Foto: http://gelasisi.wordpress.com/ |
TUHAN ada, tapi mungkin tidak bertaut. Dia di sana, dan manusia di sini;
meski dipekikkan. Rakit dan Atid ada, tapi catatannya bisa dihapus.
Neraka ada, tapi kobaran apinya bisa dipadamkan dengan Tobat.
Umat
beragama sering berbicara tentang agama, Tuhan, Surga dan Neraka. Tapi,
semua tak bertaut dengan yang bumi. Mereka di sana, dan manusia yang di
sini. Karena itu selalu ada jurang yang nganga. Ada gap yang membelah
dan memisahkan. Ada garis tegas damarkasi. Dan akhirnya, di sana ada:
Islam yang das sollen dan das sein. Islam yang diklaim sempurna dan
baik, tapi jejak-jejaknya kotor, jahat dan kadang bengis.
Entahlah...
Tapi setidaknya, begitulah orang beragama jamaknya. Kadang memberi kesan prihatin. Tapi juga tidak kalah sering meninggalkan kesan: Naif dan Absurd.
Beberapa minggu yang silam seorang teman mengatakan
kalau ICW itu beroleh kuxuran aliran dana dari Yahudi. Dikatakannya, ICW
mendapatkan per tahunnya kurang lebih 40 rb-an dollar. Dana itu dikucur
oleh Bloomberg, direktur ICW ( Internasional Corruption Watch ) yang
berpusat di Amerika.
Benarkah itu?
Mungkin saja benar. Tapi boleh jadi salah.
Yang utama harus kita renungkan bersama adalah bahwa ada prejudise,
sikap berburuk sangka terhadap hal-hal yang dituduhnya" Yahudi". Umat
Islam Indonesia itu, entah bagaimana selalu dijejali dengan semangat
kebencian terhadap yang dituduhnya " Yahudi".
Padahal kalau kita mau
sadar: semua hasil kemajuan dari invensi dalam bidang ilmu pengetahuan
dan tehnologi adalah dari pikiran dan karya orang-orang Yahudi. Para
peraih Nobel ilmu pengetahuan seluruhnya hampir orang Yahudi. Einstin
yang terkenal dengan teori-teori Relativitasnya juga Yahudi. Tapi, kita
acap bersikap tidak bisa berterima kasih.
Dan, yang paling dekat
tentulah apa yang sedang kita nikmati sekarang ini. Facebook adalah
karya dari Mark Zucker yang juga adalah Yahudi. Tapi, kita memanfaatnya?
Kita mengambil keuntungannya?
Karena itu sikap-sikap yang demikian itu sebenarnya juga sangat tidak logis dan kadang, mungkin absurd.
ICW Indonesia dirintis oleh Teten Masduqi dan Todung Mulya Lubis pada
akhir tahun 90 an. Tujuannya adalah memerangi tindak kejahatan korupsi
yang mewabah dan menggeragot negeri ini. Nyaris tidak ada departemen di
pemerintahan yang tidak diserang oleh wabah Korupsi. Bahkan untuk
departemen sekelas Diknas dan Depag saja riuh dengan korupsi.
Proyek-proyek pengadaan buku, Bos, peningkatan sdm guru, UN, di Diknas
ramai dengan Korupsi. Pengadaan Al Qur'an, bantuan lab dan fasilitas
lainnya, bantuan luar negeri, dana haji, di Depag: bingar dengan
Korupsi.
Karena itu, pada Soeharto pernah bilang:" itu tolong kok departemennya para santri kok banyak korupsinya juga?".
Bagaimana dengan departemen-departemen yang lain? Sudah diduga lebih hebat lagi.
ICW adalah organisasi swadaya masyarakat" NGO". Ia tidak mendapatkan
kucuran dana dari Pemerintah. Karena itu seperti NG0-NGO lainnya, mereka
harus mencari sumber-sumber dana sendiri untuk dapat menjalankan
misinya: mengawasi terjadinya tindak Korupsi.
Kita pasti tidak bisa
membayangkan kalau memerangi Korupsi hanya mengandalkan kepada aparat
penegak Hukum. Bukan saja kita sudah mafhum bahwa aparat penegak Hukum
sendiri adalah orang-orang yang kotor dan pecundang. Tentu saja bukan
hanya Djoko dan Labora. Tidak saja Hakim Setyabudi. Tapi di sana banyak.
Ada ratusan dan mungkin ribuan para aparat Hukum yang menyembunyikan
kekayaannya dari hasil Korupsi.
Dan kini, paska Reformasi Korupsi
ternyata tidak hanya mewabah di kalangan pejabat pemerintah. Tapi juga
tidak kalah hebat adalah para politisi. Para elit partai. Bahkan, partai
yang mengusung misi hendak memberantas Korupsi-pun akirnya terbukti
melahirkan elit yang menumpuk-numpuk kekayaan hasil korupsi.
Karena itu, kepada siapa Rakyat ini bisa mempercayakan Pemberantasan Korupsi?
Kepada para Ganster seperti Corruption Squad? Ada kelompok aparat bersih dan hendak membasmi habis para Koruptor?
Ataukah kita menunggu munculkan si Eraser? Terminator? Batman?
Tidak mungkin. Dan mustahil.
Harus ada lembaga-lembaga swadaya yang secara bersama-sama dan sinergi
melakukan perlawanan dan penyerangan mereka yang korup. ICW dan Media
Massa harus terus bekerja keras ikut mengungkap adanya Korupsi.
Saya dan anda pasti setuju dengan liputan Majalah Tempo tentang Rekening
Gendut Para Perwira Tinggi. Kita pasti bangga dengan laporan
penyelewengan Pajak Keluarga Cikeas seperti yang diungkap The Jakarta
Post.
Tapi kerja keras dari seluruh lapisan dan unsur masyarakat, maka Korupsi akan sulit dihancurkan.
Korupsi yang sudah rupa Kanker dan mengeragot dari dalam tubuh dan sel-sel jaringan tubuh negara ini.
Pendeknya' Corruption is Crime. Crime si illness. It must be erased and Punished!
Umat Islam sebagai komponen yang paling menentukan bagi penegakan
Negara Yang Bersih dan Sehat, harusnya bisa mendukung terjadinya
cita-cita dan harapan itu. Karena kalau tidak, Islam hanya akan menjadi
beban psikologis bagi generasi masa depan.
Pertanyaan yang sangat
sederhana dan bersahaja: Kenapa Indonesia hajinya paling besar, tapi
peringkat korupsinya tinggi? Kenapa para anggota dewan kebanyakan sudah
berhajai, tapi kok peringkat tertinggi ke 2 Korupsi adalah Dewan? Kenapa
partai yang elitnya nyaris hafis dan jebolan sekolah tinggi agama
Islam, kok juga tidak ada bedanya dengan yang sekuler dan liberal?
Ini akan menjadi beban psikologis hebat bagi sejarah masa depan Islam
Indonesia. Juga menjadi halangan stigmatis yang akan sulit dilalui
begitu saja.
Lalu apa jawab kita atas kenyataan-kenyataan yang moreng dan boreng? Kenyataan yang karut-marut?
Kita mungkin tidak hanya dibuat prihatin. Tapi, tentu saja malu.
Kalau boleh meminjam Puisi Taufik Ismail yang terkenal" Malu Aku Jadi
Orang Indoensia"?, maka itu juga berlaku kepada penganut agama Islam
sebagai mayoritas.
Good Morning all my friend.
Have a Nice Morning and Work.
About Unknown
RIC Karya
0 komentar :
Posting Komentar