Apakah Anak Anda Berbakat ?

Oleh: Sapto Widodo
(Pimpinan Mrantasi Kinarya Utama; bergerak dipembuatan material promotion dan printing)

Pertanyaan seperti judul di atas sering terlontar dari teman – teman ketika mengetahui penulis harus mengantar anak – anak les menggambar. Pertanyaan yang sama terlontar ketika penulis membelikan gitar untuk anak belajar memainkan alat musik demikian juga saat anak saya mengikuti klub renang dan pelatihan jurnalistik untuk anak – anak.

Apakah Anak Anda Berbakat ? Seringnya pertanyaan ini muncul melahirkan pertanyaan ikutan dari penulis sendiri, apakah anak yang belajar melukis harus berbakat melukis? Apakah anak yang belajar menggambar harus menjadi pelukis di kemudian hari? Apakah yang belajar jurnalistik besoknya harus menjadi wartawan ? Belajar memainkan alat musik harus menjadi musisi ? Apakah sesuatu yang sia – sia memberikan kursus pada bidang yang anaknya tidak berbakat ? Namun jawaban dari pertanyaan – pertanyaan itu pun penulis kembalikan pada tanggung jawab pokok sebagai orang tua, yaitu memberikan bekal pada anak mengarungi masa depannya.

Semua berangkat dari pemikiran yang sederhana, bahwa anak kita memerlukan kemampuan – kemampuan dasar dalam rangka mengarungi kehidupannya nanti. Kemampuan dasar itu adalah kualitas rasa, cipta dan karsa. Dengan berlatih menggambar, musik, menulis serta olah raga maka kualitas rasa, cipta dan karsa seorang anak diharapkan terus terasah. Dengan berlatih menggambar anak belajar untuk menuangkan imajinasi yang tumbuh dari perasaan dan nalarnya menjadi karya visual yang bisa dinikmati dan diapresiasi orang lain. Dengan menggambar pula anak belajar melakukan observasi, membangun perspektif dan sudut pandang terhadap sebuah objek.
Belajar musik menuntun anak memahami ritme, keselarasan, komposisi serta artikulasi. Dengan musik ide dan pemikian anak tertuang dalam media dengar yang bisa dinikmati dan menjadi bahan renungan orang lain. Begitupun dengan belajar menulis, ide dan gagasan akan terurai dengan lebih detil, runtut dan sangat penting adalah menjadi sesuatu yang bisa diwariskan dan dipelajari dengan lebih seksama di kemudian hari. Dengan didukung belajar struktur berpikir yang benar serta daya juang dan fisik yang sehat kita bisa berharap anak kita mempunyai bekal yang cukup.

Bahkan jikalau hal di atas tidak terwujud, setidaknya dengan sedikit ketrampilan menggambar, musik atau pun menulis anak kita mempunyai kunci – kunci silaturahim, yang membuat mereka punya modal untuk bergaul dengan orang di sekelilingnya. Lebih jauh meminjam metafora Kahlil Gibran dalam Sang Nabi, anak ibarat anak panah yang lepas dari busur, sebagai orang tua, yang bisa kita lakukan adalah menjadi busur yang kukuh serta tali busur yang liat sehingga ketika busur terentang dapat melontarkan anak panah sepenuh tenaga meluncur mencapai tujuannya.

Pelajaran dari Harun
Setelah sekian waktu berlalu pertanyaan Apakah Anak Anda Berbakat ? kembali menyeruak dalam pikiran penulis. Kemunculannya terselip di antara jargon sekolah – sekolah negeri sebagai Sekolah Unggulan, Sekolah Berstandar Nasional, Sekolah Berstandar Internasional dan berbagai persyaratan bagi anak yang ingin memasukinya, seperti jalur mandiri, khususnya jenjang SD dan SMP. Karena ingin atau pun sudah berstatus Unggulan, Berstandar Nasional dan Berstandar Internasional sekolah tiba – tiba punya kuasa khusus untuk memilih hanya calon siswa yang pintar atau kaya yang boleh menikmatinya. Pada kasus jalur khusus bahkan dengan jelas memperlihatkan kekayaan orang tua menjadi faktor dominan diterima atau tidaknya anak di sebuah sekolah negeri. Padahal sebagai sekolah negeri, sekolah dibiayai oleh negara yang diambil dari uang rakyat tidak peduli orang kaya atau miskin, bodoh maupun pintar. Sekolah – sekolah tersebut mendapatkan dana serta fasilitas dari negara yang lebih baik dibanding sekolah – sekolah pada umumnya. Siswa – siswa pintar anak – anak orang kaya mendapatkan bantuan dana dan fasilitas yang lebih baik dibandingkan mereka, siswa biasa saja dan ekonomi pas – pasan apalagi bagi siswa yang dianggap bodoh dan miskin.

Di saat semboyan Wajib Belajar Sembilan Tahun masih berdengung dalam keseharian kita, seleksi masuk sekolah kadang terasa telah bergeser dari pemetaan potensi anak menjadi stratifikasi dan diskriminasi. Semakin miskin dan dianggap bodoh maka justru akan semakin jauh dari akses pendidikan yang layak.

Mereka yang dianggap sudah pintar dan kaya justru diberikan dana dan fasilitas berlebih dalam menempuh pendidikan. Lantas bagaimana memaknai tujuan negara dalam Pembukaan UUD 1945 yang diantaranya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa kalau pendidikan justru hanya memanjakan mereka yang pintar dan berpunya ? Apakah karena dianggap bodoh dan miskin itu menjadikannya seseorang bukan bagian dari bangsa ini ? Atau mungkin bagian bangsa namun hanya menjadi beban bagi negara dan dianggap tidak ada sumbangsihnya dalam kehidupan bernegara ini ? Bukankah seharusnya mereka yang tidak bernasib baik harus dibantu oleh negara agar kehidupan mereka bisa setara dengan warga lain yang lebih mujur ?

Menyaksikan betapa orang tua setiap awal tahun ajaran baru berjuang mati-matian untuk mencarikan anak sekolah dan di sisi yang lain beberapa sekolah negeri memberlakukan syarat tingkat kecerdasan dan finasial tertentu, selintas terbersitlah sebuah nama, Harun. Siapakah Harun ? Bagi para pembaca buku Laskar Pelangi karya Andrea Hirata pasti tahu siapa Harun. Harun adalah malaikat penyelamat Perguruan Muhammadiyah dari penutupan karena dengan masuknya Harun perguruan tersebut genap menerima 10 orang murid. ”Bapak Guru, terimalah Harun, Pak, karena SLB hanya ada di Pulau Bangka, dan kami tak punya biaya untuk menyekolahkannya ke sana. Lagi pula lebih baik kutitipkan dia di sekolah ini daripada di rumah ia hanya mengejar – ngejar anak – anak ayamku....” (Laskar Pelangi, hal : 7).

Bagaimana seandainya Harun tidak mendaftar di sekolah itu ? Apakah Andrea Hirata akan menjadi sekarang ? Apakah kita akan mendapatkan bacaan sehebat buku Laskar Pelangi ? Yang pasti keberadaan Harun telah menyelamatkan perguruan itu dan menjadi unsur penting dalam relasi murid – murid hebat dengan guru luar biasa sekolah miskin itu dapat prestasinya dapat mengalahkan sekolah lain yang lebih kaya. Dari Harun kita bisa belajar bahwa justru orang – orang atau hal – hal yang kita anggap kecil, sepele dan tidak berarti dalam kesombongan nalar kita yang menyelamatkan dan membawa kehidupan lebih baik pada kita. (to be continued)
Share on Google Plus

About Unknown

RIC Karya
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar