Menyoal Pragmatisme Calon Guru


Oleh: Tian Purwo Yuwono
(Pernah Belajar di IKIP PGRI Semarang)

Ngelmu Iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas , Tegese kas nyantosani, 
Setya budya pangekese dur angkara.
Mempelajari ilmu itu dilakukan sampai dengan praktiknya....
diawali dengan ketekunan, hikmah ketekunan mengantarkan pada keberhasilan.
tetap berpegang pada prinsip amar ma’ruf bahi munkar..
( Serat Wedhatama :33- Pocung )

Pendidikan bukan berangkat dari sebuah definitif tapi dari laku. Pendidikan juga bukan sekedar mengajar dari jam 7 sampai jam 3 sore. Pendidikan juga bukan transfer  teori-teori yang kita masukkan ke otak murid setiap waktu. Pendidikan  adalah ketekunan seorang guru untuk membimbing mahluk yang bernama manusia untuk mampu mnegembangan potensi yang ada dalam dirinya sebagai karunia yang Allah Swt berikan. Ia tidak dibatasi waktu. Ia tidak dibatasi banyak sedikitnya uang. Ia tidak dibatasi bagus tidaknya fasilitas. Ia tidak dibatasi banyak tidaknya murid. Pendidikan adalah proses belajar tanpa henti, membutuhkan integritas, kesabaran dan keteladanan. Karena yang kita hadapi adalah sejenis organisme bukan makhluk mati.  Murid adalah manusia, bukan robot yang kita rekayasa sedemikian rupa sehingga harus tunduk pada sesuatu yang ia tidak inginkan.

Guru dianggap menjadi tiang penyangga dalam membangun bangsa untuk sekarang ini perlu dipertanyakan lagi, guru yang seperti apakah ?. Saya sering berbincang dengan guru-guru mengenai kondisi pendidikan saat ini tapi jarang yang mau membahas sampai sana. Dan akhirnya mereka berbincang tentang gaji guru dan sertifikasi. Apakah sebegitu loyonya guru saat ini sampai tak punya keinginan untuk membahas permasalahan pendidikan di Indonesia.

Berdasarkan pengalaman pribadi, guru sebetulnya memiliki peluang besar untuk meningkatkan kesejahteraan  sekaligus mengembangkan diri. Tapi kebanyakan guru itu tidak mau mengembangkan dirinya dengan membaca buku, tidak kritis, tidak mau mengembangkan ilmu pengetahuan, juga tidak memiliki cakrawala dan relasi yang kuat, Darmaningtyas (2005:137).

Ini menandakan bahwa permasalahan guru sekarang itu bukan sekedar gaji yang kurang ataupun ketidaksejahteraannnya. Akan tetapi lebih kepada permasalahan mental dan cara pandang yang terbangun ketika menjadi murid di sekolah.

Di bangku kuliah apa yang mereka dapatkan juga sama tidak ada perubahan dengan pola pikirnya. Kemudian ketika menjadi seorang guru yang diajarkan kepada anak didiknya ya apa yang telah ia dapatkan. Jadi permasalahan ini tidak akan pernah terputus sampai ada sebuah reformasi cara mengajar di perguruan tinggi, karena hulunya ada disana.

Pada akhirnya korbannya adalah anak didik . Mereka disibukkan dengan aktivitas sekolah, les privat, dan setumpuk tugas lain yang belum tentu seluruhnya  dipahami oleh siswa. Belajar bukan lagi tujuannya mencari ilmu meski sedikit  bermanfaat tapi karena tuntutan supaya guru bisa mengejar setifikasi dengan memperpanjang jam mengajarnya. Juga agar  guru mendapat  uang tambahan karena memberikan les diluar jam mengajar.

Guru menyuruh belajar kepada anak didiknya tapi guru sendiri belajar hanya materi yang akan diajarkan. Menyuruh membaca tapi guru sendiri  tidak pernah mengembangkan diri dengan membaca, ataupun menulis.
Persoalan Cara Mengajar Di Perguruan Tinggi

Kita tahu bahwa Perguruan tinggi di Indonesia dikenal dengan konsepsi Tri Darma Perguruan Tinggi yang meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Ketiganya merupakan rangkaian yang terkait. Akan tetapi saat ini banyak kita lihat di perguruan tinggi  ketiganya menjadi hal yang  terpisah. Banyak dosen yang hanya sibuk mengajar tanpa merasa ada tanggung jawab lain terhadap pengembangan ilmu pengetahuannya berupa penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Semestinya menjadi catatan bersama tentang pentingnya budaya membaca, berdiskudi dan menulis dalam kehidupan kampus khususnya mahasiswa dan dosen. Sudahkah iklim kondisi lingkungan yang seperti itu diterapkan dalam kampus pendidikam saat ini. Gelar sarjana sekarang ini hanya menjadi pelengkap ekstase prestise dirinya akan gelar yang diemban. Bukan atas tanggung jawab atas ilmu yang mereka dapatkan.
Dunia akademis saat ini merupakan kuburan bagi manusia kreatif ! Itulah yang disebut Alatas sebagai Bebalisme Intelektual. Dan posisi civitas academic saat ini masih berada pada tataran alam maya karena ia mendapatkan ilmunya dari dosen yang textbook thingking.

Sistem atau mekanisme yang dijalankan di suatu perguruan tinggi juga mempengaruhi output guru yang dihasilkan.. Menilik kehidupan kampus yang begitu mekanistis - yang  bekerja seperti sebuah mesin- memang mahasiswa sekarang telah di atur sedemikian rupa menjadi robot-robot peradaban yang tak mampu lagi berpikir kritis.

Memikirkan dirinya sendiripun tidak pernah selesai apalagi memikirkan orang lain.Hal ini pula yang dulu terjadi pada guru-guru kita ketika di kampus. Mereka diajarkan oleh dosen-dosen yang pragmatis, yang tak mau lagi diajak berdialektika apalagi menciptakan sesuatu yang berbeda (karya nyata bukan menukil dari tulisan orang lain).

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya artinya bahwa apa yang guru ajarkan itu tidak jauh dari apa yang ia dapatkan dulu pada masa kuliah. Guru  adalah cerminan ketika ia masih belajar dibangku kuliah. Apa yang ia dapatkan disana adalah transfer dari para dosen yang mengajarnya.

Dosen sebenarnya  mempunyai peran besar dalam membangun paradigma mahasiswa yang mereka ajar. Bukan menciptakan robot-robot guru yang sekarang ini bayak perguruan tinggi hasilkan.
Ketidaksiapannya terhadap atmosphere lingkungan yang  nyata menjadi bukti bahwa banyak fresh graduate sarjana pendidikan yang tidak percaya diri terhadap kesarjanaannya. Seolah-olah gelar itu menjadi beban bagi mereka. Yang penting lulus diwisuda setelah itu kerja. Lalu setelah kerja mau ngapain…?

Ya minimal bisa mengurangi ongkos kuliah orang tua. Kenapa harus menunggu bertahun –tahun hanya sekedar untuk mencari kerja. Landasan ideologis ini yang mempengaruhi output setelah lulus dari bangku kuliah. Jarang mahasiswa sekarang yang punya misi tentang sosial apalagi kebangsaan. Apalagi yang  S-1, lulusan S-2 pun jarang kita temui mempunya visi tentang membangun manusia indonesia.

Penyadaran Peran
Human investment  itu memerlukan waktu yang lama untuk menunggu sebuah hasil, karena kita mendidik manusia bukan robot. Dan pendidikan (al tarbiyyah) itu sendiri adalah rekayasa dan usaha untuk menyempurnakan kecerdasan (al-rusyd) dan pertumbuhannya. Artinya pendidikan berbeda dari bertukang, karena dalam bertukang manusia berusaha membuat sesuatu akan tetapi disini pendidikan seperti halnya bertani atau menanam, Murtadha Muthahari (2011:2). Disini perguruan tinggi pendidikan dituntut supaya dosen yang akan mendidik calon guru  adalah yang memiliki karakter, idealisme dan integritas dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya, Sehingga tidak sekedar transfer informasi dari buku text melainkan juga ada pembangunan paradigma disana.

Selain itu juga dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. UUD Guru dan Dosen No 14 Tahun 2005 (pasal 1 ayat 2). Maka keteladanan menjadi aspek penting sebagai cerminan calon guru untuk melakukannya. Misalnya saja membuat karya ilmiah, membuat buku, ataupun sering menulis di majalah ataupun koran.

Akan tetapi karyanya benar-benar hasil olah pikir sendiri bukan cuplikan karya orang lain. Karena penulis banyak mendapati dosen yang mengajar para calon guru tapi buku yang dipakai hasil mencuplik karya orang lain kemudian dijadikan buku pegangan. Hal itu sebenarnya memberi sinyalemen kepada mahasiswa (calon guru) untuk melakukan hal yang demikian. Kalau dosen disibukkan dengan mengajar dan mahasiswa disibukkan dengan tugas-tugas kuliah imbasnya mereka menjadi malas berpikir dan biasa melakukan plagiarisme.

Agar tidak terjadi kebebalan berpikir maka  dosen harus  membuka seluas-luasnya terhadap keterbukaan ide-ide mahasiswa dan dialog antar keduanya sehingga muncul motivasi  untuk selalu aktif dalam pengembangan ilmu. Kebiasaan ini yang nantinya akan membekali calon guru dalam membentuk kebiasaan anak didiknya. Untuk itu harus ada peraturan bagi perguruan tingggi pendidikan untuk mewajibkan dosen maupun mahasiswanya untuk membaca buku-buku penunjang pendidikan, bukan hanya buku pegangan akademis, tapi buku dalam membangun paradigma mereka.

Sehingga guru  dihasilkan juga memahmi peran mereka yaitu mendidik manusia seutuhnya. Paradigma akan terbentuk dalam suasana yang demikian. Maka dari itu penyadaran bagi mahasiswa dan dosen khususnya harus segera dilakukan.
Share on Google Plus

About Unknown

RIC Karya
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar