Niscala

KEJENIUSAN hanya sedikit bersangkut-paut dengan jalan menuju penemuan, itu adalah kata-kata Einstein. Sepertinya Nasya faham benar akan maksud perkataan tersebut. Biasanya akan muncul suatu loncatan dalam kesadaran. Banyak orang pintar di negeri ini, sekolah-sekolah gratis, bantuan pembiyayaan pendidikan yang terkecupi bagi mereka orang miskin yang tidak mampu memasukan anaknya ke sekolah.

Nasya semakin heran dalam hening malam yang hanya ditemani secangkir teh manis buatan ibunya dihalaman rumah. Ia semakin yakin dengan dunia pendidikan yang semakin menjanjikan. Orang-orang kaya rela memasukan anaknya ke sekolah favorit, walaupun itu harus mengeluarkan banyak rupiah. Berharap kelak anaknya mampu mewarisi kekayaan keluarganya dan mampu memimpin perusahaan keluarga.

Aku telah merasakan kemerdekaan, kata Nasya sambil menikmati teh manisnya. Ia terus berkelana dalam pikiran sehingga ia lupa akan harapan dan mimpinya. Hanya bisa membayangkan dan tersenyum sendiri tanpa ada seseorang yang memberikan inspirasi baginya. Angin malam tak peduli, rembulanpun hanya ikut tersenyum melihatnya.

Ya…aku telah merasakan kemerdekaan bagi mereka penikmat dunia. Aku bangga menjadi anak bangsa yang dibesarkan dengan berlimpah sumber daya alam. Meski orang asing yang bisa memanfaatkannya, bukannya tidak mampu untuk mengelola akan tetapi merasa kasihan saja. Sebab bangsaku adalah pancaran kilauan cahaya surga.

Aku adalah anak zaman, bisik kecilnya pada batu-batu yang ia pegang. Apa kau tahu wahai bebatuan, engkau ini memiliki nilai manfaat sehingga terkadang engkau diperebukan. Apa engkau tidak ingin protes atas apa yang menimpa dirimu. Sehingga engkau terluka dan dibuang ke negeri tetangga.

“Nasya ayo masuk, nih makan malam sudah siap”, panggil ibunya.

“Iya..Bu”, Nasya menghampiri ibunya dan siap untuk makan bersama. Keluarga yang hanya dihuni sepasang ibu dan anak. Rasa syukur masih menjadi miliknya, rumah tempat tinggalnya milik sendiri, jika dibandingkan dengan para pendatang yang ingin hidup di kota.

“Bu, kenapa ibu tidak masukan Nasya ke sekolah. Nasya ingin sekolah bu, meski umur Nasya sudah enam belas tahun. Kan bisa ikut kejar paket Bu”, pintanya.

“Dari dulu kamu selalu ingin minta sekolah. Bukannya ibu tidak mampu mensekolahkanmu. Tapi ibu ingin mendidikmu sendiri”. Sekolah itu hanya bagian dari tempat mencari ilmu. Pengetahuan yang sesungguhnya ketika kamu mampu menaklukan keinginanmu. Salah satunya menaklukan niat untuk sekolah”, ibunya betutur kata yang tidak menginginkan anaknya menjadi korban sekolah.

“Memang apa jeleknya sekolah”, sahut Nasya.

“Sekolah itu tidak jelek. Sekolah itu bagus”.

“Terus kenapa ibu tidak mensekolahkan Nasya”.

“Mengapa engkau ulangi lagi pertanyaanmu”. Percayalah pada ibu, taklukan keinginan yang ada pada dirimu dan terimalah yang menjadi kebutuhanmu.

Malam kian larut, Nasya dan ibunya melanjutkan aktifitas malam dengan mimpi-mimpi yang indah. Nasya semakin berhamburan dalam memori otaknya, mengeja kalimat disetiap perkataan ibunya.

Pikiranku semakin lelah, untuk menerjemahkan kata-kata bijak. Aku hanya bisa menerjemahkan bangsaku. Terutama ketika mereka memakai seragam yang begitu rapi dengan tas yang indah. Namun aku tidak boleh berkecil hati, meski aku tidak sekolah tapi aku bisa belajar kepada teman-temanku.

“Koran pagi pak. Ada berita baru, pemimpin kota tersandung masalah korupsi”.

“Koran-koran”, hirup pikuk lalu lalang mobil dan kendaraan di lampu merah jalananan. Nasya menikmati hidup jalanan, namun beribu-ribu pengetahuan dan informasi ada pada gengam tangganya. Ia seorang remaja putri penjual Koran.

Sehabis menjajakan korannya Nasya pulang dan merawat setiap Koran-koran bekasnya. Ia kumpulkan satu-demi satu sesuai dengan bidang masing rubrik. Ternyata ia mengumpulkannya untuk membuat kliping. Ibunya selalu tersenyum ketika melihat putri semata wayangnya, merapikan dan membaca Koran. Dibantu ibunya membuat kliping supaya rapi dan enak untuk dibaca.

Ibunya setiap semingu sekali selalu membelikan buku dan peralatan tulis untuk Nasya. Meski ia tidak bekerja, namun ia mendapatkan pensiun janda dari mendiang suaminya yang dahulu memang seorang guru pegawai pemerintahan. Ayahnya meninggal, namun belum sempat melihat wajah Nasya karena masih didalam kandungan. Ia selalu ingat pesan suaminya untuk anaknya, jadikan anakku orang yang bijak.

Kliping dan buku yang dimiliki Nasya, tidak hanya dikonsumsi untuk pribadi. Nasya sungguh luar biasa, ia mampu mengamalkan suatu ilmu yang dalam yakni ketika kamu memberi maka pemberianmu akan dilipatkan. Hal itu terbukti ketika Nasya meminjamkan buku dan klipingnya, sehingga sekarang Nasya memilik rumah baca.

Pada suatu malam yang bulan tak kunjung datang. Nasya semakin sadar akan maksud dari ibunya. Inti hanya bagaimana aku menjadi bijaksana dan tentu penuh dengan kearifan. Ia lambaikan tangannya ke langit. Aku tahu bangsa ini dipimpin orang bertitel sekolah, dan wakil rakyatnyapun orang-orang lulusan perguruan tinggi. Namun tingginya mereka hanya sebatas ingin mendapatkan kursi yang enak untuk diduduki.

Rasa hormat diukur dari jabatan dan bukan pesan moral. Apakah kau tahu, jabatan menggelabui rasa hormat. Jika engkau mengundang para pejabat yang dihadiri oleh wali kota dan wakil walikota tentu yang lebih di hormati adalah wali kotanya terlebih dahulu. Tapi kenapa jika yang datang dewan perwakilan rayat, mereka juga harus dihormati. Padahal mereka itu wakil rakyat yang seharusnya di hormati adalah rakyat.

Rakyat semakin menderita, korban lapindo yang tak kunjung segera untuk diselesaikan. Hendak kemana tikus akan berlari, jika semua jalan kau kotori. Korupsi sudah menjadi kegiatan rutin yang harus dijalankan pada setiap programnya, hingga terlupakan program utama untuk mensejahterakan rakyatnya.

“Sya, ngapain kamu di situ”,  Sita yang barusan pulang dari jam kerja lemburnya.

“Ngak ada apa-apa Mbak Sit”, Sita mendekati Nasya. Tampak rok mini dan baju seksi yang menutupinya menjadikan hidup penuh warna-warni.

“Gimana jualan Koran dan rumah bacanya”.

“Alhamdulillah Mbak, korannya makin laris dan rumah bacanya makin ramai”.

Ya sudah kalau gitu, Mbak Sita pulang dulu. Ia mengeluarkan satu lembar ratusan ribu untuk diberikan. Nasya menolak pemberian tersebut. Tapi Sita terus memaksa, ia berikan untuk pembelian buku untuk rumah baca. Dengan terpaksa Nasya menerima, sambil ia mengucapkan terima kasih.

Nasya tau kalau tetangganya bekerja di club malam. Demi sesuap nasi ia berani mengadaikan kulit dan wajah yang begitu putih dan cantik. Semua karena kebutuhan, baik itu pencuri, perampok ataupun bahkan koruptor. Dengan alasan kebutuhan, yang jelasnya pasti kebutuhan ekonomi.

Hari makin larut, iapun menuju kamar ibunya yang sudah terbaring dan ikut tidur bersamanya. Karena ia tau akan tugasnya besok, sebab setiap penghasilan yang ia peroleh selain di tabung ia gunakan untuk memfasilitasi rumah baca. Ia berharap kelak, memiliki sekolah komunitas yang disana tidak terkekang dengan sistem dan atura yang kaku.

“Koran…koran…koran, hanya Rp. 2.500 mendapatkan informasi yang beragam”.

“Korannya Dek”, pinta kenek sopir truk.

“Maaf Pak, ada uang kecil”.

“Ni Pak, uangnya. Di bawa aja korannya, ngak usah di bayar. Sebab saya lagi ngak punya uang kembalian”.

“Ya..udah kalau gitu, ini terima uangnya. Ngak usah ada kembalian, buat kamu aja”.

Terima kasih pak, semoga lancar perjalannya. Secara mengejutkan, ketika hendak berjalan menuju trotoar Nasya terserempet mobil iring-iringan Gurbernur yang lagi lewat. Ia sebenarnya tahu akan suara sirene tersebut. Nasya terkapar, raut wajahnya yang putih kini berlumuran warna merah pekat.

Nasya tidak sadar diri, beruntung saja ditempat kejadian ada pos ojek. Melihat keadaan semacam itu, salah satu pengendara ojek melarikan Nasya ke rumah sakit terdekat. Andik sangat dekat dengan Nasya, sama-sama mencari uang di jalannan. Sehabis mengantarkannya, Andik segera pergi tempat dimana kampong Nasya tinggal. Karena ia pernah sekali mengantarkan pulang.

Ibu itupun terkejut mendengar berita tersebut. Andikpun segera menacap gas montornya. Sebab di rumah sakit, membutuhkan administrasi pendaftaran dari pihak keluarga. Ia melihat anak semata wayang tidak berdaya. Ya…Allah, berikan jalan terbaikmu, ucap ibu.

Selang beberapa waktu dokter, keluar dari ruang unit gawat darurat. Bagaimana dok keadaan anak saya. Dengan menghela nafas, dan seakan tidak ingin mengucapkan. Dokter itu beberpa patah kata memberikan nasehat dan saran. Ia pun terkejut, mendengar ucapan dokter.

“Apa anakku, patah kaki dan ia tidak bisa berjalan”, tangisan ibu seakan membanjiri rumah sakit. Ia ingin masuk ke ruangan anaknya, tapi suster belum bisa mengizinkannya.

Ini bukan takdir, ini hanya cobaan bagi mereka yang ingin memperjuangkan suatu kearifan. Selain menjadi mandiri untuk diri sendiri, bisa memberikan manfaat kepada orang lain.

Diatas kursi roda Nasya hanya bisa memandang rumah bacanya yang makin ramai dan banyak program kegiatan yang ia rancang. Ibunya mendorng kursi roda itu, mengajaknya memutari halaman rumah dan air matanya seakan ingin keluar. Tapi ia menahannya, anaknya yang begitu tegar, kenapa aku menjadi cengeng, kata ibu.

* * *

Anakku kau pernah menanyakan kenapa ibu tidak memasukan kamu ke sekolahan. Sungguh engkau telah menjawabnya, hingga engkau berkeinginan untuk mendirikan sekolah. Ibu tidak ingin melihatmu bermimpi dalam ruangan sekolah. Namun bermimpilah melihat orang-orang di yang engkau temui.

Terima kasih wahai engkau ibu tercinta. Karena engkau aku tetap tegar dan siap mengarungi bahtera keluarga dan kelam dunia. Meski ada kekurangan dari diriku, namun aku tunjukkan kelebihanku. Pada akhirnya kelebihan itu menutupi kekurangannya.

Nasya memandangi lukisan bergambar dirinya di gendong oleh ibunya. Lihat ibu, ini cucumu, kelak ia akan jadi orang hebat yang bijaksana. Wahai ibu semoga Allah memberikan tempat terindah untukmu.

Minggu, 24 Juni 2012 (A1/Ma)
Share on Google Plus

About Unknown

RIC Karya
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar