WM Jepara - Soesilo Toer penulis buku “Pram dari Dalam” yang
berkesempatan hadir di kampus Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Nahdlatul Ulama
(STIENU) Jepara, Senin (20/5) kemarin mengajak mahasiswa untuk menjadi penulis.
Hal itu sesuai tema yang diangkat penyelenggara Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)
Ekonomika; Gerakan Indonesia Cerdas Menulis.
Menurutnya, untuk menjadi penulis bisa diawali dari diary
(buku harian). Buku harian itu, sebut adik kandung Pramoedya Ananta Toer bisa
ditulis apa saja. “Semisal anda kali pertama melihat saya (Pak Soes, red)
kemudian mempunyai penialaian, tulis saja yang ada dibenak anda,” katanya dihadapan
LPM Se-Jateng dan BEM Se-Karisidenan Pati.
Setahun, dua tahun kedepan, papar Pak Soes, panggilan
akrabnya si pemilik diary akan terheran-heran saat membaca ulang yang
pernah ditulisnya itu. “Anda kelak akan heran, kapan saya menulis seperti ini.
Perasaan tidak pernah menulis seperti ini,” lanjutnya.
Diary itu sambung pengelola Perpustakaan Pramoedya
Ananta Toer anak Blora (Pataba) bisa menjadi bahan untuk menulis buku. Menjadi
penulis masih menurutnya harus didukung dengan niat. Apalagi saat ini menjadi
penulis semisal wartawan yang tidak legal; wartawan tanpa surat kabar (WTS) juga
bisa. Disamping itu, Philosofy of Doctor (Ph.D) dari Institute Plekanov itu mengemukakan
sebagai penulis juga perlu didukung dengan kemauan yang kuat.
Menulis, ungkap pria kelahiran Blora, 17 Februari 1937 itu
ada tujuan dan misi khusus, utamanya membangkitkan semangat bangsa. Hal itu
sejalan yang dikemukakan Pram, menulis (mengarang, red) merupakan tugas Nasional.
Dan gerakan itu, tegasnya belum ada yang mewajibkan sampai saat saat ini,
kecuali Pram, kakaknya.
Melalui menulis, paparnya akan memberikan motivasi, sumbangsih
pemikiran, semangat untuk para pembaca. Sehingga, di perpusnya, di Jalan
Sumbawa 40 Jetis, Blora ada adagium yang ditulis sahabatnya, Widodo
bertuliskan; Membangun Indonesia melalui Membaca dan Menulis.
Pak Soes menambahkan untuk menjadi penulis yang dikenang
sepanjang masa, harus dilalui dengan penuh penderitaan. Hal itu disampaikannya
sebagaimana yang dialami WS Rendra, Chairil Anwar dan Multatuli. “Menjadi
penulis itu harus “menderita” dulu. Hal itu merupakan kompensasi yang kelak
akan menjadi prestasi yang gemilang
yakni akan dikenang sepanjang masa,” pungkasnya.
Kontributor: Syaiful Mustaqim
0 komentar :
Posting Komentar