Mengenal Suluk Sujinah dan Kandungan Nilai Akhlak



Suluk Sujinah

 

1. Suluk Sujinah Secara Umum
Suluk Sujinah merupakan jenis suluk yang pernah digemari oleh masyarakat. Hal itu, terbukti dengan jumlah naskah yang relatif cukup besar jika dibanding dengan naskah lain yang sejenis. Suluk ini cukup populer di kalangan masyarakat sebagai bukti S. Bambang Purnomo telah mendapatkan 13 buah naskah yang didapatkan di berbagai perpustakaan di Yogyakarta dan Jakarta.[1] Di antaranya adalah: di Museum Sono Budoyo dapat dijumpai 4 buah naskah, di perpustkaan Fakultas Sastra UGM dan perpustakan pribadi Zoetmulder masing-masing terdapat sebuah naskah sama, yaitu naskah yang telah diterbitkan oleh Penerbit Bratakesawa, Yogyakarta. Sedangkan di Surakarta, di museum Radya Pustaka maupun museum Mangkunegaran tidak dijumpai naskah ini. Sementara di Jakarta masih bisa dijumpai delapan buah naskah, masing-masing sebuah di perpustakaan Fakultas Sastra UI dan selebihnya tersimpan di perpustakaan Nasional.

Dalam penelitian ini peneliti, memfokuskan pada naskah yang berada di Museum Sono Budoyo, karena secara teknis lebih mudah bagi peneliti untuk menjangkaunya. Dalam hal ini peneliti memilih naskah dengan nomor  SB 149, yang merupakan salah satu naskah yang jelas dan lengkap tulisannya, serta relatif lebih mudah dibaca dibandingkan dengan naskah lain yang penulis temukan.

Di antara sejumlah naskah yang tersimpan di Perpustakan Sono Budoyo adalah naskah dengan nomor SB 149 berjudul Soeloek Soedjinah berjumlah 74 halaman. Naskah Soeloek Soedjinah yang akan digunakan dalam penelitian ini,  akan diuraikan dalam sub bab tersendiri. Selanjutnya naskah ini disebut naskah A. Kedua bernomor P.B.C 90 terdiri atas 50 halaman yang ditulis dengan huruf Jawa   dengan ukuran kecil, rapih dan terbaca. Namun, pada beberapa bagian terlihat agak rusak, yang selanjutnya disebut naskah B. Ketiga, naskah dengan nomor PBC 165 terdiri atas 32 halaman ditulis dengan huruf Jawa berukuran sedang, berwarna hitam, tidak rapih dan terdapat beberapa bagian yang sulit terbaca. Naskah ini disebut naskah C. Keempat, naskah dengan nomor PBA. 98 terdiri atas 321 halaman, ditulis dengan huruf Jawa berukuran sedang berwarna hitam, cukup jelas terbaca namun kurang begitu rapih, disebut naskah D.

Setelah membaca dari hasil penelitian sebelumya dan mengamati sendiri naskah-naskah yang tersebut di atas, maka tidak ada yang menunjukkan siapa pencipta asli dan kapan atau dimana penulisan mula-mula dilakukan, yang ada hanyalah penyalin dan waktu penyalinan. Selanjutnya,  di bawah ini lebih lengkap diuraikan  gambaran singkat yang berkaitan dengan nama penyalin dan waktu penyalinan.

Di antaranya adalah naskah dengan nomor SB 149 berjudul Soeloek Soedjinah berjumlah 74 halaman. Naskah Suluk ini  yang akan digunakan sebagai objek dalam penelitian ini, dan akan diuraikan dalam sub tersendiri. Kedua, naskah yang bernomor P.B.C 90, apabila dilihat dari tulisan dan kertasnya diperkirakan penyalinannya dilakukan pada sekitar tahun 1930-an. Ketiga, naskah dengan nomor PBC 165, disalin pada tanggal 11 September 1908, oleh Somasukarsa, Jayasuryan, Surakarta. Keempat, naskah dengan nomor PBA. 98 merupakan kumpulan beberapa teks suluk, antara lain: Suluk Sujinah,Suluk Syeh Malaya, dan Suluk Gatholoco. Nama penyalinnya adalah Ki Wangsaseja, pada 29 November 1903.

Suluk Sujinah Berdasarkan Naskah Nomor SB 149    

Asal Usul Naskah
Judul naskah Suluk ini adalah Soeloek Soedjinah yang tertulis dengan huruf Latin pada halaman pertama, dan pada halaman berikutnya tertulis juga “Punika Serat Sujinah”. Naskah Suluk Sujinah ini, yang diperoleh dari daftar buku koleksi naskah di Museum Sono Budaya Yogyakarta dengan nomor SB 149 yang terdiri dari 74 halaman.

Nama penyalin naskah ini adalah Nyai Haji Mushthafa asal Melangi, Sleman.  Hal ini sebagaimana tertera di dalam naskah ini, yang menyebutkan bahwa naskah ini ditulis sendiri oleh Nyai Haji  Mushthafa. Naskah Suluk Sujinah ini ditulis pada hari Sabtu Pon tanggal 23 Dzulqa’idah tahun 1328 Hijriyah atau 1906 M.[2]
Mengenai nama Sujinah dalam naskah ini diambil dari salah seorang  yang berperan sebagai isteri. Dalam naskah ini, Sujinah merupakan sosok isteri yang patuh kepada Allah, taat kepada suami, dan  juga hormat kepada kedua orang tua. Di samping itu, Sujinah juga merupakan seorang wanita yang gigih dalam mencari ilmu. Dengan memperhatikan isi cerita ini, diharapakan para pembaca dapat mengambil pelajaran, sehingga dapat memberikan contoh, tuntunan dan bimbingan kepada anak cucunya dan generasi mendatang. Hal ini seperti diuraikan oleh penyalin naskah ini bahwa “Punika Serat Sujinah lamun bisa ngerasa caritane punika mangka tetep dadi wong tuwa”

Fisik Naskah
Kertas yang dipakai untuk naskah ini adalah kertas duplikator tebal, sedang dari warna kertas yang sudah kuning menandakan bahwa naskah sudah cukup lama namun belum termasuk golongan naskah yang sudah tua sekali. Naskah dijilid dengan baik dan dibungkus kertas tebal warna hitam,berukuran 22 x 18 cm. Sedangkan teks berukuran 14 x  12,5 cm.

Halaman judul terdapat  pada halaman pertama. Di sini terdapat tulisan Latin yang berbunyi : Soeloek Soedjinah. Kemudian di bawah tulisan ini terdapat lingkaran  dan di dalamnya berisi tahun penulisan, yang berbunyi : “penget ingkang gadhah Serat Sujinah punika Nyahi Haji Mushthafa dalem dhusun Melangi 1328 Hijriyah”.  Halaman kedua terdapat tulisan dalam lingkaran (berbentuk oval) yang berbunyi :”punika Serat Sujinah lamun bisa ngerasa caritane mongka tetep dadi wong tuwa”.

Naskah ini secara keseluruhan terdiri dari 11 baris dalam tiap halamannya, kecuali pada halaman terakhir hanya terdiri dari dua baris. Namun dalam setiap penulisan tembang  tidak adanya halaman baru, penulisannya dilakukan secara terus menerus dan disambung di bawahnya. Sedangkan berkenaan dengan tanda baca yang digunakan adalah: tanda koma dilambangkan dengan tanda petik dibawah  (,,), sebagai tanda berakhirnya gatra (baris), dan tanda titik dilambangkan dengan huruf  ‘ain bersayap (    ), tanda ini sebagai lambang berakhirnya padha (bait), sedangkan tanda yang dipakai untuk mengakhiri pupuh adalah dua huruf  ‘ain bersayap  (         ), tanda ini dipakai juga dalam menulis judul tembang baru.

Naskah ini ditulis dengan menggunakan pena atau kalam (baca: pegesan Jw.), berwarna hitam. Naskah ini tidak diberi nomor urut oleh penyalinnya, namun penomoran  dilakukan sendiri oleh M. Jandra dalam translitrasinya. Sedangkan penjilidannya menggunakan benang dan cukup bagus.

Tulisan Naskah
Naskah ini ditulis mengunakan tulisan Arab Pegon[3] yang ditranslitrasi oleh M. Jandra ke dalam huruf  Latin. Disamping itu tulisan ditambah adanya kutipan dan serapan dari  kata-kata Arab dan istilah-istilah dari ajaran Islam,meskipun ada tulisan yang tidak tepat.

Bentuk Naskah  
Naskah Suluk Sujinah ini, berbentuk puisi Jawa dan ditulis dengan mengunakan tembang macapat[4] yang terdiri dari :
1.Pupuh I           Asmaradana                     berjumlah 35 bait.
2. Pupuh II        Sinom                               berjumlah 34 bait.
3. Pupuh III       Dhandhanggula                berjumlah 28 bait.
4. Pupuh IV       Kinanthi                           berjumlah 41 bait
5. Pupuh V        Mijil                                 berjumlah 49 bait
6. Pupuh VI      Asmaradana                      berjumlah 37 bait
7. Pupuh VII     Sinom                               berjumlah  20 bait

Sinopsis Suluk Sujinah

Seperti telah diuraikan pada bagian depan bahwa Suluk Sujinah ini terdiri dari tujuh pupuh. Dalam bab ini akan disampaikan sinopsis dari masing-masing pupuh.

Pupuh Asmaradana
Pada pupuh ini diterangkan tentang perbedaan antara perempuan dan laki-laki, kemudian diterangkan juga mengenai syahadat tujuh dan syahadat tiga. Adapun syahadat tujuh adalah, syahadat orang awam, yaitu asyhadu an la ila>ha illa Allah wa asyhadu anna Muh}ammadan rasu>lullah. Syaha>dah al-t}ari>qah, yaitu la ma’bu>dah illa Allah, syaha>dah haqi>qah, yaitu la mauju>da illa Allah, syaha>dah ma’rifah, yaitu la ya’rifu illa Allah. Kemudian syahadat batin, yaitu Allah-Allah jero ciptane, syahadat gaib, yaitu yahu-yahu, dan syaha>dah barzah, yaitu haq-haq. Sedangkan syahadat tiga adalah, syahadat muta’aww}}|ilah (permulaan) ialah syahadat lafal yang dikerjakan lahir batin, yaitu syahida ila>hu annahu la ilaha illa huwa, syaha>dah mutawassithah (pertengahan), lafalnya, syahi>dina> ‘ala anfusina>, dan syaha>dah muta’ah}h}irah (terakhir), lafalnya, la ila>ha illa huwa. Adapun syahadat yang dipergunakan sehari-hari disebut syahadat syari’ah, lafalnya la ila>ha illa Allah Muh}ammad Rasu>lullah.


Pupuh Sinom
Pupuh ini menjelaskan mengenai macam-macam nafsu dan penjelasannya, pertama nafsu amarah merupakan pintu keduniaan, kedua nafsu lawwa>mah adalah angin yang keluar dari hidung, ketiga nafsu suiyyah adalah air yang keluar dari dua jalan, dan keempat nafsu mut}mainnah adalah nafsu yang diperoleh dengan mengerjakan shalat. Di samping itu, dalam pupuh ini dijelaskan tentang makna dan hikmah jumlah rakaat shalat fardlu, dijelaskan pula 20 sifat wajib bagi Allah  yang diringkas menjadi empat sifat, yaitu nafsiyyah, salbiyyah, ma’a>ni>, dan ma’nawiyyah. Kemudian dijelaskan 20 sifat mustahil bagi Allah dan sifat jaiznya Allah.

Pupuh Dhandanggula
Diterangkan dalam pupuh ini berkaitan dengan sifat wajib, mustahil dan jaiznya para Rasul. Sifat wajibnya Rasul di antaranya, s}iddi>q, amanah, dan tabli>g, sifat mustahilnya kiz|b, khiya>nah, dan kitma>n, adapun sifat jaiz para Rasul seperti makan, minum, sakit dan sifat-sifat yang dimilikinya sebagai manusia. Namun, para Rasul tidak boleh memiliki cacat tubuh seperti bisu, tuli, buta, dan cacat-cacat tubuh lainnya. Pupuh ini juga menjelaskan mengenai hal-hal yang harus diketahui dan dilakukan bagi setiap mukmin baik laki-laki maupun perempuan, yaitu yang berkaitan dengan akhlak. Di samping itu dijelaskan pula tentang proses kejadian dan penciptaan Nabiyullah yang menerima zat Allah dan kemudian menjadi Nabi, karena Allah merupakan asal, arah dan tujuan dari segala nyawa. Adapun proes penciptaannya dimulai dari, mud}gah, ‘alaqah, asfah, atqah, jabarullah, ahmad, dan nukad gaib. 

Pupuh Kinanthi
Pada pupuh ini diterangkan tentang makna huruf Hijaiyah dan mengenai masalah shalat yang disertai makna tiap-tiap gerakan dalam shalat. Dalam shalat hati harus bersih dari sifat khawatir dan was-was, harus ikhlas karena Allah, diresapi dan dihayati lahir batin, baik dalam keadaan berdiri, rukuk maupun duduk. Niat merupakan pekerjaan hati, yaitu jangan lalai dari mengingat Allah. Takbir adalah harus eling dan khusu’ bahwa tidak ada yang ada kecuali zat Allah. Membaca fatih}ah adalah menciptakan munajat dengan Allah dalam shalat, langsung tanpa perantara untuk menuju kehadirat-Nya. Ruku’ adalah menunjukkan lemahnya manusia dihadapan Allah, harus mensyukuri terhadap anugerah-Nya, dan untuk senantiasa memohon ampun atas dosa yang telah dilakukan. Duduk takhiyat artinya mengharap petunjuk dan rahmat dari Allah, serta rahmat dan salam semoga tercurah kepada Nabi beserta keluarganya. Salam yang kekanan adalah ditujukan untuk para malaikat yang memberikan kemuliaan, salam yang kekiri untuk para malaikat katibin.

Pupuh Wiyos
Pupuh ini menjelaskan tentang hakikat roh id}afi>, yang disebut sebagai  a’yan tsabitah dan adam mumkin. Lebih lanjut dalam pupuh ini menjelaskan tentang wujud sejati yaitu Nur Muhammad.

Pupuh Asmaradana
Pada Pupuh ini merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai Nur Muhammad sebagai asal usul segala kejadian amal perbuatan dan ilmu pengetahuan, serta dengan perantara Nur ini seluruh alam ini dijadikan.

Pupuh Sinom
Pupuh ini menjelaskan tentang asma sejati adalah milik Allah yang bersatu dalam zat, sifat dan nama-Nya, dan  Allah tidak ada yang menyerupainnya.

Nilai-Nilai Akhlak dalam Suluk Sujinah
Kasusasteraan Islam kejawen merupakan suatu bentuk aktivitas tulis menulis para pujangga Jawa dalam mengungkapkan nilai-nilai dan pandangan hidup dalam lingkup budaya Jawa, yang telah berinteraksi dengan ajaran Islam. Dengan berkembangnya kasusasteraan Islam kejawen menjadikan Islam mudah diterima sebagai agama di kalangan masyarakat Jawa, meskipun sebelumnya sudah memiliki kepercayaan yang mapan. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra Islam kejawen ini adalah perpaduan antara unsur-unsur Islam ( akidah, ibadah dan akhlak) dengan budaya Jawa. Unsur-unsur inilah yang kemudian mewarnai isi dari  karya-karya kasusasteraan lslam kejawen, seperti Suluk Sujinah. Namun, dalam pembahasan ini hanya difokuskan pada  aspek akhlak yang akan diuraikan lebih lanjut. Di samping itu, nilai-nilai dalam suatu karya sastra merupakan sarana untuk memberikan berbagai petunjuk atau nasehat yang berkaitan dengan pegetahuan keislaman sehingga pesan yang dimaksud dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat.

Akhlak atau tingkah laku seseorang adalah sikap seseorang yang dimanifestasikan ke dalam perbuatan. Akhlak merupakan perangai manusia dalam diri.[5] Sedangkan dalam budaya Jawa akhlak sering disebut budi luhur yang sinonim dengan budi pekerti. Budi luhur diungkapkan pula dengan pekerti atau budi pekerti yang mulia. Orang berbudi luhur adalah orang yang berwatak  dan berbudi utama,berbudi tinggi dan mulia.[6]

Akhlak atau budi pekerti pada prinsipnya mengarah pada sikap dan perilaku yang terpuji, arif dan bijaksana selaras dengan pandangan hidup budayanya dan mengedepankan hakekat nilai kemanusiaan demi terciptanya ketertiban, ketenteraman dan kebahagiaan dalam masyarakat.[7] Hal ini telah di kenal dalam masyarakat Jawa, bahwa  setiap orang mempunyai tugas untuk menjaga keselarasan dalam menjalankan kewajiban sosial, yaitu hubungan individu dengan orang lain dan masyarakatnya.[8] Untuk itu, setiap orang harus mengetahui tentang budayanya, yaitu mengetahui tentang etika dan kewajiban di mana ia berada, dan setiap orang  harus mentaati dan menjalani kehidupan sesuai dengan tata tertib yang berlaku di masyarakat. Di antaranya adalah berbakti kepada orang-orang yang lebih tua dan tinggi, memperlakukan yang lebih rendah dengan tepa selira. Dengan demikian, diperlukan pengetahuan, penguasaan diri, dan pengendalian dorongan emosi dalam menjalankan tata tertib yang sudah berlaku dalam masyarakat.[9]

Di samping itu, dalam kehidupannya di dunia, manusia mempunyai tugas yang harus dijalaninya agar memperoleh keselamatan dan kemuliaan. Untuk itu, ia harus melakukan prinsip-prinsip perilaku kehidupan yang baik, agar ia dapat memperoleh kebahagiaan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat. Menurut pandangan dunia Jawa, manusia tidak diperkenankan untuk mengikat diri pada dunia, tetapi itu bukan berarti manusia harus menarik diri pada dunia. Akan tetapi, manusia hidup harus mempunyai kesanggupan untuk melepaskan diri dari hawa nafsu dan pamrihnya. Dengan demikian, dalam hidup ini manusia diharapkan dapat memenuhi tugasnya masing-masing dalam dunia demi terpeliharanya masyarakat.[10]  Uraian di atas terdapat dalam pupuh 1 Asmaradhana bait 15 :
Prenatane tiyang urip, pinten katahe pangeran, ingkang raka lon wuwuse,  aduh mirah garwaningwang, kelamun toya punika, tan ana wilanganipun, prenatane wong agesang.
“Peraturannya hidup manusia, berapa banyaknya pangeran, suaminya berkata dengan lemah lembut, aduh mirah istriku, yaitu bagaikan air, yang tidak berbilang jumlahnya, peraturannya orang hidup.”

Tugas manusia di dunia ini banyak sekali, sebagaimana uraian di atas dapat diibaratkan bahwa aturan-aturan hidup yang harus dijalani manusia seperti air yang tidak bebilang jumlahnya. Hal ini mengandung maksud, bahwa dalam menjalani kehidupan ini terdapat aturan atau tata nilai yang harus dipatuhi dan dijadikan pedoman bagi setiap tindakan manusia. Untuk itu, setiap langkah dan tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam masyarakatnya harus dapat mewujudkan ketenteraman dan keteraturan. Dalam hal ini, akhlak yang diperlukan sebagai dasar berlakunya prinsip-prinsip perilaku setiap individu dalam masyarakatnya, yang kemudian akan menciptakan keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat.

Selanjutnya, di bawah ini akan diuraikan mengenai nilai-nilai akhlak dalam Suluk Sujinah, yang dapat dikelompokkan menjadi :
1. Akhlak Secara Umum
Akhlak yang harus dimiliki oleh setiap manusia sebagai insan yang telah diciptakan Allah, adalah dapat memberikan kemaslahatan dan kemakmuran bagi alam semesta beserta isinya, seperti yang diuraikan dalam Suluk Sujinah. Adapun dalam mengarungi kehidupan di dunia ini, setiap manusia memerlukan petunjuk supaya manusia tidak tersesat dalam melangkah. Petunjuk berfungsi untuk mengarahkan manusia ke jalan yang diridoi Allah SWT., yaitu sira>t al-mustaqi>m (petunjuk jalan yang benar) dan setiap manusia perlu membekali diri dengan sifat-sifat yang utama. Adapun jenis akhlak atau budi pekerti yang secara umum harus dimiliki oleh setiap manusia mencakup: berkata yang benar, amanah, sabar, menuntut ilmu, dan membaca al-Qur’an. Keterangan lebih lanjut diuraikan di bawah ini :
a. Berkata yang Benar
Seorang mukmin harus berusaha berkata yang benar, walaupun akan membawa dampak negatif pada saat itu, namun berkata benar tersebut akan menyelamatkan dirinya di kemudian hari. Berkata yang benar terhadap dirinya sendiri dapat menunjukkan kejujuran seorang mukmin. Hal ini akan tercermin dalam perilakunya di tengah-tengah masyarakat, uraian ini terlihat dalam pupuh 3 Dhandanggula bait 13:
Apan hiya rerubane malih, ing munkirun wa nakirun ika, pan kudu mantep lakune, kang patuh lawan ilmu, sarta ikhlas amale kang becik, bersih ing (barang) karya, lan narimeng wuruk, dene ruba kang kaping pat, ing timbange barang tutur ala becik, pan kanthi ‘ilmuning sara’.

“Adapun beberapa perbuatan yang lain, yaitu perbuatan munkirun wa nakirun (berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran) tersebut, harus mantap kelakuannya, dan patuh dengan ilmu, serta ikhlas dalam beramal kebaikan, bersih dalam melakukan (suatu) perbuatan, dan dalam menerima nasihat, dan bab yang keempat, mempertimbangkan semua perkataan baik buruk, harus sesuai dengan ilmu sara’.”

Di samping itu seseorang dalam berbicara harus mempertimbangkan mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk dikatakan, hal ini terlihat dua baris terakhir di atas …ing timbange barang tutur ala becik, pan kanthi ‘ilmuning sara’. Apa yang dikatakan setidak-tidaknya terdapat nilai dan memberikan manfaat serta tidak bertentangan dengan adab kesopanan dan syari’at agama.
Di samping itu, dalam pergaulan baik dengan saudara, famili atau dengan masyarakat luas, harus senantiasa berhati-hati dalam berperilaku baik dengan ucapan maupun dengan tindakan terlebih lagi dengan perkataan, …ing sanak minter karuhe, tan ayun cidera ing wuwus.[11] Karena, terkadang kalau tidak berhati-hati segala ucapan dapat menyebabkan orang lain tersinggung. Untuk itu, sudah seharusnya setiap orang dapat menjaga ucapan yang tidak bermanfaat dan dari perkataan yang menyakitkan.

Selain yang telah disebutkan diatas, diantara etika pergaulan yang sudah berlaku dan mengakar dalam kehidupan masyarakat adalah, dalam berbicara harus mempertimbangkan mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk dikatakan, tidak boleh menggerutu, tidak diperbolehkan untuk menggunjing, dan janganlah berfikiran kotor. …marang kira-kira sakehe, lan aja gerundel ing wuwus, angrasani samining jalmi, aja manih ngagung ngena, ing pikir rusuh.[12] Karena perbuatan yang demikian akan menyakiti hati dan perasaan orang lain.

b. Amanah
Selanjutnya, agar mendapat petunjuk jalan yang lurus, setiap muslim harus senantiasa menjaga amanah yaitu memelihara dan tidak mengurangi barang yang merupakan titipan ( …lawan aja ngelongi melik, barang kang rupa titipan,iku nora patut).[13] Ketika pada saatnya barang tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya dalam bentuk yang utuh seperti semula. Seseorang dengan sengaja mengurangi barang titipan (tidak dapat menjaga amanah atau khianat), berarti ia telah melakukan perbuatan yang tidak pantas. Hal tersebut merupakan perbuatan yang dilarang dan tidak sesuai dengan syari’at. Karena ketika seseorang tidak dapat menjaga amanah, maka ia termasuk dalam golongan kaum munafik.

c. Sabar
Sabar berarti menahan dan mengekang diri dari memperturutkan hawa nafsu. Kesabaran dibutuhkan oleh setiap manusia ketika menghadapi problematika dalam hidup. Hal ini terdapat dalam pupuh 3 Dhandanggula bait 17:
Aja medot tobat tira mering widi, ngelakonono shabar kesukuran, ing sanak minter karuhe, tan ayun cidera ing wuwus, lawan manut karsaning laki, barang karsaning priya, kudu miturut,lan asih paqir kasihan,hiya iku rubane suwaga adidene ingang kaping sanga.

“Janganlah kamu berhenti bertobat kepada Allah, lakukanlah shabar kesyukuran, kepada saudara janganlah bersikap sewenang-wenang, selalu menghindari berkata yang menyakitkan, dan mengikuti suaminya, semua yang menjadi keinginan suami,harus diikuti,dan mengasihi fakir miskin yaitu (merupakan perbuatan) yang menjadi jalan kesurga,dan yang kesembilan.”

Sebagaiman terlihat pada baris pertama bait di atas …ngelakonono shabar kasukuran…, yang mengandung maksud bahwa dengan sabar berarti seorang mempunyai harapan dalam menghadapi keadaan yang sulit. Karena keadaan yang menimpa setiap orang merupakan sebuah ujian dan harus dijalani dengan sikap optimis, dengan tetap berprasangka baik kepada Allah. Karena Allah tidak akan membebani hambanya diluar kemampuannya.

d. Menuntut ilmu
Dalam melakukan perbuatan agar mempunyai nilai ibadah dihadapan Allah SWT, maka amal perbuatan tersebut perlu diiringi dan dilandasi ilmu. Untuk itulah manusia perlu memiliki komitmen yang kuat untuk selalu menggali dan mengembangkan ilmunya.  Manusia juga mempunyai kewajiban untuk menata kehidupan ini berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan, yaitu dengan memanfaatkan ilmu demi kepentingan masyarakat.

Ilmu harus dicapai dengan laku yang mantap yaitu …pan kudu mantep lakune, kang patuh lawan ilmu[14] dan dengan kesungguhan hati yang akhirnya akan menghasilkan kepuasan batin. Hal inilah yang dinamakan sebagai ilmu sejati  yaitu suatu ilmu yang dapat dicapai dengan laku dan hanya berguna apabila diterjemahkan dalam perilaku sehari-hari. Laku dalam menuntut ilmu dapat membawa penghayatan batin bagi kesempurnaan hidup untuk mempertinggi kemampuan dalam mengalahkan dan menguasai hawa nafsu.

e. Membaca Al-Qur’an
Kandungan yang terdapat di dalam al-Qur’an berupa aturan-aturan yang dapat dijadikan pedoman bagi umat manusia, berupa perintah dan larangan, agar hidup manusia berada direl kebenaran. Hal ini, dapat dilakukan dengan syarat bahwa seseorang harus membekali diri terlebih dahulu dengan pengetahuan yang memadai dan sikap membuka diri untuk memperoleh petunjuk-petunjuk suci al- Qur’an.[15] Untuk itu setiap muslim dianjurkan untuk senantiasa membaca al-Qur’an (amaca Qur’an kitabe),[16] yang harus disertai dengan mempelajari dan mengamalkan kandungan isinya.

2.Akhlak kepada Allah SWT. yang meliputi  :
a. Taqwa
Sebagai hamba Allah SWT., manusia mempunyai kewajiban untuk mengabdi dan menjalankan semua yang telah disyari’atkan kepada mereka.  Seorang muslim harus senantiasa mengingat Allah SWT dan mempercayainya dengan sepenuh keyakinan baik dengan ucapan, maupun dengan amal perbuatan, demikian disebutkan dalam Suluk Sujinah pupuh 3 Dhandanggula bait 14, bahwa setiap muslim harus … sarta eling ing pangeran…, lebih lengkapnya tertera dalam bait di bawah ini:
Sarta lawan asih padha jalmi, ana dene ruba kang kaping lima, marang kira-kira sakehe, lan aja gerundel ing wuwus, angrasani samining jalmi , aja manih ngagung ngena, ing pikir kang rusuh, sarta eling ing pangeran,aja pegat sidqah hira saben ari, kaping nem rerubaning yewang.

“Serta saling mengasihi dengan sesama, adapun bab yang kelima, untuk setiap perbuatan , dan janganlah gerundel dalam ucapannya, megunjing sesama teman, jangan terbersit sedikitpun untuk berkelakuan, dan berfikiran kotor, serta harus selalu mengingat Allah, janganlah kamu berhenti bersodakoh setiap hari, bab yang keenam (adalah bab untuk menuju) kepada Allah.”

Dalam hal ini ditegaskan juga dalam pupuh 4 Kinanthi bait 20
Aja ningali sira iku, marang osik ira yayi, duluha rahmat nugrahan, kang nyata katon sireki, lan aja na pikir liyan, sangking Allah krana iling.
“Janganlah kamu melihat, kepada (perbuatan yang tidak berguna) yayi, dahulukan rahmat dan anugerah, yang nyata terlihat tidak bisa diingkari, dan jangan ada fikiran lain, dari selain mengingat Allah.”
Mengingat Allah SWT mempunyai makna bagi seorang hamba untuk senantiasa mensyukuri nikmat yang telah dianugerahkan dan mengagumi alam semesta beserta isinya. Hal ini dapat dilakukan oleh seorang muslim dengan berzikir menggunakan kalimat-kalimat yang indah untuk memuji-Nya. Karena dengan demikian akan tumbuh ketundukan dan ketaatan seorang hamba kepada khaliknya. Hal ini pula, yang menjadikan seorang muslim tetap kuat dan tegar serta optimis dalam menjalani kehidupannya di dunia ini.
Ketika seorang muslim telah mengingat Allah, maka yang harus dikerjakan kemudian adalah menjalankan perintah dengan ketaatan dan penuh kesadaran, yaitu dengan beribadah. Hal ini dilakukan sebagai wujud syukur atas segala nikmat yang telah diterimanya dari Allah. Dalam beribadah seorang muslim dituntut pula untuk mengesakan Allah dan mengikuti ajaran yang dibawa oleh nabi dan rasul-Nya. Mengesakan Allah berarti tidak mencari Tuhan selain Allah, yang diikuti dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Adapun wujud ketaatan hamba dengan khaliknya diantaranya adalah dengan menjalankan shalat, seperti diungkapkan dalam pupuh 5 Wiyos bait 4
Sejatine lakune wong ngurip, shalat raning kang wong, kang katemu ing zahir batine, milanipun nabi kang linuwih, miwah para wali, ajrih nilar wektu.
“Sebenarnya perilaku hidup manusia, (yaitu) shalat yang harus dikerjakannya, yang bertemu di dalam lahir batinnya, makanya nabi memiliki kelebihan, demikian juga dengan wali, takut meninggalkan waktu.”
 Demikian juga dalam pupuh yang lain ditegaskan:
 Tan ningali ing yewang ngagung, shalataira kabih iki, ningali Allah kiwala, pangerasanira nerpati, aja mamang atenira, tan ana pangeran malih.[17]
“Dengan melihat Yang Maha Agung, shalatnya kalian kerjakan ini, hanya melihat Allah semata, dengan sepenuh hati, janganlah ada keraguan di dalam hatimu, tidak ada Tuhan lagi selain Allah.”

Sholat adalah suatu ibadah yang memiliki kedudukan yang tinggi apabila dibandingkan dengan ibadah-ibadah yang lain dalam ajaran Islam. Hal ini  dinyatakan dalam beberapa ayat al-Qur’an diantaranya adalah dalam surat An- Nisa’:103/4:103  yang artinya sebagai berikut:
“Kemudian apabila kamu telah merasa aman maka dirikanlah shalat,sesungguhnya shalat itu adalah fardlu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”[18]

 Shalat juga, merupakan penghubung antara hamba dengan Tuhannya, sebagai tanda bagi orang yang beriman, dan merupakan wujud nyata yang membuktikan keislaman seseorang. Seorang muslim disamping wajib mengerjakan shalat yang lima waktu, dianjurkan juga untuk mengerjakan shalat sunat, yaitu shalat tahajud, hajat, istikharah dan shalat sunat yang lain yang ada tuntunannya. Mengerjakan shalat sunat pada sepertiga malam sangat dianjurkan dan mengandung keutamaan bagi yang mengerjakannya, selain mendapatkan banyak pahala dari Allah SWT. Sebagaimana  uraian dalam Suluk Sujinah, … lan ja tinggal shalat ing wengi, kerana anut panutan, shalat sunat iku, pan kathah ganjaranira, lakanana aja pedhot saben wengi.[19]

Di samping itu, shalat yang dilaksanakan dengan sempurna dan penuh kekhusyukan dapat mencegah dari perbuatan yang keji dan mungkar. Maka, dalam Suluk Sujinah ini, masalah mengenai shalat diuraikan secara lengkap dan disertai dengan penjelasan yang mudah diterima dan dapat dipahami oleh masyarakat muslim Jawa. 

Ibadah-ibadah yang harus dikerjakan oleh seorang muslim disamping shalat adalah mengeluarkan zakat, infak dan sodaqoh dan mengerjakan ibadah haji bagi yang menpunyai kemampuan. Setiap muslim mempunyai kewajiban untuk mengeluarkan sodaqoh termasuk zakat atau infak, dari setiap harta kekayaan yang di milikinya (aja pegat sidqah hira saben ari).[20] Karena harta pada hakekatnya merupakan titipan Allah dan kepemilikannya tidaklah kekal.
Mengeluarkan infaq dan sodaqoh berarti telah membersihkan harta yang kita miliki. Di samping itu, sebagai upaya untuk menumbuhkan kepedulian dan sebagai wujud curahan kasih sayang terhadap sesama yang kurang beruntung. Allah SWT menjanjikan untuk melipatgandakan bagi siapa saja yang dengan ikhlas mengeluarkan sodaqoh (lan asih paqir kasihan).[21]

Demikian juga dengan mengerjakan ibadah haji sebagaimana disebutkan dalam Suluk Sujinah, sasat kaji marang Mekah[22] merupakan kewajiban bagi setiap muslim ketika ia mampu, dalam arti mempunyai kesanggupan dalam segi materi, fisik atau kesadaran rohani, ibadah haji ini diwajibkan hanya sekali seumur hidup.

b. Ikhlas
Keikhlasan dalam beramal yang baik, bagi seorang muslim haruslah berdasarkan niat mencari ridla Allah SWT., dan bukan berdasarkan motivasi lain atau adanya pamrih. Dalam beramal harus diikuti dengan niat yang ikhlas, dibuktikan dengan melakukan perbuatan dengan sebaik-baiknya dan penuh kesungguhan ( …sarta ihlas amale kang becik, becik ing (barang) karya,lan narimeng wuruk).[23]
Di samping itu, ikhlas dalam pandangan Jawa berarti adanya kesediaan untuk melepaskan kepentingan diri sendiri demi keselarasan dalam kehidupan bermasyarakat. Ikhlas mempunyai makna yang sama dengan sikap rila yaitu adanya kesediaan untuk melepaskan hak milik. Sikap ini harus dipandang secara positif, sebagai suatu kemampuan untuk melepaskan sesuatu dengan penuh pengertian.

c. Bersyukur
Syukur merupakan suatu sikap memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilakukan. Bersyukur terhadap segala karunia dan kenikmatan yang diberikan Allah SWT harus diakui dan diketahui oleh setiap insan yang beriman. Karena dengan rasa syukur, dalam menjalani kehidupan ini tidak akan sesulit yang kita pikirkan, bahkan segalanya akan terasa indah sebagaimana diungkapkan dalam Suluk Sujinah bahwa seorang muslim dianjurkan untuk ngelakonono shabar kesukuran.[24]

Sebagai seorang muslim dianjurkan untuk senantiasa bersabar dan bersyukur dalam mengarungi kehidupan ini. Bersyukur ketika menerima nikmat dan bersabar ketika menerima cobaan dan ujian dari Allah SWT. Karena dalam hidup ini tidak akan selamanya seorang hamba mendapat ujian dari Allah dan juga tidak selamanya akan diberikan nikmat. Kedua hal tersebut datangnya akan silih berganti, dan itu merupakan bagian dari realitas kehidupan  manusia di dunia yang harus dijalaninya.

d.Taubat
Taubat seorang hamba merupakan hal yang wajib dilakukan dan jangan sampai lalai atau berhenti, yaitu aja medot tobat tira maring widi[25]. Karena manusia sering kali melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan syari’at baik meninggalkan kewajiban atau melanggar larangannya.

Bertaubat harus disegerakan karena setiap manusia tidak mengetahui kapan datangnya kematian. Kematian adalah sebuah misteri dan hanya Allah SWT yang mengetahuinya. Maka ketika seorang muslim menyadari telah berbuat kesalahan atau kemaksiatan, harus segera bertaubat kepada Allah SWT tanpa menunda. Seorang muslim dianjurkan untuk selalu bertaubat kepada Allah   (…sejakna anenuwun, pangapura yang Maha suji)[26] sekalipun dia tidak mengetahui kesalahannya, sebab tanpa disadarinya terkadang kita berbuat kesalahan.

Sebesar apapun perbuatan dosa yang telah dilakukan oleh seseorang,  apabila ia bertaubat dan berjanji tidak akan mengulanginya, Allah SWT pasti mengampuninya. Allah SWT maha penerima taubat, tidak ada istilah terlambat untuk kembali kejalan yang benar. Pintu taubat sudah tertutup ketika nyawa sudah berada di tenggorokan atau matahari sudah terbit di barat.

Ketika seorang muslim sudah melaksanakan taubat dan memohon dengan sungguh-sungguh ampunan dari Allah SWT., maka hal yang harus dilakukan adalah meninggalkan perbuatan maksiat dan menjauhi hal-hal yang diharamkan (…tinggal lampah mangshiyat, lan ngedahi ingkang haram).[27] Kemudian meminta ampunan kepada Allah SWT dan berjanji tidak akan mengulanginya, yang diiringi dengan amal shaleh untuk menutupi kesalahan yang telah dilakukan pada masa lalu.
3. Akhlak dalam Keluarga
a. Berbakti kepada Kedua OrangTua
Berbakti kepada kedua orang tua (birrul walidain) mempunyai kedudukan yang istimewa baik dalam ajaran Islam maupun dalam budaya Jawa, sebagaimana Firman-Nya dalam al-Qur’an yang diletakkan langsung sesudah perintah beribadah kepada-Nya.[28]

Di samping itu, Rasulullah meletakkan birr al-walidain sebagai amalan nomor dua terbaik sesudah shalat tepat pada waktunya, [29] dan juga menempatkan durhaka kepada ibu bapak sebagai dosa besar nomor dua sesudah syirik.[30] Hal ini juga disebutkan dalam Suluk Sujinah pupuh Sinom bait 8 yaitu;
Retna Sujinah matur sembah, maring raka matur aris, leres ingkang pangandika, wangsul bebektane bibi, miwah ing rama mami, miwah bektening Yewang Ngagung, ingkang dating kawula, kiyahi syekh ngandika aris, garwaningsun wong ngayu asung wigena.

“Retna Sujinah berkata dengan  menghaturkan sembah, dan berkata lemanh lembut kepada suaminya, benar yang anda ucapkan maka berbaktilah kepada bibi, yaitu kepada ibu bapak, dan kemudian berbaktilah kepada Allah SWT., hal inilah yang dapat aku sampaikan, kiyahi Syekh berkata dengan lemah lembut, istriku yang cantik dan senantiasa memberikan kebahagiaan.”

Dari pernyataan tersebut mengandung maksud bahwa seorang anak harus berbakti kepada Allah yang kemudian harus berbakti kepada orang tuanya, karena keridhaan Allah terletak pada keridhaan kedua orang  tua.

Sedangkan dalam pandangan budaya jawa, orang tua adalah sebagai wakil kehidupan yang berhak mendapatkan penghormatan tertinggi, dan anak harus ngabekti, berbakti dan melayani mereka. Seorang anak akan berdosa jika tidak berbakti kepada orang tua, tidak mematuhi nasihat mereka, atau melukai perasaan mereka. Perilaku-perilaku demikian dianggap merupakan pelanggaran serius terhadap tatanan moral, secara otomatis akan ada hukuman, dan lebih dikenal dengan walat (sebuah hukuman keras yang terkait dengan pemahaman tentang sifat tak boleh dilawannya orang tua).[31] Sudah sewajarnya ketika seorang anak berlaku idep maring wong sepuh [32] yaitu, menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, penuh santun dan kelembutan dalam berbicara serta bertutur kata agar tidak menyinggung perasaan kedua orang tua.


[1] S.Bambang Purnomo, Suluk Sujinah, Sebuah Karya Tasawuf di Jawa Wawasan Filologi Terbatas (Yogyakarta:Skripsi UGM, 1984),  hlm. 64.

[2] M.Jandra,  Suluk Sujinah Sebuah Tinjauan dari Aspek Akidah Islamiyah” (Yogyakarta: Proyek PTA. IAIN Sunan Kalijaga,1987), hlm.16.


[3] Khususnya di Jawa, huruf Arab Pegon adalah huruf Arab yang digunakan untuk menulis dalam bahasa Jawa: Oemar Amin Hoesein, Kultur Islam (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1975), hlm. 519. Huruf Arab Pegon biasanya digunakan di lingkungan masyarakat Islam yang mempunyai kesadaran beragama yang cukup tinggi: M.Darori Amin, “Aspek Ketuhanan dalam Sastra Suluk (Studi Analisa Terhadap Suluk Sujinah)”  (Semarang: P3M IAIN Walisongo, 1998), hlm. 33.
[4] Kata macapat berasal dari perpaduan kata maca (baca: membaca) dengan kata pat (baca: empat), yang artinya cara membaca atau melagukan syair atau puisi Jawa dengan dipenggal atau diputus empat-empat, tidak selalu pemenggalan lagu itu empat-empat, namun ada yang dua-tiga, tiga-dua, tiga-tiga dan sebagainya: Siti Zawimah, Abu Seri Dimyati, M. Damami, “Macapatan: Sebagai Alternatif Alat Dakwah” (Yogyakarta: Balai Penelitian P3M IAIN Sunan Kalijaga, 1985), hlm. 7. 

[5] Endang Syaifuddin Anshari,Wawasan Islam: Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam dan Umatnya  (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 29.

[6] Moh. Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegara IV: Studi Serat-Serat Piwulang (Yogyakarta: PT.Dana Bakti Wakaf, 1995), hlm. 145.

[7] Saliyun M.Amir, dkk., “Budi Pekerti Tak Perlu Menjadi Mapel,” dalam Rindang  (Semarang: Penerbit Yayasan Kesejahteraan Karyawan Kantor Depag. Prop. Jawa Tengah, No. 5 Th. XXVI Desember 2000), hlm.  30.

[8] Niels Mulder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional (Yogykarta: Gadjah Mada University Press,1984), hlm. 37.


[9] Niels Mulder,Mistisisme Jawa: Idiologi di Indonesia (Yogyakarta: Penerbit LKiS, 2001),  hlm.  90.

[10] Frans Magnis-Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup  Jawa (Jakarta:PT. Gramedia, 1996), hlm. 145.

[11]Pupuh 3 Dhandanggula: 17”
[12]Pupuh 3 Dhandanggula: 14

[13]Pupuh 3 Dhandanggula: 15
[14]Pupuh 3 Dhandanggula: 13

[15] Husain Haikal, “Al-Qur’an dan Fenomena Religio-Magisme”, Rindang (Semarang: Penerbit Yayasan Kesejahteraan Karyawan Kantor Depag. Prop. Jawa Tengah No II TH. XXV Juni 2000), hlm. 33.

[16]Pupuh 3 Dhandanggula: 16

[17]Pupuh 4 Sekar Kinanthi : 26”

[18] Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an,  1983), hlm. 138.

[19]Pupuh 3 Dhandanggula: 18”
[20]Pupuh 3 Dhandanggula: 14”

[21]“ Pupuh 3 Dhandanggula: 17”

[22] “Pupuh 3 Dhandanggula: 19”

[23]“ Pupuh 3 Dhandanggula: 13”

[24] “Pupuh 3 Dhandanggula: 17”

[25]Pupuh 3 Dhandanggula: 17”

[26]Pupuh 3 Dhandanggula: 16

[27]Pupuh 3 Dhandanggula: 16

[28] Sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur’an  surat al-Baqarah: 83/2:83, yang artinya: “Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil yaitu:”Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada Ibu bapak …”. Departemen Agama R.I., Al-Qur’an, hlm.  23.
[29] Diriwayatkan dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah ibn Mas’ud RA., dia berkata:”Aku bertanya kepada Nabi SAW: Apa amalan yang paling disukai oleh Allah SWT ? Beliau menjawab :’’shalat tepat pada waktunya”, kemudian aku bertanya lagi : kemudian apa ?  Beliau menjawab  “birrul walidain”, kemudian aku bertanya lagi: seterusnya apa ?  Beliau menjawab: Jihad fi Sabilillah”. (Hadits Muttafafaqun ‘alaihi)

[30] “Diriwayatkan oleh Abu Bakrah Nufa’I Ibn al Harits RA.,dia berkata :”Rasulullah SAW bersabda :” Tidakkah akan aku beritahukan kepada kalian dosa-dosa yang paling besar ? Beliau mengulangi lagi pertanyaan tersebut tiga kali. Kemudian para sahabat mengiyakan. Lalu Rasulullah SAW menyebutkan :”Yaitu mempersekutukan Allah dan durhaka kepada Ibu Bapak “. Kemudian beliau merobah duduknya yang semula bersitekan menjadi duduk biasa dan berkata lagi :” Begitu juga perkataan dan sumpah palsu.”Beliau mengulangi lagi hal yang demikian hingga kami mengharapkan mudah-mudahan beliau tidak menambahnya lagi”. (Hadis Muttafaqun ‘alaihi)
[31] Mulder,  Mistisisme, hlm. 99.
[32]Pupuh 3 Dhandanggula: 15

Share on Google Plus

About Unknown

RIC Karya
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar