereka memeluk agama Islam dan sangat kental dengan kebudayaan Jawa tradisional
Kraton Yogyakarta dan Surakarta. Sesesorang dari desa kalangan bawah bisa
memperoleh Status priyayi dengan usaha jalan pendidikan biasanya harus melalui
lembaga suwito, ngenger, dan magang dan kebanyakan orang dari
kalangan rendah memperoleh status priyayi karena jasa dan kesetiannya pada
penguasa melalui proses panjang priyayi seperti ini biasanya disebut priyayi
bukan pangreh praja. Sedangkan gelar priyayi karena keturunan priyayi adalah
priyayi jenis pangreh praja.
Kecenderungan
tokoh priyayi adalah dapat terlihata dari sosok karakter, kepribadian dan
aktivitasnya dalam sehari-hari seperti tokoh priyayai kebanyakan adalah seorang
pemimpin yang memiliki pendidikan yang tinggi baik di bidang umum maupun
keagamaan sehingga priyayi umumnya memiliki kecerdasan lebih daripada
masyarakat biasa dari hal demikian priyayi cenderung dihormati dan dijadikan
sebagai teladan serta mencerminkan karakter-karakter ke-priyayian.
Tokoh
priyayi sebagai Pemimpin
Priyayi pada
hakikatnya kebanyakan merupakan pemimpin di masyarakatnya termasuk dalam novel Gadis
Pantai karya Pramoedya Ananta Toer. Hal ini terlihat dengan jabatan yang
dimiliki oleh Priyayi tersebut yaitu sebagai bendoro yang selalu dihormati dan
dalam hal mengurusi administrasi Belanda termasuk mengurusi bidang keagamaan
ritual dalam pernikahan dibawah utusan bupati rembang di wilayah rembang. Dalam
novel Para priyayi karya Umar Khayam juga dijelaskan bahwa Sastrodarsono
merupakan priyayi di kota Wanagalih merupakan seorang mantri guru atau kepala
sekolah yang diwilayahnya. Pemimpin merupakan status yang tinggi biasanya
dihormati banyak orang tentunya harus memiliki tanggung jawab yang besar pada
yang dipimpinya.
Tokoh
priyayi sebagai Tokoh Spiritual
Pendidikan
Priyayi semasa kecil sudah harus dididik untuk mempelajari tentang
keagamaan sebagai syarat mutlak yang tidak bisa dihindari karena bagi priyayi
patokan pendidikan agama adalah penting terkait priyayi merupakan generasi
pembawa kebudayaan Jawa dari Kraton Yogyakarta dan Surakarta yang sangat
memegang teguh ajaran syariah. Sebagaimana yang tercermin dalam novel Gadis
Pantai karya pramoedya bahwa sang Bendoro memiliki keahlian dalam mengaji
serta sholat dan tidak pernah meninggalkanya.
Begitu juga
dalam novel PP tokoh Sastrodarsono dan keluarganya sangat berpegang teguh pada
ajaran Islam hingga salah satu anaknya hendak menikah dengan seorang yang
beragama katholik tidak diperbolehkan, dalam keseharianya tokoh Lantip sering
diajarkan tokoh Sastrodarsono tentang nilai-nilai dalam agama Islam.
Kuatnya
nilai agama dalam kehidupan. Nilai-nilai agama pada tataran epistemologis saja,
sampai pada tataran aksiologis yaitu para priyayi menjalankan apa yang
diperintahkan oleh ajaran Islam. Terutama yang terpenting dalam kehidupan
adalah menjalankan sholat dan mengaji.
Tokoh
priyayi sebagai Tokoh Pendidikan
Ada sebuah
konsepsi yang berlaku di masyarakat yaitu bahwa priyayi harus menjalani masa
pendidikan di madrasah atau sekolah keagamaan dalam artianya bahwa seorang
priyayi harus cukup pandai dalam memahami keagamaan juga dalam pendidikan
terkait status yang lebih tinggi di masyarakat maka priyayi dalam urusan
pendidikan harus di atas masyarakat kebanyakan. Status priyayi dapat diperoleh
dari hasil usaha orang-orang desa terpelajar yang berhasil menjadi pegawai
negeri. Hal tersebut menjelaskan bahwa pentingnya pendidikan bagi priyayi dan
priyayi identik dengan pendidikan.
Sebagaimana
yang digambarkan dalam novel Gadis Pantai (GP) dan novel Para Priyayi
(PP) antara bendoro pada novel GP yang sangat pandai dan mengajari anak-anaknya
dalam ilmu umum terutama pandai dalam bahasa Belanda serta disekolahkan dan
setiap hari tetap belajar dengan rajin kemudian dalam novel PP tokoh
sastrodarsono dan Lantip menempuh pendidikan terlebih dahulu untuk menjadi
priyayi karena berasal dari kalangan petani keluarganya.
Tokoh
priyayi dalam Politik, Kekuasaan, Kekerasan dan seks pada Novel Gadis Pantai
karya Pramoedya ananta toer
Priyayi
dalam novel GP pengarang menggambarkan ada kaitanya dengan politik kerjasama
dengan Belanda dan pejabat pemerintah termasuk perempuan yang merupakan priyayi
juga menggunakan politik untuk memperoleh kedudukan di samping Bendoro yang dimanfaatkanya
untuk menyingkirkan ndoro Gadis Pantai istri Bendoro yang sebelumnya telah
disuruh perempuan priyayi anak pejabat kabupaten. Dari fakta tersebut
membuktikan bahwa status priyayi dapat dijadikan untuk politik serta kekuasaan
untuk memperoleh yang diinginkan.
Bendoro yang
merupakan sapaan dari priyayi dalam novel Gadis Pantai memiliki hubungan dengan
orang-orang Belanda sebagai bagian administrasi Belanda dan memiliki banyak
aktivitas pekerjaan atau bisnis tertentu dengan pihak dari Belanda dan pejabat
pemerintah daerah kabupataen tersebut. Selain itu, adanya kekuasaan pada
priyayi semena-mena digunakan untuk kepentingan pribadi menganggap remeh
masyarakat bawah seperti bendoro yang menikahi tokoh gadis pantai hanya dengan
sebuah keris, kemudian menceraikan dan mengambil hak asuh anak hasil
perkawinanya dengan banyak perempuan sesukanya tanpa memperdulikan perasaan seorang
ibu.
Setelah
menceraikan istri yang dinikahi dengan hanya mewakilkan sebilah keris tanpa ada
pernikahan yang sah dimata negara hanya dengan perkawinan siri begitu juga saat
diceraikan hanya menggunakan kata “cerai” sudah memutuskan ikatan pernikahan.
Hal ini tergambar dalam novel GP dimana para priyayi memnggunakan perempuan
dari kalangan bawah hanya sebagai pemuas hawa nafsu, sebagai percobaan,
pembelajaran sebelum menikah yang sesungguhnya yaitu dari golongan priyayi
juga. Banyak kekerasan yang terjadi dam digambarkan dalam novel ini yaitu
ketika tokoh Gadis Pantai hendak mengambil anaknya dari tangan Bendoro kemudian
ditendang dan diusir, dicampakan begitu saja.
Tokoh
priyayi dalam karakter Kebaikan pada Novel Para Priyayi Karya Umar Khayam
Berbeda
dengan penggambaran Pramoedya ananta toer dari novel GP yang banyak mengungkap
kejelekan para priyayi , Umar Khayam menggambarkan sosok Sastrodarsono sebagai
priyayi yang bukan Pangreh Praja karena dari keluarga petani yang berjuang
menuntut ilmu kemudian menjadi guru bantu disebuah sekolah dan akhirnya menjadi
priyayi dengan sikap seorang teladan, sederhana, tanggung jawab, penuh
kebaikan, semangat yang tinggi dan kasih sayang. Hal ini terlihat ketika
sastrodarsono sebagai priyayi membentuk Lantip menjadi priyayi selalu
memberikan nasihat pada seisi rumah setiap kali ia pulang dari pertemuan pagi
termasuk Lantip yang dididik sedemikian rupa seprti mengajari dalam hal
kemandirian, berperilaku baik, dalam hal tata krama berlaku sopan dan santun.
Priyayi
tersebut menolong Lantip kemudian diasuhnya dan dididiknya sebagai tanggung
jawabnya atas keponakanya sebagai ayah Lantip yang tidak bertanggung jawab.
Selain itu dari sifat tanggung jawab dan kebaikanya terlihat dari ia mendirikan
sekolah untuk orang-orang miskin dan mempertahankanya meskipun mendapat teguran
dari Belanda terkait sekolah yang dianggap liar dengan tanggung jawab yang
tinggi Sastrodarsono berusaha mempertahankan sekolah tersebut dan harus
menentang melawan Belanda. Sastrodarsono digambarkan sebagai sosok pegawai
pemerintah yang taat dengan cara hidup Jawa yang mewakili masyarakat
tradisional, kesadaran diri, kerukunan, tidak mementingkan diri sendiri, serta
sabar.
Kesimpulan
Pada
hakikatnya dalam penulisan novel, pengarang sengaja menggunakan priyayi sebagai
salah satu tokoh yang mewakili gambaran sistem kepemimpinan, strata sosial dan
pendidikan di Jawa. Pada sistem Jawa masa priyayi cenderung bersifat feodalis
kepada masyarakat bawah dan masyarakat bawah cenderung mentalitas berorientasi
kepada atasan, hanya menunggu perintah atasan, patuh dan loyal secara
berlebihan hingga merendahkan diri.
Terjadi
penyimpangan konsep nilai-nilai agamis dan sikap mengayomi masyarakat bawah
yang menjadi label priyayi yang sebenarnya dan digambarkan dalam novel Gadis
Pantai Pramoedya Ananta Toer.Penyimpangan gambaran konsep nilai yang
terjadi pada priyayi dapat terjadi karena adanya faktor profil individu dan
perubahan sistem sosial dalam masyarakat yang mempengaruhi pola hidup,sikap,
tingkah laku dan perilaku masyarakat serta lingkungan masayarakat pada masa
tersebut. Perbedaan kondisi masyarakat, waktu dan persepsi setiap orang berbeda
maka akan membedakan cara pandang seseorang pula.
Refrensi:
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Perkembangan
Peradaban priyayi. Yogyakarta: Gadjah Mada University press.
Geertz, Clifford. 1961. The Religion of Java. Glencoe, Illinois: Free Press.
Kayam, Umar.
1992. Para priyayi: Sebuah Novel. Cetakan keempat. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti.
Toer,
Pramoedya Ananta. 2003. Gadis Pantai. Cetakan ketiga. Jakarta: lentera
Dipantara.
Sumber:
0 komentar :
Posting Komentar