Metafisika Dalam pandangan Hidup Jawa

RENUNGAN filsafat Nusantara Indonesia terutama filsafat Jawa konsepsi mengenai Ada bukanlah diperoleh melalui penalaran rasio, melainkan melalui pengalaman atau penghayatan batin inner experience. Filsafat Jawa menurut Romo Zoet Mulder, yaitu: “pengetahuan (filsafat) yang merupakan sarana untuk mencapai kesempurnaan” . Dapatlah dirumusakan bahwa di Jawa filsafat berarti: cinta kesempurnaan (The love of perfection ) dengan memakai analogi philosophia Yunani.
Jika kita memakai bahasa Jawa, Maka filsafat berarti: ngudi kasampurnaan, yaitu berusaha untuk mencapai kesempurnaan. Sebaliknya philosopia Yunani dibaca dengan bahasa Jawa menjadi: ngudi kawicaksanan.[1]
Pencarian manusia untuk mencapai kasampurnan terkait kesadaran akan eksistensinya di dunia. Manusia mencurahkan seluruh eksistensinya, baik jasmani maupun rohani, untuk mencapai tujuan itu. Usaha itu dilakukan dengan sebuah pertanyaan-pertanyaan yang menggelisahkan dengan menanyakan siapakah diri kita sebenarnya ?, Darimana asalnya ?, dan kemana akhirnya ?, kegelisahan itu bukan hanya seputar pada pertanyaan-pertanyaan eksistensi dirinya tetapi terus berlanjut dan tanpa batas akan hakekat segala sesuatu yang ada di alam semesta. Ungkapan tentang ada ( Ada alam semesta, Tuhan, Manusia) merupakan hasil pemikiran, pengalaman dan penghayatan manusia, yang termasuk dalam kajian metafisika.
  Ciri-ciri dasarnya adalah :
  1. Tuhan adalah ada semesta atau ada mutlak
  2. Alam semesta merupakan pengejawantahan Tuhan
  3. Alam semesta dan manusia merupakan satu kesatuan berupa makrokosmos dan mikrokosmos.
                        Pemikiran filsafat di atas bertolak dari eksistensi manusia dan alam dunia sebagai wujud nyata yang dapat ditangkap dengan panca indera, yang pada akhirnya melalui sebuah pemikiran dan penghayatan yang lebih mendalam sampai pada sebuah hakikat yaitu dari mana dan kemana semua wujud di alam semesta ini berawal dan berakhir. Pencarian manusia ini akan berakhir hanya dengan wikan, weruh, atau dalam istilah filsafat jawa mengerti akan sangkan paraning dumadi yaitu bahwa manusia dan segala yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan atau berasal dari sang maha pencipta, Tuhan yang maha esa dan semuanya akan kembali ke asal.[2]
                        Dalam ungkapan jawa ada istilah urip iki prasasat mung mampir ngombe yang jika benar-benar dipahami istilah ini mengandung falsafah yang amat dalam berkaitan dengan kehidupan manusia di dunia ini yang amat singkat, hingga dibutuhkan bekal kehidupan selanjutnya yang lebih abadi.[3]
                        Dalam serat sasangka jati terdapat dalam hasta sila  atau delapan sikap dasar yang terdiri dari dua pedoman yakni tri-sila dan panca-sila, sebagai pedoman pokok yang harus dilaksanakan oleh manusia setiap hari agar selamat di dunia dan akhirat yakni tiga hal yang harus di tuju oleh Budi dan cipta manusia di dalam menyembah Tuhan yaitu: Eling atau sadar, percaya dan mituhu.
a.           Eling atau sadar ialah sadar untuk selalu berbakti kepada Tuhan yang maha tunggal.[4]
b.          Percaya ialah terhadap sukma sejati atau utusannya yang disebut guru sejati.
c.       Mituhu adalah setia dan selalu menjalankan perintahnya yang disampaikan melalui utusannya.
                        Sebelum manusia dapat melaksanakan trisila tersebut diatas, ia harus berusaha untuk memiliki watak dan tingkah laku yang terpuji yang di sebut panca-sila yaitu rila atau rela, nrima atau menerima nasib yang di terimanya, temen atau setia pada janji, sabar atau lapang dada dan memiliki budi luhur yang baik.
                                    Kelima dasar bertindak tersebut di atas merupakan sikap hidup yang harus selalu dipegang teguh oleh murid dan para guru pangestu yang merupakan salah satu aliran kebatinan yang ada dan tersebar di jawa. Sikap hidup yang terurai di atas, dapat dikatakan telah menjadi pedoman umum dan merupakan etika sosial dan bahkan telah menjadi ukuran moral masyarakat jawa.[5]


                [1] Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka,1986), hlm.14.
                [2] Ibid., hlm. 22.

                [3] Sujamto, Pandangan hidup jawa, (Semarang: Dahara Prize, 2000), hlm. 54.
                [4] Menurut R. Soenarto pediri ajaran pangestu yang dimaksud dengan Tuhan yang maha tunggal adalah kesaruan dari tiga sifat yaitu: sukma kawekas Allah ta’ala, sukma sejati atau Rasulullah dan sukma ayu roh suci atau jiwa manuisa yang sejati, ketiga-tiganya disebut tri purusa. 
[5] Budiono Herusatoto, Simbolisme dan Budaya Jawa, (Yogyakarta: Hanindita, 1985), hlm. 79.
Share on Google Plus

About Unknown

RIC Karya
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar