Oleh: Satria Pena (Stefanus Agus)
(Membacakan Puisi di RRI Semarang bersama Kumandang Sastra)
ƘΆМU DAN AKU
Wajahmu segar namun tidak ada binar, Hanya gumpalan lemak yanƍ beranak pinak
Menggembol bakteri moral karena seringnya diobral lewat verbal
Aku memang kering kerontang,
Yang selalu mencari isi perut dengan susah hingga Yang berhembus hanya asap kentut yang mendesah.
Lalu apatah kamu dan aku?
Si kaya dan si papa yang belum tahu jawab soal surga dan neraka. Ƙamu dan aku akan mewarisi yang mana?
Wajahmu segar namun tidak ada binar, Hanya gumpalan lemak yanƍ beranak pinak
Menggembol bakteri moral karena seringnya diobral lewat verbal
Aku memang kering kerontang,
Yang selalu mencari isi perut dengan susah hingga Yang berhembus hanya asap kentut yang mendesah.
Lalu apatah kamu dan aku?
Si kaya dan si papa yang belum tahu jawab soal surga dan neraka. Ƙamu dan aku akan mewarisi yang mana?
MOKSA
Mataku menerawang jauh kedalam tembus batas
batas dimana dulu mampu memasung harap
dan juga terikatnya beban yang memberatkan raga
kini terhempas lepas kedalam ruas tak terbatas
Kini ruh ku mengitari belantara, membebat luka
dimana setiap janji yang belum sempat terlunaskan
tatkala jasad masih bercampur raga
ada memar, luka dosa yang tersisakan dikala masa
Oh sang raga..., entah mengapa hidupmu sia-sia
tak adakah sepercik darma putih yang membasahi karmapala?
dikala masa ragamu penuh kharisma, terselubung tahta, dan wanita
kini moksa ragamu hanya tergambar rapuh dalam ngengat
Ruh ku menangisi .......
ingin rasanya bereinkarnasi, bangkit, dan benahi diri
Jika saja Hyang Widi memberi lilah dan membuka batas
Batas dimana ragaku tertelungkup dan mata tertutup
Dalam Moksa-ku, yang tersisa hanyalah serpihan sesal
meringkuk dalam gelap, ratap dan gertak nyeri menjalari jasad
sebab moksa menjadi tujuan akhir ragaku yang penat
hingga akhir waktu tiba, Sang Neraca adil datang menimbang karma.
Pancakarya, 09 Oktober 2013
Mataku menerawang jauh kedalam tembus batas
batas dimana dulu mampu memasung harap
dan juga terikatnya beban yang memberatkan raga
kini terhempas lepas kedalam ruas tak terbatas
Kini ruh ku mengitari belantara, membebat luka
dimana setiap janji yang belum sempat terlunaskan
tatkala jasad masih bercampur raga
ada memar, luka dosa yang tersisakan dikala masa
Oh sang raga..., entah mengapa hidupmu sia-sia
tak adakah sepercik darma putih yang membasahi karmapala?
dikala masa ragamu penuh kharisma, terselubung tahta, dan wanita
kini moksa ragamu hanya tergambar rapuh dalam ngengat
Ruh ku menangisi .......
ingin rasanya bereinkarnasi, bangkit, dan benahi diri
Jika saja Hyang Widi memberi lilah dan membuka batas
Batas dimana ragaku tertelungkup dan mata tertutup
Dalam Moksa-ku, yang tersisa hanyalah serpihan sesal
meringkuk dalam gelap, ratap dan gertak nyeri menjalari jasad
sebab moksa menjadi tujuan akhir ragaku yang penat
hingga akhir waktu tiba, Sang Neraca adil datang menimbang karma.
Pancakarya, 09 Oktober 2013
TIDURLAH VIOLINE KU
Ku letakkan violine kekasihku di peraduannya
seraya ku bisikkan kepadanya ....
pulaslah dalam istirahatmu malam ini untuk sementara
biarkan semua dawaimu merentang rendah
Kini peraduanmu kan ku jaga dalam hangat doa
dan biarlah sekali lagi ku hentarkan engkau tidur
rebah dalam gairah malam yang menggelanyut
kini lelapmu menuju hati damai di alam mimpi
Pancakarya, 06 Oktober 2013
Ku letakkan violine kekasihku di peraduannya
seraya ku bisikkan kepadanya ....
pulaslah dalam istirahatmu malam ini untuk sementara
biarkan semua dawaimu merentang rendah
Kini peraduanmu kan ku jaga dalam hangat doa
dan biarlah sekali lagi ku hentarkan engkau tidur
rebah dalam gairah malam yang menggelanyut
kini lelapmu menuju hati damai di alam mimpi
Pancakarya, 06 Oktober 2013
0 komentar :
Posting Komentar