SEBAGAIi seorang
intelektual muslim yang juga pernah menjadi guru dan dosen sekaligus tokoh
nasionalis, Abdurrahman Wahid juga memiliki konsep tentang pendidikan dan
perbaikan bangsa. Akan tetapi konsep pendidikan yang dimiliki sangat global
sehingga membutuhkan interpretasi ulang supaya bisa dijalankan. Ia berpendapat
dua raksasa di lingkungan gerakan-gerakan Islam, yaitu Muhammadiyah dan NU,
memimpin kesadaran berbangsa melalui jaringan pendidikan yang mereka buat.
Keduanya sangat dipengaruhi oleh apa yang berkembang di lingkungan gerakan
nasionalis.
Nasionalisme
dalam arti menolak penjajahan, berarti juga pencarian jati diri sejarah masa
lampau negeri sendiri. Hukum atau ajaran Islam memiliki arti besar pada
pemeluknya, meski tidak secara penuh. Islam merupakan penuntun dan sumber nilai
bagi para muslim. Adapun proses transformasi ajaran Islam itu bisa dilakukan
melalui berbagai jenis pendidikan. Dengan begitu Pendidikan agama Islam memiliki
tugas yang berat. Akan tetapi selama ini pedidikan di Indonesia dinilai gagal dalam
mengemban tugasnya.
Begitu
juga yang terjadi pada pendidikan agama yang seharusnya mengambil peran sentral
dalam membangun karakter masyarakat dalam kehidupan nyata. Ajaran agama yang
meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama (fiqh), keimanan (tauhid) dan
etika (akhlaq) sering disempitkan hanya kesusilaan belaka dan dalam sikap
hidup. Padahal ketiga unsur itulah yang menjadi modal penting dalam kehidupan bermasyarakat
para pemeluknya di era yang semakin modern.
Menghadapi
dunia yang semakin modern, pendidikan Islam harus mampu menyesuaikan diri. Dua
hal yang saling terkait dalam pendidikan Islam saat ini adalah pembaharuan (tajdid)
dan modernisasi (al-hadasah).
Dalam
pembaharuan pendidikan Islam ajaran-ajaran formal harus lebih diutamakan, dan
kaum muslimin harus dididik dengan ajaran-ajaran agama mereka. Adapun yang
diubah adalah cara-cara penyampaiannya sehingga ia akan mampu memahami dan
mempertahankan kebenaran. Adapun modernisasi pendidikan Islam menuntut umat
Islam untuk menjawab tantangan modernisasi.
Sementara
mengenai pendidikan nasional, Gus Dur menilai pendidikan nasional terlalu
mengikuti paham positivisme. Akibatnya, membuat lembaga pendidikan terpisah
dari masyarakat karena mengedepankan skill dan mengabaikan aspek
moralitas.149 Gus Dur mencontohkan para ilmuwan
Jerman
yang mau bekerja di bawah Hitler hanya mencari keuntungan materi belaka. Karena
tidak adanya standar moralitas maka Jerman yang pada waktu itu mempunyai motto
“Jerman ada di atas segala-galanya” kemudian menjajah negara lain yang berakhir
dengan Perang Dunia II.
Oleh
karena itu, pendidikan nasional harus dicarikan paradigma baru yang benar.
Untuk mencari hal tersebut, Gus Dur mengingatkan pada pergulatan dua pemikiran
yang selama ini sulit untuk disatukan, yaitu Populisme dan Elitisme.
Populisme mendekatkan pendidikan kepada rakyat sehingga orientasinya untuk
rakyat. Sementara elitisme berpandangan bahwa rakyat tidak tahu apa-apa, hanya
kaum elite yang mempunyai ketrampilanlah yang dapat menentukan nasib suatu
bangsa.150 Kedua hal tersebut adalah sesuatu yang seharusnya tidak terjadi
karena bertentangan dengan demokrasi.
Yang
seharusnya dilakukan saat ini adalah mensinergiskan elitisme dengan populisme
dalam bingkai profesionalisme. Profesionalisme menurut Gus Dur berarti juga
kesetiaan, serta tidak rancu dalam memahami sebab akibat, tentang arah dan
pengarah. Dengan demikian, pengembangan paradigma pendidikan nasional yang
benar dengan bersandar pada profesionalisme yang juga mempunyai akar-akar
populis akan membuat pendidikan nasional menjadi lebih baik. Profesionalisme
dalam pendidikan harus mengedepankan moralitas. Pendidikan yang memiliki acuan
moral yang benar dikaitkan dengan skill yang bagus akan mampu
menghasilkan ilmuwan dan juga generasi bangsa yang hebat di masa depan.
Karakter
Manusia Indonesia dalam Pandangan Gus Dur
Sebagai
Negara multikultural, perbedaan suku, agama, ras dan tradisi mewarnai kehidupan
bangsa Indonesia. Jika sudah demikian, diperlukan nilainilai paling Indonesia
yang perlu diperjuangkan dan harus dimiliki manusia Indonesia. Tentang karakter
manusia Indonesia, Gus Dur mengemukakan beberapa kelompok yang meninjau
karakter manusia Indonesia berdasarkan
perspektif
mereka masing-masing.
Pertama, pandangan
kaum kritikus sosial, diantaranya dikemukakan oleh Mochtar Lubis. Ia
menyebutkan bahwa manusia Indonesia adalah manusia pemalas, munafik, main dari
belakang dan sejenisnya. Pandangan ini disebut Gus Dur terutama dipegangi para
penulis tua untuk menanamkan rasa tanggung jawab yang penuh atas masa depan
bangsa dalam diri generasi muda. Karena kedudukan mereka sebagai kritikus, maka
harus berani mengungkapkan penyakit-penyakit utama dalam kehidupan berbangsa
dan bermasyarakat. Tanpa melakukan itu mereka akan kehilangan relevansinya di tengah
kehidupan bangsa Indonesia.
Kedua, versi
mereka yang idealis pada nilai-nilai luhur, mereka meletakkan semua pada nilai
luhur serba agung yang telah membawa bangsa pada kejayaan. Prinsip-prinsip itu
di antaranya sikap bijaksana, bangsa pecinta perdamaian, sopan, giat berkarya
tetapi memiliki akar yang dalam pada kehidupan yang kaya refleksi dan meditasi,
serta sabar namun tekun dalam membangun masyarakat yang adil. Menurut Gus Dur,
penilaian ini disebut sebagai idealisasi yang terlalu kekanak-kanakan.
Ketiga, pendapat
kaum akademisi yang dikembangkan, misalnya oleh Koentjaraningrat, yang tidak
menempuh dua jalan yang saling berkebalikan di atas, yakni penyesalan diri dan
pengidealan diri. Menurut pendekatan ini, mereka mengikuti apa yang empiris
dari yang dilakukan para sarjana. Dalam versi ini menyebutkan bahwa “sejumlah
orientasi tertentu ternyata menghadap pada sikap dan ketrampilan yang
diperlukan untuk mengambil inisiatif mengatasi tantangan modernisasi”.
Keempat, pandangan
kaum kebangsaan modern untuk menjadi Indonesia yang menurut Gus Dur lahir dari
pemuda-pemuda daerah dan gerakan Islam. Dari pemuda daerah kemudian membentuk
komunitas pemuda kepulauan tertentu, seperti jong java, jong sumatera dan
sebagainya. Di sini
Gus Dur
menunjukkan bahwa ada rasa memiliki terhadap dunia yang lebih luas dari dunia
mereka. Ada proses untuk melakukan pilihan antara ketundukan pada hidup lama di
satu sisi dengan mengikuti kehidupan modern di pihak lain.
Dari
pandangan di atas, Gus Dur menyebutkan masih adanya kekaburan tentang
nilai-nilai apa yang membentuk karakteristik bangsa Indonesia. Hal yang terjadi
adalah pengembaraan rohani tanpa batas jelas untuk mengembangkan nilai-nilai
dan orientasi baru. Dari penjelasan itu, Gus Dur berpendapat bahwa yang disebut
“paling Indonesia” di antara semua nilai adalah “pencarian tidak berkesudahan
akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali dengan masa lalu”.
Gus Dur menyebutnya dengan istilah “pencarian Harmoni”. Nilai-nilai Indonesia
itu menampilkan watak kosmopolitan, pluralis dan toleran, yang diiringi rasa
keagamaan yang kuat dengan tetap berpijak pada kekuatan dasar masyarakat
tradisional untuk mempertahankan diri berhadapan dengan kenyataan perubahan
yang selalu muncul dalam kehidupan sosial.
Refrensi:
Abdurahman Wahid, Islam Kosmopolitan,
Jakarta: The Wahid Institute, 2007
Abdurrahman
Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute,
2006), cet
II
Abdurrahman
Wahid, “Pendidikan di Indonesia antara Elitisme dan Populisme”, dalam
Mudjia
Rahardjo (ed), Quo Vadis Pendidikan Islam, (Malang: Cendekia Paramulya,
2006), cet. II,
Abdurrahman
Wahid, Misteri Kata-Kata, Jakarta: Pensil-324, 2010
Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus
Dur, Yogyakarta: LKiS, 2010, cet.II
Nur Khalik Ridwan, Gus Dur dan
Negara Pancasila, Yogyakarta: Tanah Air, 2010
0 komentar :
Posting Komentar