Oleh: Pramoedya Ananta Toer
Reproduced From Majalah PROGRES, No. 2, 1992.
Sudah terbit
SEJAK 17 Agustus 1945 aku menjadi
warganegara Indonesia, sebagaimana halnya dengan puluhan juta orang penduduk
Indonesia waktu itu. Waktu itu umurku 20. Tetapi aku sendiri berasal dari etnik
Jawa, dan begitu dilahirkan dididik untuk menjadi orang Jawa, dibimbing oleh
mekanisme sosial etnik ke arah ideal-ideal Jawa, budaya dan peradaban Jawa.
Kekuatan pendidikan yang dominan dan massal adalah melalui sastra, lisan dan
tulisan, panggung, musik dan nyayian, yang membawakan cuplikan-cuplikan dari
Mahabharata: sebuah bangunan raksasa yang terdiri dari cerita falsafi dan
tatasusila, acuan-acuan religi, dan dengan sendirinya resep-resep sosial dan politik.
Enerzi, dayacipta, pergulatan, telah dikerahkan berabad, melahirkan candi-candi
dan mythos tentang para raja yang sukses, dan mendesak dewa-dewa setempat
menjadi dewa-dewa kampung. Untuk itu "jutaan" manusia sepanjang
sejarah etnikku terbantai. Tentu saja tidak angka resmi bisa ditampilkan. Yang
jelas, sejalan dengan pendapat pakar Cornell, Ben Anderson, klimaks Mahabharata
adalah "mandi darah saudara-saudara sendiri". Memang pada jamannya
sendiri bangsa-bangsa lain juga pernah mengalami peradaban dan budaya 'kampung'
demikian. Yang berhasil keluar dari kungkungannya, jadilah bangsa yang merajai
dunia.
Pada awal abad 17 masyarakat Belanda menghimpun
dana untuk membiayai pelayaran-pelayaran mencari rempah-rempah, melintasi
sejumlah samudra dan menghampiri sejumlah benua. Di negeriku, beberapa belas
tahun kemudian, tepatnya pada 1614, raja Jawa yang paling kuat dan berkuasa,
raja pedalaman, generasi kedua dan raja ketiga Mataram, Sultan Agung, justru
menghancurkan negara bandar dagang Suarabaya, hanya karena membutuhkan
pengakuan atas kekuasaannya. Ironi histori Jawa termaktub di sini: pada waktu
Belanda mengelilingi dunia mencari rempah-rempah, Surabaya suatu bandar transit
rempah-rempah yang sama untuk konsumsi internasional dihancurkan oleh seorang raja
pedalaman Jawa, Sultan Agung.
Mataram sendiri adalah kerajaan kuat kedua di Jawa
yang menyingkiri laut karena tidak ingin menghadapi kedahsyatan Portugis di
laut. Sultan Agung ini juga yang gagal total menghalau koloni kecil Belanda di
Batavia pada 1629. Kekalahan itu membuat Mataram kehilangan Laut Jawa, laut
pelayaran internasional pada masanya. Untuk menghilangkan malu yang diderita,
untuk memperthankan kewibawaan Mataram, para pujangga etnik Jawa berceloteh,
bahwa pendiri Mataram, ayah Sultan Agung, mempersunting puteri Laut Selatan
(pulau Jawa), Nyi Roro Kidul. Untuk menyatakan, kata Prof. H. Resink, bahwa
Mataram masih punya keterlibatan dengan laut.
Dalam kronik etnik Jawa, Sultan yang satu ini
diagungkan begitu tinggi dengan membuang segala faktor yang memalukan. Juga
dalam pengajaran sejarah dalam Republik Indonesia sekarang. Orang akan membelak
bila mengikuti materi tertulis orang Barat tentang dia.
Sedang pendiri Mataram, Sutawijaya, dengan dalih
ingkar janji sebagai didendangkan oleh para pujangga etnik Jawa, marak jadi
raja setelah membunuh ayah angkat yang membesarkannya, yang
memberinya fasilitas sebagai seorang pangeran.
Kronik yang diwariskan pada kami tidak pernah ada yang menyinggung tentang
nurani, yang nampaknya memang tak terdapat dalam pembendaharaan
bahasa Jawa.
Diawali dengan kekalahan Sultan Agung, hilangnya
kekuasaan atas jalur dagang di L. Jawa, beroperasinya kapal-kapal meriam Barat,
golongan menengah Jawa, yang senyawa dengan pemilikan kapal dan pedagang
antar-pulau serta internasional terhalau dari bandar-bandar dan tergiring ke
pedalaman, menjadi mundur, dan terjatuh dalam kekuasaan satria pedalaman dan
ikut mundur.
Namun para pujangga pengabdi sistim kekuasaan,
menyingkirkan kenyataan yang menggejala ini. Setelah Sultan Agung marak,
Mataram ke 4 justru bersahabat dengan Belanda. Para pujangga tetap tidak
mengambil peduli. Nyai Roro Kidul, justru dibakukan sebagai kekasih setiap raja
Mataram, generasi demi generasi, dikembangkan kekuasaannya sedemikain rupa
sehinggga menjadi polisi. aneh tapi nyata bahwa semua ini terjadi sewaktu Jawa
praktis mulai memeluk Islam. Penyebaran agama baru ini tidak disertai
peradabannya sebagaimana halnya dengan hindusisme, karena praktis sebgai akibat
sekunder dari terhalaunya para pedagang Islam dari jalur laut oleh kekuatan
Barat yang Nasrani, kelanjutan dari penghalauan atas kekuasaan Arab di
Semenanjung Iberia. Dapat dikatakan penyebaran Islam di Jawa adalah akibat
sekunder dari gerakan Pan-Islamisme internasional pada jamannya.
Lebih mengherankan lagi bahwa pada waktu tulisan
ini dibuat, Nyai Roro Kidul telah dianggap menjadi kenyataan. Sebuah hotel di
pantai selatan Jawa Barat menyediakan kamar khusus untuk Dewi Laut Selatan
tersebut. Bagaimana bisa terjadi suatu negara yang berideologi Pancasila,
dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai silanya yang pertama menerima kehadiran
seorang dewi laut,
kekasih para raja Mataram. Para pujangga tidak
pernah teringat bahwa dengan kekuasaan tanpa batas Dewi Laut Selatan, Mataram
tidak pernah menang dalam konfrontasinya dengan kekuasaan Barat yang datang
dari ujung dunia.
Sejak kegagalan Sultan Agung, Jawa tetap
terkungkung dalam peradaban dan budaya 'kampung', ditelan mentah-mentah oleh
Belanda selama 3 1/2 abad. Sungguh tragi-komedi yang mengibakan.
Sedang Belanda datang hanya dengan kekuatan sebiji
sawi, bangsa berjumlah kecil, negeri kecil, di ujung utara dunia, setelah
melintasi Samudera Atlantik, Hindia, Pasifik. Juga dalam perut kekuasaan
Belanda, Jawa tetap memuliakan peradaban dan budaya 'kampung'nya dengan klimaks
'kampung'nya: "mandi darah saudara-saudara sendiri", sampai 1965-66.
.... Dan karena sudah tidak dalam perut kekuasaan Eropa lagi, jelas pembantaian
mencapai skala tanpa batas.
Penjajahan Belanda, ataui Eropa, atas negeriku
telah banyak meredam klimaks-klimaks ini. Tanpa penjajahan, negeriku akan tiada
hentinya mencucukan darah putera-puterinya. Perebutan tempat kedua setelah
Belanda dalam kekuasaan administrasi di Jawa dalam pertengahan abad 18, yang
konon mengucurkan seperempat dari jumlah penduduk wilayah kerajaan Jawa. Sedang
seorang pangeran yang mendapat tempat ketiga setelah Belanda, Mangkunegara I,
baru-baru ini malahan diangkat menjadi pahlawan nasional. Maka itu seorang
wisatawan mancanegara yang mempunyai pengetahuan tentang Jawa dan Indonesia
akan mengangguk mengerti mengapa dalam tahun 80-an menjelang akhir abad 20 ini
patung para Satria Pandawa berangkat perang naik kereta perang di Jalan
Thamrin, Jakarta. Itulah patung dalam babak klimaksnya Mahabharata, "mandi
darah saudara-saudara sendiri".
Dalam penjajahan selama 3 1/2 abad kekuatan etnikku
tidak pernah menang menghadapi kekuatan Eropa, di semua bidang, terutama bidang
militer. Para pujangga dan pengarang Jawa, sebagai bagian
dari pemikir dan pencipta dalam rangka peradaban
dan budaya 'kampung' menampilkan keunggulan Jawa, bahkan dalam menghadapi
Belanda, Eropa, Jawa tidak pernah kalah. Cerita-cerita masturbasik yang
dipanggungkan, juga yang tertulis, juga cerita lisan dari mulut ke mulut,
menjadi salah satu penyebab aku selalu bertanya: mengapa etnikku tidak mau
menghadapi kenyataan?
Sedikit pengetahuan yang kudapatkan dari sekolah
dasar dan sedikit bacaan dari literatuir Barat, mula-mula tanpa kusadari, makin
lama makin kuat, membuat aku melepaskan diri dari peradaban dan budaya
'kampung' asal etnikku sendiri. Sekali lagi maaf. Di luar Jawa pernah suatu
kekuatan etnik menang mutlak atas Eropa. Itu terjadi di Ternate pada 1575.
Portugis diusir dari bentengnya dan menyerah. Karena ini tidak terjadi di Jawa,
tentara yang menyerah itu tidak dibikin mandi darahnya sendiri, tetapi digiring
ke pantai, diperintahkan menunggu sampai dijemput armada Portugis. Dan karena
terjadi jauh di luar Jawa, di Maluku, tidak pernah disinggung dalam mata
pelajaran sejarah resmi sampai 1990 ini. Mungkin perlu waktu sampai seorang
peneliti asing menerbitkan karyanya. Atau mungkin sudah pernah terbit hanya aku
saja yang tidak tahu.
Sekiranya dahulu aku terdidik suatu disiplin ilmu,
misalnya ilmu sejarah, aku akan lakukan penelitian yang akan menjawab: mengapa
semua ini terjadi dan terus terjadi. Tetapi aku seorang pengarang dan
pendidikan minim, jadi bukan materi-materi historis yang kukaji, tetapi
semangat-semangatnya, yang kumulai dengan tetralogi Bumi Manusia, khusus
menggarap arus-arus yang datang dan pergi dalam periode Kebangkitan Nasional
Indonesia.
Dan jadilah kenyataan baru, kenyataan sastra,
kenyataan hilir, yang asalnya adalah hulu yang itu juga, kenyataan historis.
Kenyataan sastra yang mengandung di dalamnya reorientasi dan evaluasi perdaban
dan budaya, yang justru tidak dikandung oleh kenyataan historik. Jadinya karya
sastra adalah sebuah thesis, bayi yang memulai perkembangannya sendiri dalam
bangunan-atas kehidupan masyarakat pembacanya. Dia sama dengan
penemuan-penemuan baru di segala bidang, yang membawa masyarakat selangkah
lebih maju.
Sengaja kuawali dengan thema Kebangkitan Nasional
Indonesia--yang walau terbatas di bidang regional dan nasional namun tetap
bagian dari dunia dan umat manusia--setapak demi setapak juga kutulis pada akar
historinya, yang untuk sementara ini belum siap terbit, atau mungkin tidak akan
bisa terbit.
Dengan demikian telah kucoba untuk dapat menjawab:
mengapa bangsaku jadi begini, jadi begitu. Maka juga aku tidak menulis sastra
hiburan, tidak mengabdi pada status quo, bahkan berada di luar dan meninggalkan
sistem yang berlaku. Akibatnya memang
jelas: dianggap menganggu status quo dalam sistem yang berlaku.
Dan karena menulis adalah kegiatan
pribadi--sekalipun pribadi adalah juga produk seluruh masyarakat, masa sekarang
dan masa lalunya--konsekwensinya pun harus dipikul sendirian. Dan kalau ada
simpati datang padanya, darimana pun datanganya, bagiku itu suatu nilai lebih,
yang sebenarnya tak pernah masuk dalam hitunganku. Untuk itu tentu saja
kuucapkan terimakasih.
Sebelum sampai pada tetralogi, telah kutulis
sejumlah karya yang semua bakalnya bermuara padanya. Dalam kurun ini pun sudah
mulai permusuhan dari kalangan yang pada masa itu sedang giat memburu status
quo. Dan mengherankan, bahwa pada mulanya karya-karya itu disambut dengan cukup
baik, bahkan beberapa kali malah mendapatkan hadiah penghargaan. Terutama
semasa demokrasi terpimpin dalam tahun-tahun akhir 50-an dan paroh pertama
60-an periode doktrin Trisakti--berdaulat di bidang politik, berdikari di
bidang ekonomi, berpribadi di bidang kebudayaan—suatu doktrin universal bagi
negara nasionalis di manan pun berada, namun menjadi momok bagi negara-negara
padat modal yang haus ladang usaha di seluruh muka bumi. Sejarah mengajarkan
banyak tentang kekuasaan modal.
Bangsa-bangsa merdeka diubah menjadi bangsa kuli,
orang-orang lugu dibentuk menjadi komprador, pengangguran diubah menjadi
pembunuh bayaran dengan sergam dan tanda pangkat, rimba-belantara diretas-retas
dengan infrastrktur, kota-kota, pelabuhan, muncul dari tiada atas perintahnya,
tenaga kerja disedotnya dari mana saja, sampai-sampai dari dusun yang tak
pernah terdengar jelas namanya. Pemerintah dari sekian banyak negara dibuatnya
hanya jadi pelaksana kemauannya, dan bila sudah tak dihekendakinya,
dijatuhkannya. Itu cerita yang membosankan, yang menjadi bagian pengalaman
banyak bangsa di dunia, dan pengalaman setiap orang yang memikul akibatnya
bersama-sama, baik yang mendapatkan keuntungan darinya mau pun yang dirugikan
olehnya. Dan setiap pengalaman bagi seorang pengarang menjadi fondasi bagi
proses kreativitasnya, tak perduli pengalaman itu indrawi atau pun batiniah.
Apakah Indonesia dengan kemerdekaannya akan
menyesuaikan diri dengan kekuasaan modal yang tidak berkebangsaan itu atau akan
menentangnya seperti selama itu dibuktikan dengan revolusi 1945?
Sudah sejak tahun-tahun revolusi, Soekarno menolak
tawaran monopoli dari Ford dengan imbalan pembangunan jalan raya
trans-Sumatra-Jawa. Dalam perkembangan semasa kemerdekaan nasional, dia juga yang
mengenyampingkan alternatif penyesuaian: blok kapitalis dan blok komunis. Bukan
suatu kebetulan bila dia jugalah yang melahirkan istilah Dunia Ketiga. Apa pun
keberatan orang tentang sejumlah kelemahannya, jelas ia mempunyai faktor intern
keindonesiaan prima. Ia tak menghendaki negaranya menjadi hemesphere blok mana
pun. Dan Indonesia semakin terperosok dalam kesulitan ekonomi. Dalam kesulitan
ekonomi luar biasa ini aku memberikan dukunganku, dan dengan sendirinya ikut
mendapatkan bagian dari kesulitan tersebut. Dukungan juga datang dari hampir semua
organisasi dan gerakan, termasuk gerakan yang mendukung untuk menjatuhkan
Soekarno. Dalam masa ini LEKRA mengangkat aku jadi anggota plenonya. Orang
bilang organisasi ini adalah organisasi mantel PKI.
Sampai sekarang pun aku masih heran, mengapa apa
saja yang bersangkutan dengan PKI dicap sebagai sesuatu yang jahat. Yang jelas
partai ini kontestan pemilihanumum yang tampil sebagai salah satu pemenang,
bukan partai bandit tanpa idealisme. Artinya partai itu bukan kekuatan yang sudah
berkuasa dan menerapkan sistim kekuasaannya. Perlu kukedepankan soal kekuasaan,
karena yang ini cenderung membuat orang jadi bandit, apalagi kalau puluhan
tahun dipegangnya, dan tanpa pernah berkenalan dengan semangat Verlichting, Aufklarung,masih
terkungkung dalam peradaban dan budaya 'kampung'.
Puluhan tahun sebagai warganegara Indonesia dengan
tanah airnyayang berupa jajaran gunungapi dan penduduknya yang berupa sebaran
gungapi lainnya, setiap waktu bisa meletus tanpa pemberitahuan, membuat
bawahsadar penuh sesak dengan pengalaman indrawi dan batini.
Dalam penahanan selama 14 tahun 2 bulan, terampas
dari semua dan segala, semua pengalaman yang telah lalu aku renungkan dari
bawah larsa militer yang menginjakku. Semua menjadi
lebih jelas,
bahwa semua itu hanya pengalaman alamiah belaka,
suatu lingkaran setan histori dari peradaban dan budaya 'kampung' tanpa reorientasi
ke dalam atau pun ke luar. Sedang kelahiran apa pun
yang dinamakan Orde Baru ini tidak lain dari
ulangan kejadian
sejarah pada dasawarsa kedua abad 13, dimythoskan
oleh pujangga Jawa beberapa abad kemudian sebagai legenda Gandring.
Seorang pemuda, digambarkan sebagai berandalan,
memesan keris pada seorang empu keris bernama Gandring. Pemesan itu, Ken Arok, membunuhnya
sebelum keris itu usai. Tentu saja semua dilakukan dengan rahasia. Senjata tajam itu secara
rahasia pula
dipinjamkan pada Kebo Ijo, yang ke mana-mana pamer
dengan keris pinjaman, dan bertingkah seakan miliknya sendiri. Pada suatu kesempatan
Ken Arok mencurinya dan dengannya ia membunuh
penguasa Singasari. Kebo Ijo dihukum mati dan Ken
Arok menggantikan Tunggul Ametung sebagai penguasa. Empu Gandring, sebelum
menghembuskan nafas penghabisan, sempat menyatakan
kutukan: "Arok, anak dan cucunya, 7 raja, akan
terbunuh oleh
keris itu!" Memang sejarah membuktikan
beberapa raja terbunuh,
tidak sampai 7, namun pola dari kedua dasawarsa
abad 13 tersebut terjadi dan terjadi tanpa tercatat, dalam berbagai varian. Dan
dalam abad 20 ini, masih tetap di Jawa, Empu Gandring tersebut menitis dalam
di;-Soekarno, sang pandai Pancasila.
Anak desa Pangkur ini (sampai abad 20 di Jawa hanya
ada satu desa dengan nama ini, Kecamatan Pangkur, Kabupaten Ngawi) tidak pernah
diberitakan mendapatkan pendidikan standard semasanya.
Yang diberitakan adalah ia putera Brahma, Ciwa, dan
Wisnu sekaligus. Yang jelas ia anak cerdik, pemberani, dan pandai.
Mungkin karena pendidikan standardnya minim, boleh
jadi malah nihil, dengan lindungan para dewa utama, dengan kekuasaan ditangan,
telah menutup babak Hindu Jawa dan mengawali babak Jawa
Hindu. Candi makam terbesar di Jawa Timur,
Kagenengan, adalah candi makamnya, sekalipun sekarang sudah tak ada sosok
bentuknya lagi.
Ken Arok abad ke 13 datang padaku waktu aku dalam
pengasingan di Buru. Tanpa Buru barang tentu ia takkan temukan aku, dan dia akan
tinggal terkerangkeng dalam legenda. Para dewa utama abad
13 itu masih tetap dewa utama abad 20, penguasa
modal, teknologi, informasi. Hanya, waktu kutulis kisah Arok dan Dedes dalam
pengasingan di Buru, penampilannya aku persolek dengan tafsiran baru agar dapat
keluar dari kerangkeng legenda.
Tentu saja akan ada yang tidak setuju dengan
pikiran ini. Dan memang aku tak mengharapkan persetujuan siapa pun. Sebaliknya siapa
pun dapat pikirannya masing-masing, apalagi kalau yang bersangkutan tidak
pernah diperlakukan seperti diriku, khususnya 10 tahun dibuang dan kerjapaksa
di Buru. Seorang sesama tapol--sudah tak teringat olehku siapa namanya—mengajukan
pertanyaan: apakah siklus Arok tidak bisa digantikan dengan gambaran lain?
Bisa, dan setiap orang bisa membuatnya untuk dirinya sendiri bila punya
perhatian, kepentingan dan kemauan, asal tidak melupakan pola peradaban dan
budaya 'kampung' yang itu-itu juga, lingkaran setan, yang hanya bisa diputuskan
oleh reevaluasi atasnya, Verlichting, Aufklarung, yang menghasilkan kreativitas
yang menjebol plafonnya sendiri.
Tentu saja Orde Baru akan menanggapi dengan
klisenya: itu pembelaan untuk PKI. Itu hak Orde Baru untuk membela diri. Yang jelas,
pada masanya partai ini sah, legal, salah satu kontestan pemenang dalam pemilu,
dan karenanya juga mempunyai beberapa orang menteri dalam kabinet. Dia takkan
mengkup kemenangannya sendiri. Kup cenderung dilakukan oleh partai yang kalah
dalam pemilu, bahkan tidak ikut pemilu.
Dr. J. Krom pernah menyatakan, bahwa petualangan
Arok sebelum berkuasa merupakan "schelman roman". Betul. Juga betul,
bahwa dalam konsep kekuasaan a la Jawa, dan mungkin juga pada bangsa dari
etnis-etnis lain di dunia dengan peradaban dan budaya 'kampung'nya, hanya
kekuasaan adikodrati saja yang memungkinkan sesuatu bisa terjadi, maka maraknya
seseorang di singgasana
kekuasaan hanya terjadi dengan ridlanya. Ini satu
lagi acuan ideal-ideal dan peradaban Jawa tentang kekuasaan. Kekuasaan adalah
ridla Tuhan dan kalau sudah dicapai, jadilah ia orang kedua sesudah Tuhan.
Dengan kekuasaan, semua kejahatan akan terbasuh, bahkan dibenarkan, halal.
Selanjutnya menyusul tulisan dan ucapan dari mereka yang ikut mendapatkan
keuntungan darinya.
Pernah didongengkan padaku semasa kecil, juga dari
bacaan, bahwa yang jahat akan dikalahkan oleh yang baik. Yang tidak pernah didongengkan:
yang baik dengan sendirinya juga akan dikalahkan oleh yang jahat. Suatu mata
rantai yang sambung-menyambung.
Kalau rangkaian itu tidak ada, tak tahu lagi orang
mana yang baik dan mana yang jahat. Suatu lingkaran setan yang tak habis-habisnya.
Sebagai pengarang tentu saja dilontarkan padaku
pertanyaan yang tidak kalah klisenya: apakah akan menulis tentang masa
sekarang?
Kan sudah banyak menulis tentang masa lewat yang
sudah jadi sejarah? Lagi pula yang sekarang toh juga sejarah, sejarah kontemporer?
Memang banyak dan akan semakin banyak sarjana
menerbitkan penelitiannya tentang berbagai aspek Orde Baru. Mereka banyak membantu
kita dalam memahami banyak hal. tetapi sebagai pribadi dan pengarang yang ikut
memikul beban perubahan, aku memandangnya dengan timbangan nasional. Era
Soekarno dengan Trisaktinya tak lain sebuah thesis. Orde Baru antithesis. Maka itu
bagiku memang belum bisa ditulis, suatu proses yang belum bisa ditulis secara
sastra, belum merupakan suatu keutuhan proses nasional, karena memang masih
menuju pada sinthesisnya.
Masih di Buru, seorang wartawan Indonesia yang
bertingkah-laku sebagai jaksa, mengajukan pertanyaan, apakah aku tidak menaruh dendam
terhadap Orde Baru? Ini adalah proses nasional, bukan urusan dendam pribadi.
Apa yang kami ceritakan cuma pencerminan tingkat peradaban dan budaya kita
sendiri. Kemajuan dan keanekaragaman teknologi, statistik pembangunan ataupun
hutang luar negeri, peningkatan infrastrukutr perhubungan dari warisan kolonial,
perusakan hutan dan paket banjir tahunan, semua menduduki tempat sebagai rias
antithesis dalam proses nasional.
Semasa kolonial, Belanda mengekspor pembunuh
bayaran berbedil, berseragam dan dengan pangkat-pangkat militer, untuk
menaklukkan dan mengendalikan luar Jawa dan Madura. Baru pada 1904, dan sporadis
sebelum itu, Belanda mengirimkan orang Jawa tanpa bedil ke luar Jawa-Madura,
tapi dengan pacul. Nampaknya kenal betul peta demografis dan geografis
Indonesia sehingga dapat menarik kesimpulan klasik yang bisa diambil
keuntungannya. Dan Belanda nampaknya juga tahu, para penggantinya tidak akan
dapat berbuat lain kecuali meneruskannya; bukan lagi menduduki tempat sebagai ria
thesis atau pun antithesis, nampaknya sebagai kodrat yang terbawa oleh
kelahiran Indonesia.
Satu ironi lagi: Indonesia, yang secara politis dan
administratif dipersatukan oleh Soekarno tanpa pertumpahan darah--sebuah
fenomena khusus dalam sejarah umat manusia—harus dipertahankan persatuan dan
kesatuannya dengan tradisi kolonial, yaitu dua macam export dari Jawa: pembunuh
bayaran berbedil dan orang Jawa berpacul. Dengan tradisi seperti itu, Indonesia
mempunyai cacat genetik yang parah. Semaoen--penasihat pribadi Presiden Soekarno--pernah
memberikan terapi untuk cacat genetik itu: pindahkan ibukota keluar dari Jawa,
ke Palangkaraya, di Kalimantan Tengah.
Tetapi Semaoen almarhum sudah tidak sempat mengalami
apa yang terjadi dengan hutan-hutan di Kalimantan sekarang. Mengunyah masalah
ini dalam sastra sudah pasti membutuhkan waktu lama dan belum tentu memuaskan
pengarang mau pun pembacanya. Dan kondisi peradaban dan budaya 'kampung' akan menempatkan
pengarangnya jadi sasaran kekuasaan yang merasa terancam kemapanannya. Tentu
saja yang dimaksud adalah para pengarang yang coba-coba membuat penilaian dan
penilaian kembali peradaban dan budaya 'kampung' yang telah memapankan
selapisan golongan atas dalam masyarakatnya. Juga para cendikiawan, juga kelompok-kelompok
kecil dalam masyarakat yang telah cerah, tetapi terutama adalah para
pengarangnya, karena profesinya tidak terikat pada sesuatu disiplin ilmu.
Kepeduliannya pada pengekspresian kesedaran dan
bawahsadarnya pribadi, para penguasa--artinya pembesar, bukan pemimpin--sibuk
membuat kordon penyelamat kemapanannya. Pengarang dengan demikian, sebagai pribadi
yang hanya punya dirinya sendiri, mendapatkan tekanan terberat. Namun apa pun
perlakuan yang ditimpakan padanya, pengalaman pribadinya adalah juga pengalaman
bangsanya, dan pengalaman bangsanya adalah juga pengalaman pribadinya.
Sebagian, kecil atau besar atau seluruhnya, akan
membuncah dalam tulisan-tulisannya dan akan kembali pada bangsanya dalam bentuk
kenyataan baru, kenyataan sastra. Hakikat fiksi karenanya adalah juga hakikat
sejarah.
Apabila sebagai pengarang harus kutangguhkan begitu
banyak ketidakadilan di tanahair sendiri, penganiayaan lahir-batin, perampasan
kebebasan dari penghidupan, hak dan milik, penghinaan dan tuduhan, bahkan juga
perampasan hak untuk membela diri melalui mass-media mau pun pengadilan, aku
hanya bisa mengangguk mengerti. Sayang sekali kekuasaan tak bisa merampas harga
diri, kebanggaan diri, dan segala sesuatu yang hidup dalam batin siapa pun.
Kekuatiran akan terganggunya kemapanan, yang sejak
masa kolonial dikenal sebagai "rust en orde" dan
diindonesiamerdekakan menjadi "keamanan dan ketertiban" tidak jarang
melahirkan tuduhan-tuduhan menggelikan.
Baik sebelum mau pun selama di Buru dakwaan yang
terus-menerus disemburkan Orde Baru adalah: hendak mengubah Pancasila da Undang-Undang
Dasar 45, tanpa pernah mengajukan pembuktian.
Biasanya diucapkan di depan appel atau sewaktu
santiaji alias indoktrinasi. Salah satu sila dari Pancasila adalah Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab. Untuk ukuran kemanusiaan, tanpa tambahan
adil dan beradab pun, perlakuan mereka terhadap
kami cukup memuakkan, bahkan menjijikkan. Dakwaan merubah UUD? Pernah sekali
waktu seorang perwira aku dengar bersumbar: Timor Timur?
Uh, dalam dua hari bisa kami atasi. Dan benar,
Timor Timur kemudian dicaplok, bagian timur P. Timor yang tak pernah diklaim oleh
para pendiri Republik yang menyusun UUD 45 itu. Dari dua
dakwaan itu tanpa ragu membuat aku membikin
kesimpulan: apa yang
dituduhkan itu justru apa yang mereka lakukan atau
ingin
lakukan. Karena sejumlah kejadian cocok dengan
kesimpulan,
kadang aku cenderung untuk menilainya sebagai
rumus. Tapi
kemudian kuperlunak menjadi: apa yang terucapkan
sebagai X
adalah minus X.
Dalam percakapan pribadi beberapa pejabat
menyayangkan keanggotaanku pada LEKRA. Jadi menurut gambaran orde Baru, LEKRA adalah
organisasi kejahatan. Sampai sekarang pun aku tak pernah menyesal menerima
pengangkatan sebagai anggota pleno LEKRA, kemudian diangkat jadi wakil ketua
Lembaga Sastra, dan salah seorang pendiri Akedemi Multatuli, semua disponsori
LEKRA.
Malahan aku bangga mendapat kehormatan sebesar itu,
yang takkan diperoleh oleh setiap orang, dan tidak mengurangi kebanggaanku sekiranya
benar ia organisasi mantel PKI. Semua itu sudah lewat, tetapi belum menjadi
sejarah, karena sebagai proses belum menjadi kebulatan sinthetik. Pada waktu
aku masih di Buru ternyata orang pertama LEKRA dan orang pertama Lembaga Sastra
sudah lama bebas. Sekiranya aku bukan pengarang,
boleh jadi
semua perlakuan yang menjijikkan itu tidak akan aku
alami.
Tetapi pada segi lain, semua yang aku alami
merupakan bagian dari fondasi kepengaranganku untuk masa-masa mendatang, sekiranya
umur masih memungkinkan dan kesehatan fisik mau pun
mental masih bisa diandalkan.
X minus X memang membantu aku dalam memahami Orde
Baru, yang mereka anggap akan abadi dalam kebaruannya. Sebagai tapol angkatan
terakhir yang akan meninggalkan P. Buru, kami masih
harus melakukan korve membuat dua macam surat
pernyataan sekian salinan, menyatakan tidak akan menyebarkan Marxisme,
Leninisme, Komunisme, momok yang mereka bikin-bikin sendiri untuk menjadi ketakutannya
sendiri. Surat lain adalah pernyataan, bahwa sebagai tapol kami telah
diperlakukan secara wajar di P. Buru.
Secara hukum, surat-surat korve tersebut memang
surat dagelan, tetapi dengannya kami bisa membeli nomor untuk embarkasi ke kapal
yang berangkat ke Jawa. Betapa indahnya sekiranya surat-surat korve itu
tersimpan baik dalam arsif negara.
Kertas-kertas itu akan jadi bagian sejarah betapa
sekian manusia Indonesia telah membuat topeng dan jubah malaikat kesucian untuk
para penguasa dan kekuasaannya. Seorang pemimpin tidak
membutuhkan jubah dan topeng.
Di dermaga pelabuhan Namlea, di mana kapal
"Tanjungpandan" sudah siap mengangkut, 500 orang angkatan terakhir
yang akan diberangkatkan pulang ke Jawa sudah meninggalkan daratan.
Tinggal beberapa belas di antara kami, termasuk
aku. Letkol
Lewirisa komandan kamp terakhir datang padaku dan
bilang tanpa ditanya tanpa diharapkan: "Pram, pelayaran akan langsung ke Jakarta."
Itu berarti X minus X, kami, rombongan beberapa belas
orang tidak menuju ke Jakarta. Baru kami boleh naik
ke kapal dan dikucilkan dari yang lain-lain.
Kamp kerja paksa yang kami tinggalkan semula
dinamai Tefaat,
tempat pemanfaatan tenaga kerja kami, sisa hidup
kami, dengan
harus membiayai hidup, perumahan, jaringan jalanan
ekonomi dan
lingkungan, membuat sawah dan ladang dari padang
ilalang dan hutan, dan masih harus memberi makan para serdadu yang menjaga kami,
masih ditambah dengan pembunuhan terhadap sejumlah dari kami. Menurut korve
tulis, itu harus dinyatakan wajar. Juga mereka yang tewas dalam kerjapaksa
untuk mendapatkan uang. Juga pembayaran pajak oleh tapol yang melakukan
pertukangan dan kerajinan tangan. Untuk siapa dan kepada siapa tidak jelas.
Menurut korve tulis ini juga harus dinyatakan
wajar. Dan bangunan-bangunan, puluhan banyaknya, besar dan kecil, dengan peralatan
rumahtangga, semua dibangun dan dibiayai oleh tapol,
juga harus dianggap wajar bila dijual pada instansi
lain tanpa ganti rugi pada tapol. Juga perampasan begitu saja sapi-sapinya.
Dan semua ini memang sedang menuju pada sejarah,
tapi belum sejarah. Masih panjang lagi daftarnya. Semua kebanditan, besar dan
kecil akan terpulang pada bangsa ini, bangsaku, yang
melahirkan suatu kekuasaan macam ini. Bukan
maksudku mendirikan dunia utopi dengan bangsa ini, menduduki bagian dunia
dengan tanpa cacat--bangsa-bangsa lain pun punya segi gelapnya--yang
aku maksudkan adalah bangsa ini belum melahirkan
cercah kecerahan, Verlichting, Aufklarung. Para brahmin tetap masih menduduki
tempat sebagai asesori kekuasaan kasta satria, yang
hidup dari dan untuk kekuasaan semata, karena
memang tidak produktif apalagi kreatif, seperti sebelum datangnya kolonialisme.
Tidak mengherankan bila ribuan naskah isinya
berputar sekitar ke"hebat"an para satria
dalam membunuh yang
dianggap lawannya, dan ribuan lagi naskah yang
isinya resep tentang hidup bahagia (dalam alam kehidupan sumpek) dan nasihat-nasihat
berkelakuan indah dan baik (dalam alam kehidupan
banditisme), tentang alam gaib dan teknik
berhubungan dengannya
(dalam suasana belum lagi mengenal lingkungan
sendiri).
Apa yang dikatakan letkol Lewerisa tepat minus X.
Kami beberapa belas orang sebelum kapal sampai ke Jakarta, diturunkan di Tanjungperak,
Surabaya, untuk disimpan di pulau penjara Nusa
Kambangan, di selatan Jawa. Hanya karena jasa pers internasional,
yang meributkannya, akhirnya kami sampai ke Jakarta, memasuki penjara baru yang
lebih longgar. Dalam tahanan
kota sejak akhir 1979 sampai 1991, tanpa suatu keputusan
pengadilan mana pun. Banyak terjadi korban tuduhan baru, yang, sebagai
pengarang tentu saja memperkaya materi yang harus
diendapkan. Setidak-tidaknya, membuat sejarah hidup
pengarang
menjadi semakin panjang.
Dalam tahanan kota dengan kebebasan nisbiah dapat
kuikuti koran dalam dan luar negeri. Tuduhan ternyata datang berantai dari Indonesia
sendiri sampai dari bagian-bagian Asia Timur dan
Eropa: semasa Soekarno aku melarang terbit sejumlah
buku sesama
pengarang. Aku menteror para pengarang Indonesia
yang tidak sepikiran dengan artikelku "Yang Harus Dibabat dan Harus Dibangun".
Bahkan seorang tokoh sastra terkemuka, memberikan
kuliah pada suatu universitas negeri, menyatakan
telah dipecat karena ulahku. Kebetulan tokoh tersebut, seperti halnya sejumlah
yang lain, semasa revolusi justru menjadi pejabat
pada dinas
balatentara pendudukan Belanda, sebagian lain,
karena umurnya,
barangtentu tidak menyertai revolusi.
Pecat-memecat dari sesuatu jabatan bukan urusanku,
dan memang tidak pernah. Tuduhan-tuduhan itu hanya tabir asap terhadap apa yang
mereka sendiri telah dan ingin lakukan. Pada hari-hari awal
peristiwa 1965 merekalah yang menteror dan
menghancurkan seluruh
kertasku, termasuk naskah Panggil Aku Kartini Saja
jilid III dan IV, Kumpulan Karya Kartini, Wanita Sebelum Kartini, Kumpulan Cerpen
Bung Karno, 2 jilid terakhir trilogi Gadis Pantai, Sebuah
Studi tentang Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi,
Studi Percobaan tentang Sejarah Bahasa Indonesia.
Sedang direktur Balai Pustaka menjawab atas
permintaaanku untuk menarik kembali 2 jilid sastra
Pra-Indonesia, mendapat jawaban: telah dibakar atas
permintaan atasan.
Seorang tokoh sastra penting yang semasa Orla
menempatkan diriku sebagai lawan, pernah menyampaikan nama-nama tokoh sastra penting
dewasa ini yang ikut menyerbu ke rumahku pada 1965 tersebut. Malahan sebelum
menyerbu telah mendapat pesan dari tokoh sastra generasi lebih tua agar
mengambilkan naskah Ensiklopedi Sastra Indonesia yang sedang aku susun.
Pada awal tahun 80-an Beb Vuyk di Belanda
melancarkan tuduhan, LEKRA mengirimkan 'knokploeg' untuk menghajar
lawan-lawannya. Di antara kurbannya adalah musikolog Bernard Ijzerdraat. Di
Belanda isyu tentang pengiriman knokploeg nampaknya tetap hidup sampai menjelang
akhir 1991. Waktu terakhir kali Beb Vuyk datang ke Indonesia dan menemui
musikolog tersebut, ia mendapat sangkalan
darinya. Namun ia tak pernah merevisi tuduhannya.
Sebaliknya beberapa anggota LEKRA telah mereka bunuh, di antaranya adalah pematung
nasional Trubus dalam perjalanan ke Jakarta memenuhi panggilan Presiden
Soekarno. Sampai sekarang tidak ada yang
pernah mengaku bertanggungjawab, juga atas
pembunuhan ratusan ribu saudaranya sendiri.
Memang beda dari apa yang dinamai kaum teroris di
Utara, begitu beraksi begitu menyatakan dirinya yang bertanggungjawab, mereka
tidak memerlukan topeng atau pun jubah
malaikat. Jangankan pembunuhan massal, pencurian sekecil-kecilnya
adalah kejahatan, dan semua itu bisa terjadi hanya karena peradaban dan budaya
'kampung', peradaban dan
budaya masyarakat bangsa-bangsa yang terasing,
merasa tidak aman dan terancam karena ulah sendiri, dan topeng dan jubah
kesucian menjadi seragam parade yang mengasyikkan untuk dipanggungkan dalam
drama-komik.
Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya tugas mengelola
semua materi yang belum selesai itu dalam suatu karya sastra. Bukan mencerminkan
atau memantulkan kejadian-kejadian, karena sastra
tidak bertugas memotret, tetapi mengubah
kenyataan-kenyataan
hulu menjadi kenyataan sastrawi, yang membawa
pembacanya lebih
maju daripada yang mapan.
Apakah sikap demikian sikap subversif, atau
kriminal? Itu pun terserah pada tuan-tuan yang berkuasa, yang mempunyai
serdadu, polisi, dan perangkat administratif. Tindakannya tak lain dari
apa yang tingkat peradaban budayanya bisa berikan.
Sekiranya
lebih maju dari takaran peradaban dan budayanya,
semoga
demikian, boleh jadi itu suatu isyarat positif,
kutukan 7 turunan Gandring tidak akan berlaku sampai 2 generasi, karena babak
sinthesis sedang di ambang pintu. Yang jelas, semua yang
telah terjadi akan abadi dalam ingatan bangsa ini
dan umat manusia sepanjang abad, tak peduli orang suka atau tidak. Para pengarang
akan menghidupkannya lebih jelas dalam karya-karyanya.
Para pembunuh dan terbunuh akan menjadi abadi di
dalamnya
daripada sebagai pelaku sejarah saja. Topeng dan
jubah suci akan
berserakan.
Sekali lagi, maaf.
Jakarta, November 1991.
0 komentar :
Posting Komentar