Konsep Pendidikan Pranatal Menurut Ajaran Pedagogis Islami

BERBICARA tentang pengertian pendidikan kita tidak akan menentukan arti yang sama antara satu dengan lainnya, karena masing-masing tokoh mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam mengartikan pendidikan. Hal itu tergantung pada sisi yang dianggap paling tepat oleh para tokoh pendidikan untuk membentuk dan menentukan sebuah konsep tentang pendidikan.

John Dewey berpendapat: “Etimologically, the word education means just a process of leading or bringing up”. Artinya secara etimologi, kata pendidikan berarti suatu proses untuk memimpin dan membimbing.[1]

Ahmad Tafsir berpendapat, pendidikan adalah berbagai usaha yang dilakukan oleh seseorang (pendidik) terhadap seseorang (anak didik) agar tercapai perkembangan maksimal yang positif.[2]

Pendidikan menurut  Arifin M.Ed. adalah:” ikhtiar manusia untuk membantu dan mengarahkan fitrah manusia (anak) supaya berkembang sampai kepada titik maksimal yang dapat dicapai sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan”.[3]

Sedangkan  Zahara Idris mengartikan pendidikan sebagai berikut :
“Pendidikan adalah serangkaian kegiatan interaksi yang bertujuan antara manusia dewasa dengan si anak didik secara tatap muka atau dengan mempergunakan media, dalam rangka memberikan bantuan terhadap perkembangan anak seutuhnya agar dapat mengembangkan potensinya semaksimal mungkin menjadi manusia dewasa”.[4]

Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pendidikan diartikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang.[5]

Dari beberapa pengertian tersebut, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha secara sadar yang dilakukan oleh orang yang lebih dewasa (sebagai pendidik) dalam upaya mengembangkan potensi yang dimiliki oleh setiap manusia atau “fitrah“, agar dapat berkembang secara maksimal, sesuai dengan tujuan  pendidikan.

Pengertian Pranatal
Istilah “Pranatal“ dalam Kamus Bahasa Indonesia mempunyai arti ”pra-lahir” atau ”sebelum lahir”.[6] Istilah tersebut digunakan sebagai sebutan bagi anak yang masih berada dalam kandungan. Jadi dengan kata lain pranatal adalah masa anak dalam kandungan sampai lahir.
Dengan demikian, yang dimaksud pendidikan anak dalam kandungan atau pendidikan pranatal adalah pendidikan yang diberikan kepada anak sebelum lahir atau sejak dalam kandungan sampai anak tersebut lahir. Jadi apapun yang dilakukan oleh orang tua, itulah pendidikan yang diberikan pada anak dalam kandungan (pranatal).

Jika pengertian pendidikan pranatal itu dikaitkan dengan pengertian pendidikan yang telah dirumuskan sebelumnya, maka pendidikan anak dalam kandungan merupakan usaha secara sadar yang dilakukan oleh orang yang lebih dewasa (sebagai pendidik) dalam upaya mengembangkan potensi yang dimiliki oleh setiap manusia agar dapat berkembang secara maksimal sesuai dengan tujuan pendidikan, yang dimulai sejak anak masih berada dalam kandungan ibu (pranatal) sampai anak tersebut lahir ke dunia.

Pendidikan pranatal bersifat peneladanan atau pembiasaan orang tua. Sikap dan apapun perbuatan orang tua pada saat anak masih dalam kandungan ataupun sudah lahir sangat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak. Jadi orang tua harus selalu menjaga sikap dan tingkah lakunya agar tetap sesuai dengan ajaran agama sebagai upaya pendidikan anak dalam kandungan (pendidikan pranatal). 

 

Proses Perkembangan Pranatal

Semua kejadian yang ada di dunia ini, bukanlah sesuatu yang ada dengan sendirinya, melainkan keberadaanya melalui beberapa rangkaian yang selanjutnya menjadi suatu kejadian. Begitu juga dengan keberadaan manusia. Allah tidak menjadikan manusia dalam bentuk yang langsung sempurna, seperti apa yang bisa kita lihat. Tetapi manusia diciptakan melalui sebuah “proses” atau tahapan-tahapan tertentu. Proses tersebut akan selalu berubah ke arah yang lebih maju, atau dengan kata lain ke arah yang lebih sempurna yang disebut sebagai perkembangan.[7]

Elizabeth B.  Hurlock, membagi fase perkembangan manusia menjadi tiga periode/fase, yaitu periode zigote, periode embrio dan periode fetus.[8]

Periode Zygote
Berlangsung dari pembuahan sampai implantasi pada dinding rahim sekitar 10 hari sesudah pembuahan. Jika sperma memasuki ovum maka sebuah proses dimulai yang menghasilkan peleburan inti sperma dengan inti ovum yang telah dibuahi yang disebut zygot yang mengandung 23 pasang kromosom.[9] Kemudian ovum yang telah dibuahi mulai membagi diri (melakukan pembelahan), dari saluran telur tempat ia dibuahi menuju ke uterus dan akan ditanam (menempel) di dinding uterus (implantasi).[10]

Periode Embrio
Periode ini ditandai dengan perkembangan yang cepat sekali dari susunan syaraf. Dalam periode ini kepala lebih besar dibanding dengan bagian badan yang lain. Ini menunjukkan 8 minggu yang pertama merupakan suatu periode yang sensitif untuk integritas susunan syaraf. Gangguan mekanis dan kimiawi pada saat ini dapat menyebabkan kerusakan permanen dari susunan syaraf dibanding jika susunan tersebut terjadi pada waktu selanjutnya.[11]

Periode Janin/Fetus
Periode ini  berlangsung dari akhir bulan kedua sampai lahir. Pertumbuhan mengikuti hukum arah perkembangan yaitu dari bentuk yang belum sempurna ke bentuk yang lebih sempurna. Kegiatan janin sudah dimulai antara bulan kedua dan ketiga, misalnya menyepak, menggeliat dan memutar-mutar.[12] Organ intern hampir mendekati posisi orang dewasa. Ciri ekstern dan intern terus berkembang dari bulan ke bulan, sampai bentuk janin benar-benar sempurna dan selanjutnya, tinggal menunggu  kelahiran janin.

Untuk lebih jelasnya, Paul Henry Mussen, dkk, dalam buku Perkembangan dan Kepribadian Anak, terjemahan Dr. Med Methasari Tjandrasa, menguraikan tahap-tahap perkembangan pranatal sebagai berikut :

Tahap-tahap dalam perkembangan pranatal
Minggu  ke- 1                             
Ovum yang telah dibuahi akan turun melalui tuba fallopi menuju    ke uterus .
Minggu  ke- 2                             
Embrio melekatkan dirinya pada dinding uterus dan berkembang dengan cepat.
Minggu  ke-3                              
Embrio mulai berbentuk, bagian kepala dan ekor dapat dibedakan dan jantung sederhana mulai berdenyut.
Minggu  ke-4                              
Permulaan pembentukan daerah mulut, saluran pencernaan dan hati. Jantung mulai berkembang dengan pesat serta daerah kepala dan otak mulai dapat dibedakan.
Minggu  ke-6                              
Tangan dan kaki mulai terbentuk, namun lengan masih terlalu pendek dan tumpul untuk saling bertemu, hati mulai membentuk sel darah merah.
Minggu ke- 8                              
Panjang embrio sekitar 1 inci. Wajah, mulut, mata dan telinga mulai mempunyai bentuk yang jelas. Pertumbuhan otot dan tulang dimulai.
Minggu ke- 12                            
Panjang janin sekitar 3 inci. Ia mulai membentuk seorang manusia, walaupun perbandingan kepala terlalu besar. Wajah mempunyai profil seperti bayi. Kelopak mata dan kuku mulai terbentuk, dan jenis kelamin dapat dibedakan dengan mudah. Susunan saraf masih sangat sederhana.
Minggu ke-16                             
Panjang janin sekitar 4,5 inci. Gerakan yang dilakukan janin sudah mulai dirasakan oleh ibu. Kepala dan organ-organ dalam tubuh berkembang dengan pesat. Perbandingan bagian-bagian tubuh mulai  menyerupai bayi.
5  Bulan :                                    
Kehamilan hampir sempurna. Panjang janin sekitar 6 inci dan mampu mendengar serta bergerak lebih bebas. Tangan dan kaki sudah lengkap.
6  Bulan                                      
Panjang janin sekitar 10 inci. Mata sudah terbentuk dengan lengkap dan bintik-bintik pengecap timbul pada lidah. Janin mampu bernafas dan menangis lemah, seandainya kelahiran berlangsung prematur.
7  Bulan                                      
Usia kehamilan yang penting. Janin mencapai tahap “mampu hidup“, (bila lahir prematur). Secara fisiologis janin mampu membedakan macam-macam rasa dan bau. Rasa sakit relatif belum ada. Kemampuan bernafas dangkal dan tak teratur. kemampuan menghisap dan menelan masih lemah.
7 Bulan sampai masa kelahiran
Janin lebih siap untuk hidup secara mandiri di luar rahim. Tegangan otot bertambah, gerakan menjadi lebih sering dan pernafasan menjadi jelas, kunyahan, hisapan, dan tangisan lapar menjadi lebih kuat.[13] Setelah minggu ke 38 (9 bulan). Bayi siap lahir biasanya ia berputar sehingga posisi kepalanya turun kearah pelvis. Pada awal proses kelahiran atau partus (labour) si ibu biasanya mengalami kontraksi otot yang kuat dan lentur. Ujung bawah uterus (cervix), perlahan-lahan membuka, makin lama makin lebar. Setelah 12 jam (lamanya bisa berubah-ubah), diameter cervix kira-kira mencapai 10 cm. Tahap kedua berlangsung kira-kira satu jam kontraksi yang semakin kuat mendorong bayi turun melalui cervix, lalu ke vagina dan akhirnya keluar dari tubuh itu yang dimulai dengan pecahnya membran di sekitar bayi, kemudian keluar Cairan atau amnion atau air tuban, terjadilah proses kelahiran yang mengakhiri masa kehamilan.[14] 

 

Proses Pendidikan Pranatal

Secara kodrati setiap orang tua sejak zaman dahulu (Adam AS), hingga sekarang dan yang akan datang, berkeinginan untuk mendidik dan mengajar anaknya, namun bagi orang yang beriman hal itu bukan hanya sekedar menuruti dorongan kodratnya semata, tetapi lebih dari itu adalah dalam rangka melaksanakan perintah wajib yang telah digariskan oleh Allah SWT. Dengan demikian beban yang diberikan kepada orang tua agar bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya memang tumbuh dari naluri orang tua (faktor pembawaan).[15]

Bila kita setuju dengan adanya pandangan yang mengungkapkan bahwa dalam diri manusia itu terdapat kemampuan dasar atau fitrah “prepoten retlexes” baik rohaniah maupun jasmaniah, yang tidak dapat berkembang dengan baik tanpa bimbingan dari pendidik, maka berarti manusia memerlukan pendidikan dalam arti yang luas.[16]

Kebutuhan terhadap pendidikan tersebut bukan hanya sekedar untuk mengembangkan aspek-aspek individualisasi dan sosialisasi, melainkan juga mengarahkan perkembangan kemampuan dasar tersebut kepada pola hidup yang dihajatkan manusia dalam bidang duniawiah, dalam bidang fisik/materiil dan mental/spiritual yang harmonis. Oleh karena itu di dalam apa yang disebut “keharusan pendidikan” sebenarnya mengandung aspek-aspek, yaitu:
Aspek Pedagogis
Dalam hal ini, manusia dipandang sebagai mahluk yang disebut “homo educandum”, yaitu makhluk yang dapat dididik. Dalam istilah lain, manusia dikategorikan sebagai”animal educable” yaitu sebangsa binatang yang dapat dididik, sedangkan binatang selain manusia hanya dapat dilakukan. “Dressur” (dilatih sehingga dapat mengerjakan sesuatu yang sifatnya statis, tidak berubah).[17]

A. Portman, seperti yang dikutip oleh M. Said, mengemukakan teorinya tentang kelahiran manusia yang terlalu dini, yang menjadi dasar bagi asumsi pertama dalam dunia ilmu pendidikan. Menurut A. Portman:

“Manusia seharusnya berada di dalam kandungan ibunya selama satu bulan untuk dapat mencapai tingkat perkembangan yang lebih sempurna.[18]  Jadi keadaan masih belum “fixed”, artinya masih terbuka bagi perkembangan selanjutnya. Malahan A. Portman juga mengungkapkan bahwa : “Manusia dalam tahun pertama melengkapi perkembangannya dengan syarat hidup secara manusia normal yaitu bediri tegak, berbahasa dan berperilaku yang dikemudikan  oleh akalnya”.[19]

Keadaan yang lemah, tidak berdaya, belum siap inilah yang menyebabkan anak manusia dapat dididik dan perlu dididik atau “homo educandum et  educable”.[20]  Inilah yang menjadi asumsi pertama dalam pendidikan. Karena kelahirannya yang sangat dini naluri manusia tidak dapat berkembang sepenuhnya. Oleh karena itu perlu adanya pendidik yang dapat mengarahkan naluri manusia agar dapat berkembang sepenuhnya.

Asumsi kedua yang diterima dalam ilmu pendidikan ialah tentang perkembangan anak manusia semenjak lahir yang tidak terus menerus seperti air mengalir, tapi berfase-fase seperti tetesan air hujan yang bertautan dengan tiap tetesan merupakan satu kesatuan.[21]  Suatu fase mengambil bentuk yang sebenar-benarnya yang tidak dapat dijabarkan dari fase yang mendahuluinya dan tahap yang berikutnya karena satu sama lain berbeda sekali.

Jadi menurut aspek pedagogis, pendidikan berfungsi untuk memanusiawikan manusia, yang dengan tanpa pendidikan sama sekali, manusia tidak  dapat menjadi  manusia yang sebenarnya.

Aspek psychologis
Aspek ini memandang manusia sebagai makhluk yang disebut “psycho physiek netral”, yaitu makhluk yang memiliki kemandirian jasmaniah dan rohaniah.[22] Dalam pertumbuhan dan perkembangannya manusia memerlukan pendidikan. Kerena dengan pendidikan, maka petumbuhan dan perkembangan tersebut mendapatkan kemungkinan untuk mencapai titik maksimum kemampuannya. Bila pendidikan yang diperoleh baik, maka pertumbuhan dan perkembangannya dapat menjadi bimbingan bagi proses pendidikan manusia sebagai individu yang harus hidup dalam masyarakat.

Aspek Sosiologis dan Culturil
Aspek inilah yang memandang manusia bukan hanya “psycho physiek netral”, akan tetapi juga “homo socius”. Yaitu makhluk yang berwatak dan berkelakuan dasar atau memiliki instink untuk hidup bermasyarakat.[23] Sebagai makhluk sosial, manusia harus memiliki rasa tanggung jawab sosial yang diperlukan dalam mengembangkan inter relasi (hubungan timbal balik) dan inter aksi (saling pengaruh mempengaruhi) antara sesama anggota masyarakat dalam kesatuan hidup masyarakat beradab.

Bila manusia sebagai makhluk sosial yang bertanggung jawab sosial itu berkembang, maka berarti pula manusia itu sendiri adalah makhluk yang berkebudayaan baik materiil maupun moril. Sebagai salah satu instink manusia adalah kecenderungan untuk mempertahankan segala apa yang dimiliki termasuk kebudayaannya. Oleh kerena itu, maka manusia perlu melakukan transformasi dan transmisi kebudayaannya kepada generasi yang mengganti dikemudian hari. Dalam aspek culturil ini, maka pendidikan diperlukan untuk transformasi dan transmisi (pemindahan dan penyaluran serta pengoperan) kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda.[24]  Tanpa melalui proses pendidikan maka hal tersebut tidak terlaksana, jadi antara tanggung jawab sosial dengan transformasi dan transmisi culturil tersebut terdapat hubungan kausal.

Aspek Filosofis
Menurut pandangan filsafat, manusia adalah makhluk yang disebut “homo sapien” yaitu makhluk yang mempunyai kemampuan untuk berilmu pengetahuan.[25] Salah satu instink manusia adalah ingin mengetahui hal-hal yang belum diketahui yang disebut instink neugirig atau ciuriosity. Dengan instink ini maka manusia selalu cenderung untuk memperoleh pengetahuan tentang segala sesuatu di sekelilingnya.

Kemampuan instink tersebut yang memberikan kemungkinan manusia untuk dapat dididik dan diajar. Sehingga dapat menangkap  segala sesuatu yang diajarkan. Pengertian yang telah dipahami itu kemudian menjadi suatu rangkaian pengertian yang terbentuk menjadi ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Dengan kata lain, melalui proses belajar dan diajar, manusia pada akhirnya menjadi makhluk yang berilmu pengetahuan.

Aspek Religius
Yaitu aspek pandangan yang mengakui bahwa manusia adalah makhluk yang disebut “homo divinans” (makhluk berketuhanan) atau disebut “homo religius” (makhluk beragama).[26] Adapun kemampuan dasar yang menyebabkan manusia menjadi makhluk berketuhanan atau beragama itu adalah karena di dalam jiwa manusia terdapat suatu “instink religious” atau “natural liter religiosa”, yang perkembanganya bergantung pada usaha pendidikan sebagaimana halnya dengan instink-instink lainya. Oleh sebab itu, tanpa proses pendidikan instink tersebut tidak akan berkembang sewajarnya dan maksimal. Sehingga pandidikan keagamaan mutlak diperlukan untuk mengembangkan instink tersebut.

Kelima aspek tersebut yang menjadi alasan perlunya pendidikan dalam kehidupan manusia. Karena manusia adalah makhluk yang berkembang, maka untuk bisa mencapai perkembangan yang maksimal pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan.
Pendidikan sebaiknya diberikan sedini mungkin dengan persiapan yang matang. Semakin dini pendidikan itu diberikan, maka diharapkan hasilnya juga semakin baik.

Menurut pendapat Brojonegoro, persiapan pendidikan dimulai pada saat pemilihan jodoh, yaitu dengan mempertimbangkan “bibit, bebet dan bobot”.[27]

Bibit
Bibit atau  lebih kita kenal dengan sebutan keturunan, sangat penting sekali dijadikan sebagai pertimbangan dalam memilih pendamping hidup. Jadi dalam memilih pendamping hidup diutamakan berasal dari keturunan yang baik-baik, karena jika tidak, dikhawatirkan akan mempengaruhi keturunannya.

Bebet
Selain mempertimbangkan bibit, pribadi dari calon pendamping atau dalam ungkapan jawa dikenal sebagi “bebet” juga tidak kalah pentingnya karena menyangkut orangnya secara langsung. Untuk itu perlu juga bagi orang yang akan memilih pendamping hidup mempertimbangkan kepribadian dari calon pendampingnya, bagaimana sikap dan tampangnya, bagaimana wataknya, sehatkah, pantaskah, haluskah, tegaskah, keras dan lain-lain.

Bobot
Yang menjadi pertimbangan lain bagi seseorang ketika memilih calon pendamping adalah “bobot”, apakah calon pendampingnya anak orang berada atau cukupan atau kurang. Apakah calon pendampingnya dapat mencari nafkah untuk hidup berkeluarga kelak. Jadi dalam hal “bobot” atau harta kekayaan ataupun kemampuan dalam mencari nafkahpun dijadikan pertimbangan pula, dengan harapan agar keturunanya kelak bisa tercukupi kebutuhannya.

Ketiga istilah yang dijadikan pertimbangan dalam memilih pendamping hidup tersebut, sampai saat ini masih banyak dilakukan/dipraktekan orang. Hal itu tidak dipandang sebagai sesuatu yang salah. Karena seperti apa yang diungkapkan oleh prof. Brodjonegoro, ketiga hal tersebut merupakan langkah yang paling awal atau persiapan bagi  pendidikan anak dengan harapan agar keturunanya nanti menjadi anak yang baik, baik fisik maupun non fisik, serta tercukupi kebutuhannya.

Di samping itu, bayi yang baru lahir adalah produk/hasil dari dua keluarga.[28] Sejak saat pembuahan dan seterusnya, kehidupan baru itu akan tetap berlangsung dan dipengaruhi oleh banyak stimuli dari lingkungan yng berbeda. Setiap stimuli (rangsang-rangsang) ini secara terpisah dan berbarengan dengan stimuli yang lain akan membantu dalam membentuk potensi-potensi perkembangan dan tingkah laku anak yang diwariskan dari generasi sebelumnya. Hal tersebut yang menjadikan pentingnya mempertimbangkan berbagai hal dalam memilih jodoh agar keturunan yang dihasilkan benar-benar merupakan produk yang unggul.  

Pelaksanaan Pendidikan Pranatal
Secara riil pendidikan dilakukan setelah anak dilahirkan. Seperti halnya pendapat Langeveld yang mengatakan bahwa pendidikan anak baru bisa dimulai setelah anak berumur 3 tahun. Sementara Kihajar dewantara berpendapat bahwa pendidikan dimulai dari lahir sampai mati, atau istilah yang biasa digunakan adalah “life  long education”. Pendidikan seumur hidup. [29]

Dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh ibnu al Barr, dikatakan sebagai berikut :
Artinya: “Dari Anas bin Malik berkata, Rasulullah bersabda:”Tuntutlah ilmu sejak masa ayunan sampai dilubang lahad”. (H.R. Ibnu Abdul Al Barr)62

