Suluk Sujinah
1. Suluk Sujinah Secara Umum
Suluk Sujinah merupakan jenis suluk yang pernah
digemari oleh masyarakat. Hal itu, terbukti dengan jumlah naskah yang relatif
cukup besar jika dibanding dengan naskah lain yang sejenis. Suluk ini cukup
populer di kalangan masyarakat sebagai bukti S. Bambang Purnomo telah
mendapatkan 13 buah naskah yang didapatkan di berbagai perpustakaan di
Yogyakarta dan Jakarta.[1] Di antaranya
adalah: di Museum Sono Budoyo dapat dijumpai 4 buah naskah, di perpustkaan
Fakultas Sastra UGM dan perpustakan pribadi Zoetmulder masing-masing terdapat
sebuah naskah sama, yaitu naskah yang telah diterbitkan oleh Penerbit
Bratakesawa, Yogyakarta. Sedangkan di Surakarta, di museum Radya Pustaka maupun
museum Mangkunegaran tidak dijumpai naskah ini. Sementara di Jakarta masih bisa
dijumpai delapan buah naskah, masing-masing sebuah di perpustakaan Fakultas
Sastra UI dan selebihnya tersimpan di perpustakaan Nasional.
Dalam
penelitian ini peneliti, memfokuskan pada naskah yang berada di Museum Sono
Budoyo, karena secara teknis lebih mudah bagi peneliti untuk menjangkaunya.
Dalam hal ini peneliti memilih naskah dengan nomor SB 149, yang merupakan salah satu naskah yang
jelas dan lengkap tulisannya, serta relatif lebih mudah dibaca dibandingkan
dengan naskah lain yang penulis temukan.
Di antara sejumlah naskah yang
tersimpan di Perpustakan Sono Budoyo adalah naskah dengan nomor SB 149 berjudul
Soeloek Soedjinah berjumlah 74
halaman. Naskah Soeloek Soedjinah
yang akan digunakan dalam penelitian ini,
akan diuraikan dalam sub bab tersendiri. Selanjutnya naskah ini disebut
naskah A. Kedua bernomor P.B.C 90 terdiri atas 50 halaman yang ditulis dengan
huruf Jawa dengan ukuran kecil, rapih
dan terbaca. Namun, pada beberapa bagian terlihat agak rusak, yang selanjutnya
disebut naskah B. Ketiga, naskah dengan nomor PBC 165 terdiri atas 32 halaman
ditulis dengan huruf Jawa berukuran sedang, berwarna hitam, tidak rapih dan
terdapat beberapa bagian yang sulit terbaca. Naskah ini disebut naskah C.
Keempat, naskah dengan nomor PBA. 98 terdiri atas 321 halaman, ditulis dengan
huruf Jawa berukuran sedang berwarna hitam, cukup jelas terbaca namun kurang
begitu rapih, disebut naskah D.
Setelah membaca dari hasil penelitian sebelumya dan mengamati sendiri
naskah-naskah yang tersebut di atas, maka tidak ada yang menunjukkan siapa
pencipta asli dan kapan atau dimana penulisan mula-mula dilakukan, yang ada
hanyalah penyalin dan waktu penyalinan. Selanjutnya, di bawah ini lebih lengkap diuraikan gambaran singkat yang berkaitan dengan nama
penyalin dan waktu penyalinan.
Di antaranya adalah naskah dengan
nomor SB 149 berjudul Soeloek Soedjinah
berjumlah 74 halaman. Naskah Suluk ini
yang akan digunakan sebagai objek dalam penelitian ini, dan akan
diuraikan dalam sub tersendiri. Kedua, naskah yang bernomor P.B.C 90, apabila
dilihat dari tulisan dan kertasnya diperkirakan penyalinannya dilakukan pada
sekitar tahun 1930-an. Ketiga, naskah dengan nomor PBC 165, disalin pada
tanggal 11 September 1908, oleh Somasukarsa, Jayasuryan, Surakarta. Keempat,
naskah dengan nomor PBA. 98 merupakan kumpulan beberapa teks suluk, antara lain: Suluk Sujinah,Suluk Syeh Malaya, dan Suluk Gatholoco. Nama penyalinnya adalah Ki Wangsaseja, pada 29
November 1903.
Suluk Sujinah Berdasarkan Naskah Nomor SB 149
Asal Usul Naskah
Judul naskah Suluk ini adalah Soeloek Soedjinah yang tertulis dengan
huruf Latin pada halaman pertama, dan pada halaman berikutnya tertulis juga “Punika Serat Sujinah”. Naskah Suluk Sujinah ini, yang diperoleh dari
daftar buku koleksi naskah di Museum Sono Budaya Yogyakarta dengan nomor SB 149
yang terdiri dari 74 halaman.
Nama penyalin naskah ini adalah
Nyai Haji Mushthafa asal Melangi, Sleman.
Hal ini sebagaimana tertera di dalam naskah ini, yang menyebutkan bahwa
naskah ini ditulis sendiri oleh Nyai Haji
Mushthafa. Naskah Suluk Sujinah
ini ditulis pada hari Sabtu Pon tanggal 23 Dzulqa’idah tahun 1328 Hijriyah atau
1906 M.[2]
Mengenai nama Sujinah dalam naskah
ini diambil dari salah seorang yang
berperan sebagai isteri. Dalam naskah ini, Sujinah merupakan sosok isteri yang
patuh kepada Allah, taat kepada suami, dan
juga hormat kepada kedua orang tua. Di samping itu, Sujinah juga
merupakan seorang wanita yang gigih dalam mencari ilmu. Dengan memperhatikan
isi cerita ini, diharapakan para pembaca dapat mengambil pelajaran, sehingga
dapat memberikan contoh, tuntunan dan bimbingan kepada anak cucunya dan
generasi mendatang. Hal ini seperti diuraikan oleh penyalin naskah ini bahwa “Punika Serat Sujinah lamun bisa ngerasa
caritane punika mangka tetep dadi wong tuwa”
Fisik Naskah
Kertas yang dipakai untuk naskah
ini adalah kertas duplikator tebal, sedang dari warna kertas yang sudah kuning
menandakan bahwa naskah sudah cukup lama namun belum termasuk golongan naskah
yang sudah tua sekali. Naskah dijilid dengan baik dan dibungkus kertas tebal
warna hitam,berukuran 22 x 18 cm. Sedangkan teks berukuran 14 x 12,5 cm.
Halaman judul terdapat pada halaman pertama. Di sini terdapat
tulisan Latin yang berbunyi : Soeloek
Soedjinah. Kemudian di bawah tulisan ini terdapat lingkaran dan di dalamnya berisi tahun penulisan, yang
berbunyi : “penget ingkang gadhah Serat
Sujinah punika Nyahi Haji Mushthafa dalem dhusun Melangi 1328 Hijriyah”. Halaman kedua terdapat tulisan dalam lingkaran
(berbentuk oval) yang berbunyi :”punika
Serat Sujinah lamun bisa ngerasa caritane mongka tetep dadi wong tuwa”.
Naskah ini secara keseluruhan
terdiri dari 11 baris dalam tiap halamannya, kecuali pada halaman terakhir
hanya terdiri dari dua baris. Namun dalam setiap penulisan tembang tidak adanya halaman baru, penulisannya
dilakukan secara terus menerus dan disambung di bawahnya. Sedangkan berkenaan
dengan tanda baca yang digunakan adalah: tanda koma dilambangkan dengan tanda
petik dibawah (,,), sebagai tanda
berakhirnya gatra (baris), dan tanda titik dilambangkan dengan
huruf ‘ain bersayap ( ), tanda ini sebagai lambang berakhirnya padha
(bait), sedangkan tanda yang dipakai untuk mengakhiri pupuh adalah dua
huruf ‘ain bersayap (
), tanda ini dipakai juga dalam menulis judul tembang baru.
Naskah ini ditulis dengan
menggunakan pena atau kalam (baca: pegesan
Jw.), berwarna hitam. Naskah ini tidak diberi nomor urut oleh penyalinnya,
namun penomoran dilakukan sendiri oleh
M. Jandra dalam translitrasinya. Sedangkan penjilidannya menggunakan benang dan
cukup bagus.
Tulisan Naskah
Naskah ini ditulis mengunakan
tulisan Arab Pegon[3] yang
ditranslitrasi oleh M. Jandra ke dalam huruf
Latin. Disamping itu tulisan ditambah adanya kutipan dan serapan
dari kata-kata Arab dan istilah-istilah
dari ajaran Islam,meskipun ada tulisan yang tidak tepat.
Bentuk Naskah
Naskah Suluk Sujinah ini,
berbentuk puisi Jawa dan ditulis dengan mengunakan tembang macapat[4] yang terdiri
dari :
1.Pupuh I Asmaradana berjumlah 35 bait.
2. Pupuh II Sinom berjumlah 34 bait.
3. Pupuh III Dhandhanggula berjumlah 28 bait.
4. Pupuh IV Kinanthi berjumlah 41 bait
5. Pupuh V Mijil berjumlah 49
bait
6. Pupuh VI Asmaradana berjumlah 37 bait
7. Pupuh VII Sinom berjumlah 20 bait
Sinopsis Suluk Sujinah
Seperti telah diuraikan pada bagian depan bahwa Suluk Sujinah ini terdiri dari tujuh
pupuh. Dalam bab ini akan disampaikan sinopsis dari masing-masing pupuh.
Pupuh
Asmaradana
Pada
pupuh ini diterangkan tentang perbedaan antara perempuan dan laki-laki,
kemudian diterangkan juga mengenai syahadat tujuh dan syahadat tiga. Adapun
syahadat tujuh adalah, syahadat orang awam, yaitu asyhadu an la ila>ha illa Allah wa asyhadu anna Muh}ammadan
rasu>lullah. Syaha>dah al-t}ari>qah, yaitu la ma’bu>dah illa Allah, syaha>dah haqi>qah, yaitu la mauju>da illa Allah, syaha>dah ma’rifah,
yaitu la ya’rifu illa Allah. Kemudian
syahadat batin, yaitu Allah-Allah jero ciptane, syahadat gaib, yaitu yahu-yahu, dan syaha>dah barzah,
yaitu haq-haq. Sedangkan syahadat
tiga adalah, syahadat muta’aww}}|ilah
(permulaan) ialah syahadat lafal yang dikerjakan lahir batin, yaitu syahida ila>hu annahu la ilaha illa huwa,
syaha>dah mutawassithah
(pertengahan), lafalnya, syahi>dina>
‘ala anfusina>, dan syaha>dah muta’ah}h}irah
(terakhir), lafalnya, la ila>ha illa
huwa. Adapun syahadat yang dipergunakan sehari-hari disebut syahadat syari’ah,
lafalnya la ila>ha illa Allah
Muh}ammad Rasu>lullah.
Pupuh
Sinom
Pupuh
ini menjelaskan mengenai macam-macam nafsu dan penjelasannya, pertama nafsu amarah merupakan pintu keduniaan, kedua
nafsu lawwa>mah adalah angin yang
keluar dari hidung, ketiga nafsu suiyyah
adalah air yang keluar dari dua jalan, dan keempat nafsu mut}mainnah adalah nafsu yang diperoleh dengan mengerjakan shalat.
Di samping itu, dalam pupuh ini dijelaskan tentang makna dan hikmah jumlah
rakaat shalat fardlu, dijelaskan pula 20 sifat wajib bagi Allah yang diringkas menjadi empat sifat, yaitu nafsiyyah, salbiyyah, ma’a>ni>,
dan ma’nawiyyah. Kemudian dijelaskan
20 sifat mustahil bagi Allah dan sifat jaiznya Allah.
Pupuh
Dhandanggula
Diterangkan
dalam pupuh ini berkaitan dengan sifat wajib, mustahil dan jaiznya para Rasul.
Sifat wajibnya Rasul di antaranya, s}iddi>q,
amanah, dan tabli>g, sifat mustahilnya kiz|b,
khiya>nah, dan kitma>n,
adapun sifat jaiz para Rasul seperti makan, minum, sakit dan sifat-sifat yang
dimilikinya sebagai manusia. Namun, para Rasul tidak boleh memiliki cacat tubuh
seperti bisu, tuli, buta, dan cacat-cacat tubuh lainnya. Pupuh ini juga
menjelaskan mengenai hal-hal yang harus diketahui dan dilakukan bagi setiap
mukmin baik laki-laki maupun perempuan, yaitu yang berkaitan dengan akhlak. Di
samping itu dijelaskan pula tentang proses kejadian dan penciptaan Nabiyullah
yang menerima zat Allah dan kemudian menjadi Nabi, karena Allah merupakan asal,
arah dan tujuan dari segala nyawa. Adapun proes penciptaannya dimulai dari, mud}gah, ‘alaqah, asfah, atqah, jabarullah,
ahmad, dan nukad gaib.
Pupuh
Kinanthi
Pada
pupuh ini diterangkan tentang makna huruf Hijaiyah dan mengenai masalah shalat
yang disertai makna tiap-tiap gerakan dalam shalat. Dalam shalat hati harus
bersih dari sifat khawatir dan was-was, harus ikhlas karena Allah, diresapi dan
dihayati lahir batin, baik dalam keadaan berdiri, rukuk maupun duduk. Niat
merupakan pekerjaan hati, yaitu jangan lalai dari mengingat Allah. Takbir
adalah harus eling dan khusu’ bahwa
tidak ada yang ada kecuali zat Allah. Membaca fatih}ah adalah menciptakan
munajat dengan Allah dalam shalat, langsung tanpa perantara untuk menuju
kehadirat-Nya. Ruku’ adalah menunjukkan lemahnya manusia dihadapan Allah, harus
mensyukuri terhadap anugerah-Nya, dan untuk senantiasa memohon ampun atas dosa
yang telah dilakukan. Duduk takhiyat artinya mengharap petunjuk dan rahmat dari
Allah, serta rahmat dan salam semoga tercurah kepada Nabi beserta keluarganya.
Salam yang kekanan adalah ditujukan untuk para malaikat yang memberikan
kemuliaan, salam yang kekiri untuk para malaikat katibin.
Pupuh Wiyos
Pupuh
ini menjelaskan tentang hakikat roh id}afi>, yang disebut sebagai a’yan tsabitah dan adam mumkin. Lebih lanjut
dalam pupuh ini menjelaskan tentang wujud sejati yaitu Nur Muhammad.
Pupuh
Asmaradana
Pada
Pupuh ini merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai Nur Muhammad sebagai asal
usul segala kejadian amal perbuatan dan ilmu pengetahuan, serta dengan
perantara Nur ini seluruh alam ini dijadikan.
Pupuh
Sinom
Pupuh
ini menjelaskan tentang asma sejati adalah milik Allah yang bersatu dalam zat,
sifat dan nama-Nya, dan Allah tidak ada
yang menyerupainnya.
Nilai-Nilai
Akhlak dalam Suluk Sujinah
Kasusasteraan Islam kejawen merupakan suatu
bentuk aktivitas tulis menulis para pujangga Jawa dalam mengungkapkan
nilai-nilai dan pandangan hidup dalam lingkup budaya Jawa, yang telah
berinteraksi dengan ajaran Islam. Dengan berkembangnya kasusasteraan Islam
kejawen menjadikan Islam mudah diterima sebagai agama di kalangan masyarakat
Jawa, meskipun sebelumnya sudah memiliki kepercayaan yang mapan. Adapun
nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra Islam kejawen ini adalah
perpaduan antara unsur-unsur Islam ( akidah, ibadah dan akhlak) dengan budaya
Jawa. Unsur-unsur inilah yang kemudian mewarnai isi dari karya-karya kasusasteraan lslam kejawen,
seperti Suluk Sujinah. Namun, dalam
pembahasan ini hanya difokuskan pada
aspek akhlak yang akan diuraikan lebih lanjut. Di samping itu,
nilai-nilai dalam suatu karya sastra merupakan sarana untuk memberikan berbagai
petunjuk atau nasehat yang berkaitan dengan pegetahuan keislaman sehingga pesan
yang dimaksud dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat.
Akhlak atau tingkah laku seseorang adalah sikap seseorang
yang dimanifestasikan ke dalam perbuatan. Akhlak merupakan perangai manusia
dalam diri.[5]
Sedangkan dalam budaya Jawa akhlak sering disebut budi luhur yang sinonim
dengan budi pekerti. Budi luhur diungkapkan pula dengan pekerti atau budi
pekerti yang mulia. Orang berbudi luhur adalah orang yang berwatak dan berbudi utama,berbudi tinggi dan mulia.[6]
Akhlak atau budi pekerti pada prinsipnya
mengarah pada sikap dan perilaku yang terpuji, arif dan bijaksana selaras
dengan pandangan hidup budayanya dan mengedepankan hakekat nilai kemanusiaan
demi terciptanya ketertiban, ketenteraman dan kebahagiaan dalam masyarakat.[7] Hal ini telah di kenal dalam masyarakat Jawa, bahwa setiap orang mempunyai tugas untuk menjaga
keselarasan dalam menjalankan kewajiban sosial, yaitu hubungan individu dengan
orang lain dan masyarakatnya.[8]
Untuk itu, setiap orang harus mengetahui tentang budayanya, yaitu mengetahui
tentang etika dan kewajiban di mana ia berada, dan setiap orang harus mentaati dan menjalani kehidupan sesuai
dengan tata tertib yang berlaku di masyarakat. Di antaranya adalah berbakti
kepada orang-orang yang lebih tua dan tinggi, memperlakukan yang lebih rendah
dengan tepa selira. Dengan demikian, diperlukan pengetahuan, penguasaan diri,
dan pengendalian dorongan emosi dalam menjalankan tata tertib yang sudah
berlaku dalam masyarakat.[9]
Di samping itu, dalam kehidupannya di dunia, manusia mempunyai
tugas yang harus dijalaninya agar memperoleh keselamatan dan kemuliaan. Untuk
itu, ia harus melakukan prinsip-prinsip perilaku kehidupan yang baik, agar ia
dapat memperoleh kebahagiaan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat. Menurut
pandangan dunia Jawa, manusia tidak diperkenankan untuk mengikat diri pada
dunia, tetapi itu bukan berarti manusia harus menarik diri pada dunia. Akan
tetapi, manusia hidup harus mempunyai kesanggupan untuk melepaskan diri dari
hawa nafsu dan pamrihnya. Dengan demikian, dalam hidup ini manusia diharapkan
dapat memenuhi tugasnya masing-masing dalam dunia demi terpeliharanya
masyarakat.[10] Uraian di atas terdapat dalam pupuh 1 Asmaradhana
bait 15 :
Prenatane tiyang urip, pinten
katahe pangeran, ingkang raka lon wuwuse,
aduh mirah garwaningwang, kelamun toya punika, tan ana wilanganipun,
prenatane wong agesang.
“Peraturannya hidup manusia, berapa
banyaknya pangeran, suaminya berkata dengan lemah lembut, aduh mirah istriku,
yaitu bagaikan air, yang tidak berbilang jumlahnya, peraturannya orang hidup.”
Tugas manusia di dunia ini banyak sekali,
sebagaimana uraian di atas dapat diibaratkan bahwa aturan-aturan hidup yang
harus dijalani manusia seperti air yang tidak bebilang jumlahnya. Hal ini
mengandung maksud, bahwa dalam menjalani kehidupan ini terdapat aturan atau
tata nilai yang harus dipatuhi dan dijadikan pedoman bagi setiap tindakan
manusia. Untuk itu, setiap langkah dan tindakan yang dilakukan oleh seseorang
dalam masyarakatnya harus dapat mewujudkan ketenteraman dan keteraturan. Dalam
hal ini, akhlak yang diperlukan sebagai dasar berlakunya prinsip-prinsip
perilaku setiap individu dalam masyarakatnya, yang kemudian akan menciptakan
keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat.
Selanjutnya,
di bawah ini akan diuraikan mengenai nilai-nilai akhlak dalam Suluk Sujinah, yang dapat dikelompokkan
menjadi :
1. Akhlak Secara Umum
Akhlak yang harus dimiliki oleh setiap manusia
sebagai insan yang telah diciptakan Allah, adalah dapat memberikan kemaslahatan
dan kemakmuran bagi alam semesta beserta isinya, seperti yang diuraikan dalam Suluk Sujinah. Adapun dalam mengarungi
kehidupan di dunia ini, setiap manusia memerlukan petunjuk supaya manusia tidak
tersesat dalam melangkah. Petunjuk berfungsi untuk mengarahkan manusia ke jalan
yang diridoi Allah SWT., yaitu sira>t
al-mustaqi>m (petunjuk jalan yang benar) dan setiap manusia perlu
membekali diri dengan sifat-sifat yang utama. Adapun jenis akhlak atau budi
pekerti yang secara umum harus dimiliki oleh setiap manusia mencakup: berkata
yang benar, amanah, sabar, menuntut ilmu, dan membaca al-Qur’an. Keterangan
lebih lanjut diuraikan di bawah ini :
a. Berkata yang Benar
Seorang
mukmin harus berusaha berkata yang benar, walaupun akan membawa dampak negatif
pada saat itu, namun berkata benar tersebut akan menyelamatkan dirinya di
kemudian hari. Berkata yang benar terhadap dirinya sendiri dapat menunjukkan
kejujuran seorang mukmin. Hal ini akan tercermin dalam perilakunya di
tengah-tengah masyarakat, uraian ini terlihat dalam pupuh 3 Dhandanggula
bait 13:
Apan hiya rerubane malih, ing
munkirun wa nakirun ika, pan kudu mantep lakune, kang patuh lawan ilmu, sarta
ikhlas amale kang becik, bersih ing (barang) karya, lan narimeng wuruk, dene
ruba kang kaping pat, ing timbange barang tutur ala becik, pan kanthi ‘ilmuning
sara’.
“Adapun beberapa perbuatan yang lain, yaitu perbuatan munkirun wa
nakirun (berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran) tersebut, harus mantap
kelakuannya, dan patuh dengan ilmu, serta ikhlas dalam beramal kebaikan, bersih
dalam melakukan (suatu) perbuatan, dan dalam menerima nasihat, dan bab yang
keempat, mempertimbangkan semua perkataan baik buruk, harus sesuai dengan ilmu
sara’.”
Di samping
itu seseorang dalam berbicara harus mempertimbangkan mana yang baik dan mana
yang tidak baik untuk dikatakan, hal ini terlihat dua baris terakhir di atas …ing timbange barang tutur ala becik, pan
kanthi ‘ilmuning sara’. Apa yang dikatakan setidak-tidaknya terdapat nilai
dan memberikan manfaat serta tidak bertentangan dengan adab kesopanan dan syari’at
agama.
Di samping
itu, dalam pergaulan baik dengan saudara, famili atau dengan masyarakat luas,
harus senantiasa berhati-hati dalam berperilaku baik dengan ucapan maupun
dengan tindakan terlebih lagi dengan perkataan, …ing sanak minter karuhe, tan ayun cidera ing wuwus.[11] Karena,
terkadang kalau tidak berhati-hati segala ucapan dapat menyebabkan orang lain
tersinggung. Untuk itu, sudah seharusnya setiap orang dapat menjaga ucapan yang
tidak bermanfaat dan dari perkataan yang menyakitkan.
Selain yang
telah disebutkan diatas, diantara etika pergaulan yang sudah berlaku dan
mengakar dalam kehidupan masyarakat adalah, dalam berbicara harus
mempertimbangkan mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk dikatakan, tidak
boleh menggerutu, tidak diperbolehkan untuk menggunjing, dan janganlah
berfikiran kotor. …marang kira-kira
sakehe, lan aja gerundel ing wuwus, angrasani samining jalmi, aja manih ngagung
ngena, ing pikir rusuh.[12] Karena
perbuatan yang demikian akan menyakiti hati dan perasaan orang lain.
b. Amanah
Selanjutnya, agar mendapat
petunjuk jalan yang lurus, setiap muslim harus senantiasa menjaga amanah yaitu
memelihara dan tidak mengurangi barang yang merupakan titipan ( …lawan aja ngelongi melik, barang kang rupa
titipan,iku nora patut).[13] Ketika pada saatnya
barang tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya dalam bentuk yang utuh
seperti semula. Seseorang dengan sengaja mengurangi barang titipan (tidak dapat
menjaga amanah atau khianat), berarti ia telah melakukan perbuatan yang tidak
pantas. Hal tersebut merupakan perbuatan yang dilarang dan tidak sesuai dengan
syari’at. Karena ketika seseorang tidak dapat menjaga amanah, maka ia termasuk
dalam golongan kaum munafik.
c. Sabar
Sabar berarti menahan dan
mengekang diri dari memperturutkan hawa nafsu. Kesabaran dibutuhkan oleh setiap
manusia ketika menghadapi problematika dalam hidup. Hal ini terdapat dalam pupuh
3 Dhandanggula bait 17:
Aja medot tobat tira mering widi,
ngelakonono shabar kesukuran, ing sanak minter karuhe, tan ayun cidera ing
wuwus, lawan manut karsaning laki, barang karsaning priya, kudu miturut,lan
asih paqir kasihan,hiya iku rubane suwaga adidene ingang kaping sanga.
“Janganlah kamu berhenti bertobat kepada Allah, lakukanlah shabar
kesyukuran, kepada saudara janganlah bersikap sewenang-wenang, selalu
menghindari berkata yang menyakitkan, dan mengikuti suaminya, semua yang
menjadi keinginan suami,harus diikuti,dan mengasihi fakir miskin yaitu
(merupakan perbuatan) yang menjadi jalan kesurga,dan yang kesembilan.”
Sebagaiman terlihat pada baris
pertama bait di atas …ngelakonono shabar kasukuran…, yang mengandung
maksud bahwa dengan sabar berarti seorang mempunyai harapan dalam menghadapi
keadaan yang sulit. Karena keadaan yang menimpa setiap orang merupakan sebuah
ujian dan harus dijalani dengan sikap optimis, dengan tetap berprasangka baik
kepada Allah. Karena Allah tidak akan membebani hambanya diluar kemampuannya.
d. Menuntut ilmu
Dalam melakukan perbuatan agar
mempunyai nilai ibadah dihadapan Allah SWT, maka amal perbuatan tersebut perlu
diiringi dan dilandasi ilmu. Untuk itulah manusia perlu memiliki komitmen yang
kuat untuk selalu menggali dan mengembangkan ilmunya. Manusia juga mempunyai kewajiban untuk menata
kehidupan ini berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan, yaitu dengan memanfaatkan
ilmu demi kepentingan masyarakat.
Ilmu harus dicapai dengan laku
yang mantap yaitu …pan kudu mantep
lakune, kang patuh lawan ilmu[14]
dan dengan kesungguhan hati yang akhirnya akan menghasilkan kepuasan batin.
Hal inilah yang dinamakan sebagai ilmu sejati
yaitu suatu ilmu yang dapat dicapai dengan laku dan hanya berguna
apabila diterjemahkan dalam perilaku sehari-hari. Laku dalam menuntut ilmu dapat membawa penghayatan batin bagi
kesempurnaan hidup untuk mempertinggi kemampuan dalam mengalahkan dan menguasai
hawa nafsu.
e. Membaca Al-Qur’an
Kandungan yang terdapat di dalam
al-Qur’an berupa aturan-aturan yang dapat dijadikan pedoman bagi umat manusia,
berupa perintah dan larangan, agar hidup manusia berada direl kebenaran. Hal
ini, dapat dilakukan dengan syarat bahwa seseorang harus membekali diri
terlebih dahulu dengan pengetahuan yang memadai dan sikap membuka diri untuk
memperoleh petunjuk-petunjuk suci al- Qur’an.[15] Untuk itu
setiap muslim dianjurkan untuk senantiasa membaca al-Qur’an (amaca Qur’an kitabe),[16] yang harus
disertai dengan mempelajari dan mengamalkan kandungan isinya.
2.Akhlak kepada Allah SWT. yang meliputi :
a. Taqwa
Sebagai hamba Allah SWT., manusia
mempunyai kewajiban untuk mengabdi dan menjalankan semua yang telah
disyari’atkan kepada mereka. Seorang
muslim harus senantiasa mengingat Allah SWT dan mempercayainya dengan sepenuh
keyakinan baik dengan ucapan, maupun dengan amal perbuatan, demikian disebutkan
dalam Suluk Sujinah pupuh 3 Dhandanggula
bait 14, bahwa setiap muslim harus … sarta
eling ing pangeran…, lebih
lengkapnya tertera dalam bait di bawah ini:
Sarta lawan asih padha jalmi, ana
dene ruba kang kaping lima, marang kira-kira sakehe, lan aja gerundel ing
wuwus, angrasani samining jalmi , aja manih ngagung ngena, ing pikir kang
rusuh, sarta eling ing pangeran,aja pegat sidqah hira saben ari, kaping nem
rerubaning yewang.
“Serta saling mengasihi dengan sesama, adapun bab yang kelima,
untuk setiap perbuatan , dan janganlah gerundel dalam ucapannya, megunjing
sesama teman, jangan terbersit sedikitpun untuk berkelakuan, dan berfikiran
kotor, serta harus selalu mengingat Allah, janganlah kamu berhenti bersodakoh
setiap hari, bab yang keenam (adalah bab untuk menuju) kepada Allah.”
Dalam hal ini ditegaskan juga
dalam pupuh 4 Kinanthi bait 20
Aja
ningali sira iku, marang osik ira yayi, duluha rahmat nugrahan, kang nyata
katon sireki, lan aja na pikir liyan, sangking Allah krana iling.
“Janganlah kamu melihat, kepada
(perbuatan yang tidak berguna) yayi, dahulukan rahmat dan anugerah, yang nyata
terlihat tidak bisa diingkari, dan jangan ada fikiran lain, dari selain
mengingat Allah.”
Mengingat Allah SWT mempunyai
makna bagi seorang hamba untuk senantiasa mensyukuri nikmat yang telah
dianugerahkan dan mengagumi alam semesta beserta isinya. Hal ini dapat
dilakukan oleh seorang muslim dengan berzikir menggunakan kalimat-kalimat yang
indah untuk memuji-Nya. Karena dengan demikian akan tumbuh ketundukan dan
ketaatan seorang hamba kepada khaliknya. Hal ini pula, yang menjadikan seorang
muslim tetap kuat dan tegar serta optimis dalam menjalani kehidupannya di dunia
ini.
Ketika
seorang muslim telah mengingat Allah, maka yang harus dikerjakan kemudian
adalah menjalankan perintah dengan ketaatan dan penuh kesadaran, yaitu dengan
beribadah. Hal ini dilakukan sebagai wujud syukur atas segala nikmat yang telah
diterimanya dari Allah. Dalam beribadah seorang muslim dituntut pula untuk
mengesakan Allah dan mengikuti ajaran yang dibawa oleh nabi dan rasul-Nya.
Mengesakan Allah berarti tidak mencari Tuhan selain Allah, yang diikuti dengan
menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Adapun wujud ketaatan hamba
dengan khaliknya diantaranya adalah dengan menjalankan shalat, seperti
diungkapkan dalam pupuh 5 Wiyos bait 4
Sejatine lakune wong ngurip, shalat raning kang wong, kang katemu
ing zahir batine, milanipun nabi kang linuwih, miwah para wali, ajrih nilar
wektu.
“Sebenarnya
perilaku hidup manusia, (yaitu) shalat yang harus dikerjakannya, yang bertemu
di dalam lahir batinnya, makanya nabi memiliki kelebihan, demikian juga dengan
wali, takut meninggalkan waktu.”
Demikian juga dalam pupuh yang lain ditegaskan:
Tan
ningali ing yewang ngagung, shalataira kabih iki, ningali Allah kiwala,
pangerasanira nerpati, aja mamang atenira, tan ana pangeran malih.[17]
“Dengan
melihat Yang Maha Agung, shalatnya kalian kerjakan ini, hanya melihat Allah
semata, dengan sepenuh hati, janganlah ada keraguan di dalam hatimu, tidak ada
Tuhan lagi selain Allah.”
Sholat adalah suatu ibadah yang
memiliki kedudukan yang tinggi apabila dibandingkan dengan ibadah-ibadah yang
lain dalam ajaran Islam. Hal ini
dinyatakan dalam beberapa ayat al-Qur’an diantaranya adalah dalam surat
An- Nisa’:103/4:103 yang artinya sebagai
berikut:
“Kemudian apabila kamu telah merasa aman maka dirikanlah
shalat,sesungguhnya shalat itu adalah fardlu yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman.”[18]
Shalat juga, merupakan penghubung antara hamba
dengan Tuhannya, sebagai tanda bagi orang yang beriman, dan merupakan wujud
nyata yang membuktikan keislaman seseorang. Seorang muslim disamping wajib
mengerjakan shalat yang lima waktu, dianjurkan juga untuk mengerjakan shalat
sunat, yaitu shalat tahajud, hajat, istikharah dan shalat sunat yang lain yang
ada tuntunannya. Mengerjakan shalat sunat pada sepertiga malam sangat
dianjurkan dan mengandung keutamaan bagi yang mengerjakannya, selain
mendapatkan banyak pahala dari Allah SWT. Sebagaimana uraian dalam Suluk Sujinah, … lan ja
tinggal shalat ing wengi, kerana anut panutan, shalat sunat iku, pan kathah
ganjaranira, lakanana aja pedhot saben wengi.[19]
Di samping itu, shalat yang
dilaksanakan dengan sempurna dan penuh kekhusyukan dapat mencegah dari
perbuatan yang keji dan mungkar. Maka, dalam Suluk Sujinah ini, masalah mengenai shalat diuraikan secara lengkap
dan disertai dengan penjelasan yang mudah diterima dan dapat dipahami oleh
masyarakat muslim Jawa.
Ibadah-ibadah
yang harus dikerjakan oleh seorang muslim disamping shalat adalah mengeluarkan
zakat, infak dan sodaqoh dan mengerjakan ibadah haji bagi yang menpunyai
kemampuan. Setiap muslim mempunyai kewajiban untuk mengeluarkan sodaqoh
termasuk zakat atau infak, dari setiap harta kekayaan yang di milikinya (aja pegat sidqah hira saben ari).[20] Karena harta
pada hakekatnya merupakan titipan Allah dan kepemilikannya tidaklah kekal.
Mengeluarkan
infaq dan sodaqoh berarti telah membersihkan harta yang kita miliki. Di samping
itu, sebagai upaya untuk menumbuhkan kepedulian dan sebagai wujud curahan kasih
sayang terhadap sesama yang kurang beruntung. Allah SWT menjanjikan untuk
melipatgandakan bagi siapa saja yang dengan ikhlas mengeluarkan sodaqoh (lan asih paqir kasihan).[21]
Demikian juga
dengan mengerjakan ibadah haji sebagaimana disebutkan dalam Suluk Sujinah, sasat kaji marang Mekah[22] merupakan kewajiban bagi setiap muslim ketika ia mampu,
dalam arti mempunyai kesanggupan dalam segi materi, fisik atau kesadaran
rohani, ibadah haji ini diwajibkan hanya sekali seumur hidup.
b. Ikhlas
Keikhlasan
dalam beramal yang baik, bagi seorang muslim haruslah berdasarkan niat mencari
ridla Allah SWT., dan bukan berdasarkan motivasi lain atau adanya pamrih. Dalam
beramal harus diikuti dengan niat yang ikhlas, dibuktikan dengan melakukan
perbuatan dengan sebaik-baiknya dan penuh kesungguhan ( …sarta ihlas amale kang becik, becik ing (barang) karya,lan narimeng
wuruk).[23]
Di samping
itu, ikhlas dalam pandangan Jawa berarti adanya kesediaan untuk melepaskan
kepentingan diri sendiri demi keselarasan dalam kehidupan bermasyarakat. Ikhlas
mempunyai makna yang sama dengan sikap rila
yaitu adanya kesediaan untuk melepaskan hak milik. Sikap ini harus dipandang
secara positif, sebagai suatu kemampuan untuk melepaskan sesuatu dengan penuh
pengertian.
c. Bersyukur
Syukur
merupakan suatu sikap memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah
dilakukan. Bersyukur terhadap segala karunia dan kenikmatan yang diberikan
Allah SWT harus diakui dan diketahui oleh setiap insan yang beriman. Karena
dengan rasa syukur, dalam menjalani kehidupan ini tidak akan sesulit yang kita
pikirkan, bahkan segalanya akan terasa indah sebagaimana diungkapkan dalam Suluk Sujinah bahwa seorang muslim
dianjurkan untuk ngelakonono shabar
kesukuran.[24]
Sebagai
seorang muslim dianjurkan untuk senantiasa bersabar dan bersyukur dalam
mengarungi kehidupan ini. Bersyukur ketika menerima nikmat dan bersabar ketika
menerima cobaan dan ujian dari Allah SWT. Karena dalam hidup ini tidak akan
selamanya seorang hamba mendapat ujian dari Allah dan juga tidak selamanya akan
diberikan nikmat. Kedua hal tersebut datangnya akan silih berganti, dan itu
merupakan bagian dari realitas kehidupan
manusia di dunia yang harus dijalaninya.
d.Taubat
Taubat
seorang hamba merupakan hal yang wajib dilakukan dan jangan sampai lalai atau
berhenti, yaitu aja medot tobat tira
maring widi[25].
Karena manusia sering kali melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan
syari’at baik meninggalkan kewajiban atau melanggar larangannya.
Bertaubat harus disegerakan karena
setiap manusia tidak mengetahui kapan datangnya kematian. Kematian adalah
sebuah misteri dan hanya Allah SWT yang mengetahuinya. Maka ketika seorang
muslim menyadari telah berbuat kesalahan atau kemaksiatan, harus segera
bertaubat kepada Allah SWT tanpa menunda. Seorang muslim dianjurkan untuk
selalu bertaubat kepada Allah (…sejakna anenuwun, pangapura yang Maha suji)[26] sekalipun dia
tidak mengetahui kesalahannya, sebab tanpa disadarinya terkadang kita berbuat
kesalahan.
Sebesar apapun perbuatan dosa yang
telah dilakukan oleh seseorang, apabila
ia bertaubat dan berjanji tidak akan mengulanginya, Allah SWT pasti
mengampuninya. Allah SWT maha penerima taubat, tidak ada istilah terlambat
untuk kembali kejalan yang benar. Pintu taubat sudah tertutup ketika nyawa
sudah berada di tenggorokan atau matahari sudah terbit di barat.
Ketika
seorang muslim sudah melaksanakan taubat dan memohon dengan sungguh-sungguh
ampunan dari Allah SWT., maka hal yang harus dilakukan adalah meninggalkan
perbuatan maksiat dan menjauhi hal-hal yang diharamkan (…tinggal lampah mangshiyat, lan ngedahi ingkang haram).[27]
Kemudian meminta
ampunan kepada Allah SWT dan berjanji tidak akan mengulanginya, yang
diiringi dengan amal shaleh untuk menutupi kesalahan yang telah dilakukan pada
masa lalu.
3. Akhlak dalam Keluarga
a. Berbakti kepada Kedua OrangTua
Berbakti
kepada kedua orang tua (birrul walidain)
mempunyai kedudukan yang istimewa baik dalam ajaran Islam maupun dalam budaya
Jawa, sebagaimana Firman-Nya dalam al-Qur’an yang diletakkan langsung sesudah
perintah beribadah kepada-Nya.[28]
Di samping
itu, Rasulullah meletakkan birr
al-walidain sebagai amalan nomor dua terbaik sesudah shalat tepat pada
waktunya, [29] dan juga menempatkan durhaka kepada ibu bapak sebagai
dosa besar nomor dua sesudah syirik.[30] Hal ini juga
disebutkan dalam Suluk Sujinah pupuh
Sinom bait 8 yaitu;
Retna
Sujinah matur sembah, maring raka matur aris, leres ingkang pangandika, wangsul
bebektane bibi, miwah ing rama mami, miwah bektening Yewang Ngagung, ingkang
dating kawula, kiyahi syekh ngandika aris, garwaningsun wong ngayu asung
wigena.
“Retna
Sujinah berkata dengan menghaturkan sembah, dan berkata lemanh lembut
kepada suaminya, benar yang anda ucapkan maka berbaktilah kepada bibi, yaitu
kepada ibu bapak, dan kemudian berbaktilah kepada Allah SWT., hal inilah yang
dapat aku sampaikan, kiyahi Syekh berkata dengan lemah lembut, istriku yang
cantik dan senantiasa memberikan kebahagiaan.”
Dari pernyataan tersebut
mengandung maksud bahwa seorang anak harus berbakti kepada Allah yang kemudian
harus berbakti kepada orang tuanya, karena keridhaan Allah terletak pada
keridhaan kedua orang tua.
Sedangkan
dalam pandangan budaya jawa, orang tua adalah sebagai wakil kehidupan yang
berhak mendapatkan penghormatan tertinggi, dan anak harus ngabekti, berbakti dan melayani mereka. Seorang anak akan berdosa
jika tidak berbakti kepada orang tua, tidak mematuhi nasihat mereka, atau
melukai perasaan mereka. Perilaku-perilaku demikian dianggap merupakan
pelanggaran serius terhadap tatanan moral, secara otomatis akan ada hukuman,
dan lebih dikenal dengan walat
(sebuah hukuman keras yang terkait dengan pemahaman tentang sifat tak boleh
dilawannya orang tua).[31] Sudah
sewajarnya ketika seorang anak berlaku idep
maring wong sepuh [32] yaitu, menjadi anak yang berbakti
kepada orang tua, penuh santun dan kelembutan dalam berbicara serta bertutur
kata agar tidak menyinggung perasaan kedua orang tua.
[1] S.Bambang
Purnomo, Suluk Sujinah, Sebuah Karya
Tasawuf di Jawa Wawasan Filologi Terbatas (Yogyakarta:Skripsi
UGM, 1984), hlm. 64.
[2]
M.Jandra, “Suluk Sujinah Sebuah Tinjauan dari Aspek Akidah Islamiyah” (Yogyakarta: Proyek PTA. IAIN Sunan
Kalijaga,1987), hlm.16.
[3] Khususnya di
Jawa, huruf Arab Pegon adalah huruf Arab yang digunakan untuk menulis
dalam bahasa Jawa: Oemar Amin Hoesein, Kultur
Islam (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1975), hlm. 519. Huruf Arab Pegon
biasanya digunakan di lingkungan masyarakat Islam yang mempunyai kesadaran beragama
yang cukup tinggi: M.Darori Amin, “Aspek
Ketuhanan dalam Sastra Suluk (Studi Analisa Terhadap Suluk Sujinah)” (Semarang: P3M IAIN Walisongo, 1998), hlm. 33.
[4] Kata macapat
berasal dari perpaduan kata maca (baca: membaca) dengan kata pat
(baca: empat), yang artinya cara membaca atau melagukan syair atau puisi Jawa
dengan dipenggal atau diputus empat-empat, tidak selalu pemenggalan lagu itu
empat-empat, namun ada yang dua-tiga, tiga-dua, tiga-tiga dan sebagainya: Siti
Zawimah, Abu Seri Dimyati, M. Damami, “Macapatan: Sebagai Alternatif Alat
Dakwah” (Yogyakarta: Balai Penelitian P3M IAIN Sunan Kalijaga, 1985), hlm.
7.
[5] Endang
Syaifuddin Anshari,Wawasan Islam:
Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam dan Umatnya (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hlm.
29.
[6] Moh. Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme
Mangkunegara IV: Studi Serat-Serat Piwulang (Yogyakarta: PT.Dana Bakti
Wakaf, 1995), hlm. 145.
[7] Saliyun
M.Amir, dkk., “Budi Pekerti Tak Perlu Menjadi Mapel,” dalam Rindang (Semarang: Penerbit Yayasan Kesejahteraan
Karyawan Kantor Depag. Prop. Jawa Tengah, No. 5 Th. XXVI Desember 2000),
hlm. 30.
[8] Niels Mulder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional
(Yogykarta: Gadjah Mada University Press,1984), hlm. 37.
[9] Niels Mulder,Mistisisme Jawa: Idiologi di Indonesia
(Yogyakarta: Penerbit LKiS, 2001),
hlm. 90.
[10] Frans Magnis-Suseno,
Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi
tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta:PT.
Gramedia, 1996), hlm. 145.
[11] “Pupuh 3
Dhandanggula: 17”
[12] “Pupuh 3
Dhandanggula: 14”
[13] “Pupuh 3
Dhandanggula: 15”
[14] “Pupuh 3
Dhandanggula: 13”
[15] Husain
Haikal, “Al-Qur’an dan Fenomena Religio-Magisme”, Rindang (Semarang: Penerbit Yayasan Kesejahteraan Karyawan Kantor
Depag. Prop. Jawa Tengah No II TH.
XXV Juni 2000), hlm. 33.
[16] “Pupuh 3
Dhandanggula: 16”
[17] “Pupuh 4
Sekar Kinanthi : 26”
[18] Departemen
Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta:
Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an,
1983), hlm. 138.
[19] “Pupuh 3
Dhandanggula: 18”
[20] “Pupuh 3
Dhandanggula: 14”
[21]“ Pupuh 3
Dhandanggula: 17”
[22] “Pupuh 3
Dhandanggula: 19”
[23]“ Pupuh 3
Dhandanggula: 13”
[24] “Pupuh 3
Dhandanggula: 17”
[25] “Pupuh 3
Dhandanggula: 17”
[26] “Pupuh 3
Dhandanggula: 16”
[27] “Pupuh 3
Dhandanggula: 16”
[28] Sebagaimana
Firman Allah dalam Al-Qur’an surat
al-Baqarah: 83/2:83, yang artinya: “Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji
dari Bani Israil yaitu:”Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat
baiklah kepada Ibu bapak …”. Departemen Agama R.I., Al-Qur’an, hlm. 23.
[29] Diriwayatkan
dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah ibn Mas’ud RA., dia berkata:”Aku bertanya
kepada Nabi SAW: Apa amalan yang paling disukai oleh Allah SWT ? Beliau
menjawab :’’shalat tepat pada waktunya”, kemudian aku bertanya lagi : kemudian
apa ? Beliau menjawab “birrul walidain”, kemudian aku bertanya lagi:
seterusnya apa ? Beliau menjawab: Jihad
fi Sabilillah”. (Hadits Muttafafaqun ‘alaihi)
[30]
“Diriwayatkan oleh Abu Bakrah Nufa’I Ibn al Harits RA.,dia berkata :”Rasulullah
SAW bersabda :” Tidakkah akan aku beritahukan kepada kalian dosa-dosa yang
paling besar ? Beliau mengulangi lagi pertanyaan tersebut tiga kali. Kemudian
para sahabat mengiyakan. Lalu Rasulullah SAW menyebutkan :”Yaitu
mempersekutukan Allah dan durhaka kepada Ibu Bapak “. Kemudian beliau merobah
duduknya yang semula bersitekan menjadi duduk biasa dan berkata lagi :” Begitu
juga perkataan dan sumpah palsu.”Beliau mengulangi lagi hal yang demikian
hingga kami mengharapkan mudah-mudahan beliau tidak menambahnya lagi”. (Hadis
Muttafaqun ‘alaihi)
[31] Mulder, Mistisisme,
hlm. 99.
[32] “Pupuh 3
Dhandanggula: 15”
0 komentar :
Posting Komentar