Menurut Baihaqi, penafsiran kalimat             diartikan sebagai rahim ibu, karena rahim ibu merupakan ayunan nomor satu.63 Sehingga beliau juga menyimpulkan bahwa pendidikan anak secara aktif dimulai sejak diketahui bahwa anak sudah ada dalam kandungan istri.64Sedangkan menurut Prof. Dr. Brodjonegoro, pendidikan dapat dimulai lebih awal lagi yaitu pada saat pemilihan jodoh dengan mempertimbangkan adanya unsur “bibit, bebet dan bobot”.[30] Pendapat lain diungkapkan oleh F. Rene Van De Carr, dalam bidang perkembangan pra lahir menunjukan bahwa selama berada dalam rahim, bayi dapat belajar, merasa, dan mengetahui perbedaan antara gelap dan terang.[31]

Dalam buku Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis terdapat istilah “praenatale opvoeding” yang artinya pendidikan sebelum lahir.[32] Jadi semasa anak dalam kandungan sudah dapat dididik. Pendapat semacam itu sebenarnya sudah dimiliki oleh orang-orang jaman dahulu. Banyak pantangan-pantangan yang harus dijalani sewaktu ibu  sedang mengandung. Misalnya sewaktu orang sedang  mengandung dilarang membuat tali (sampul), membenci orang lain dan sebagainya. Adapun maksudnya supaya anak yang dikandung nanti tidak ada kesulitan-kesulitan pada waktu melahirkan dan perasaan benci kepada orang lain dapat menyebabkan anak yang dikandungnya nanti mempunyai watak yang suka marah.

Dari beberapa pendapat tersebut, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa pendidikan bisa dimulai jauh sebelum terjadinya kelahiran, yaitu sejak pemilihan jodoh. Namun pendidikan tersebut hanya bersifat peneladanan ataupun pembiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang ada di sekeliling anak tersebut. Dalam hal ini orang tua yang memegang peran penting, terutama  ibu yang langsung berhubungan dengan anak pranatal. (Nurhikmah)



[1] John Dewey, Democracy and Education the Macmillan Company, New York, 1994, hlm. 10
[2] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Rosda Karya, Bandung, 2000, hlm. 28
[3] H.M Arifin. M.Ed, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1976, hlm.10
[4] H. Zahara Idris., Op. Cit., hlm.9
[5] UU RI no. 2/1989, Sistem Pendidikan Nasional, Aneka Ilmu, Semarang, 1992, hlm. 2
[6] Departemen P Dan K, Op. Cit., hlm. 699
[7] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, PT. Remaja Grafindo Persada, Jakarta 1995, hlm. 178
[8] Elisabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, Erlangga, Jakarta, 1978, hlm. 66
[9] Siti Rahayu Haditono, Op. Cit., hlm. 43
[10] Med Methasari Tjandrasa, Perkembangan dan Kepribadian Anak, Erlangga, Jakarta, 1998, hlm. 46
[11] Ibid., hlm. 49
[12] Elizabeth Hurlock, Op. Cit., hlm. 66
[13] Med Meitasari Tjandrasa,  Op.Cit, hlm. 50
[14] Petrus Lukmanto, Keajaiban Kehidupan, Alih bahasa oleh Joshua Simbodo, Judul asli, La Maravilla de La Vida, PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta, 1996, hlm. 26
[15] Jalaluddin, Mempersiapkan Anak Saleh, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 3
[16]H. M. Arifin, M.Ed., Op. Cit., hlm. 19
[17] Ibid.
[18] H. Muhammad Said, Ilmu Pendidikan, Alumni, Bandung, 1989,      hlm. 16
[19] Ibid., hlm. 17
[20] Ibid.
[21] Ibid., hlm. 20
[22] H. M. Arifin, M.Ed., Op. Cit., hlm. 20
[23] Ibid.
[24] Ibid., hlm. 21
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, Dudi Offset, Yogyakarta, 1987, hlm. 27
[28] L. Crow & A. Crow, Psychologi Pendidikan, Nurcahaya, Yogyakarta, 1989, hlm.41
[29] Sutari Imam Barnadib, Op. Cit., hlm. 28
62 Ibnu Al Barr Al Qurtuby, Bayanul Ilmi wal Fadlihi, Darul Fikr, juz 1-2, t.th.,    hlm. 10
63 Baihaqi, Op.Cit., hlm. 64
64 Ibid., hlm. 29
[30] Sutari Iamam Barnadib, Op. Cit., hlm.27
[31] F.Rene Van De Carr, Op. Cit., hlm.35
[32] Sutari Imam Barnadib, Op. Cit., hlm. 26
Share on Google Plus

About Unknown

RIC Karya
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar