Namun
untuk isu separatisme seperti Papua merdeka yang dengan rapi
disampaikan kelompok separatis di internet, intervensi
negara-negara lain ke Indonesia, belum banyak pengguna media sosial yang
melakukan pembelaan terhadap NKRI. “bela negara bisa kita lakukan di media
sosial, namun tetap harus dengan prinsip use soft word dan hard argument, berbasis data.
Di era digital semua orang hakikatnya adalah diplomat, saatnya ilmu Bahasa asing
dan diplomasi kita amalkan, jika tidak bisa
dengan akun kita, bisa dengan akun lain”, lanjut Hariqo yang juga alumnus Unv
Paramadina Jurusan Diplomasi Internasional ini.
Terkait keinginan menertiban
media sosial yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan, Luhut Binsar Panjaitan. Ini seperti meloncat, sebaiknya yang diperkuat
terlebih dahulu adalah pemahaman tentang kepentingan nasional Indonesia di
masyarakat, utamanya anak-anak muda pengguna media sosial. Kelihatannya
sederhana, namun tidak mudah mengubah kebiasaan, dari memposting/tweet tentang
status pribadi (sedang makan, minum) kepada membela kepentingan nasional. Berikan
pendidikan media sosial, jelaskan apa saja yang bisa dilakukan untuk
kepentingan nasional. Karena kalimat “penertiban” cenderung akan dipahami “pelarangan”,
jika pemahaman tentang kepentingan nasional belum merata. Satu hal lagi, Memperjuangkan
kepentingan nasional di media sosial, bukan berarti membela semua keputusan
pemerintah, sebab juga tidak menutup kemungkinan, banyak juga langkah dan
keputusan pemerintah yang berpotensi merugikan kepentingan nasional.
TIGA
ISU UTAMA DI MEDSOS
Tiga level pengguna
media sosial di Indonesia; pertama, mereka yang menggunakan medsos untuk kepentingan
pribadi, kedua, mereka yang menggunakan medsos untuk kepentingan organisasi,
dan ketiga, mereka yang menggunakan media sosial untuk kepentingan nasional.
“Yang ketiga ini yang belum banyak, namun terus meningkat, terlihat dari
banyaknya anak-anak muda yang mempromosikan pariwisata, kuliner dan
produk-produk lokal Indonesia dengan sukarela di media sosial”, jelas Hariqo
Wibawa Wibawa Satria (Direktur Eksekutif KOMUNIKONTEN),
Sabtu, 28 November 2015
Namun
untuk isu seperti Papua merdeka yang dengan rapi disampaikan kelompok separatis
di internet, belum banyak pengguna media sosial yang melakukan pembelaan
terhadap NKRI. “bela negara bisa kita lakukan di media sosial, namun tetap
harus dengan prinsip use soft word dan hard argument, di era digital semua
orang hakikatnya adalah diplomat, saatnya ilmu Bahasa asing dan diplomasi kita
amalkan”, lanjut Hariqo yang juga alumnus Unv Paramadina Jurusan Diplomasi
Internasional ini.
TIGA ISU UTAMA DI MEDSOS
Perubahan berjalan, dulu
kita dihidangkan konten sekarang kita kokinya.
Sekarang kita bisa
memproduksi konten seperti;
tulisan, foto, video, poster, meme, infografis, news, dan konten lainnya. Di era
digital setiap orang bisa punya tv, radio, media online sekaligus. Di era media
sosial setiap orang adalah kantor berita.
Dulu, masyarakat mengkritik media
seperti koran, tv, radio
jika menyajikan konten yang tidak mendidik. Di era digital, masyarakat dituntut
menjalankan kritiknya
pada media tersebut. Di Indonesia saat ini, setidaknya
terdapat tiga isu utama terkait penggunaan media sosial: 1)
keamanan, 2) kreatifitas,
dan 3) kolaborasi.
Isu keamanan yang paling
disorot adalah, keamanan pengguna media sosial itu sendiri, utamanya anak-anak
dan remaja. Kasus pemerkosaan, penipuan, pembajakan banyak sekali dialami
pengguna media sosial. Isu keamanan lainnya adalah minimnya pengetahuan
pengguna media sosial tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di media
sosial. Hanya butuh 30 menit membuat akun medsos, tetapi
dibutuhkan tahapan yang tidak sebentar, untuk mendidik penggunanya dapat
menggunakannya dengan benar dan bijaksana serta bermanfaat. Sebaiknya sebelum
membuat media sosial kita baca dulu aturannya, jangan asal centang “agree”
saja. Surat Edaran Kapolri mengenai ujaran kebencian juga dalam rangka menjaga keamanan, agar media sosial
tidak merugikan orang lain. Kita bahas dibawah.
Isu
kreatifitas cukup beragam, yang paling dominan adalah penggunaan media sosial
selain sekedar mencari teman,
seperti untuk tujuan ekonomi, politik, pendidikan,
diplomasi, dll. Semakin banyak konten yang dipload di internet menunjukan
semakin kreatif suatu bangsa. Karenanya generasi muda Indonesia tidak boleh
hanya sekedar menjadi generasi download, tapi juga uploader. Media sosial
sendiri merupakan satu kreatifitas yang lahir dari kejelian melihat peluang
kebutuhan komunikasi dan aktualisasi setiap orang. Karenanya media sosial karya
anak bangsa perlu didukung oleh swasta atau pemerintah. Pembuat medsos cepat
kaya, karena banyak yang pasang iklan di medsos. Alangkah mantapnya kalau orang
itu dari Indonesia.
Sedangkan isu kolaborasi
adalah, bagaimana pengguna media sosial berkolaborasi dalam hal positif seperti,
mempromosikan pariwisata Indonesia, produk lokal yang produsennya hanya mampu produksi,
tapi tidak punya biaya promosi, kolaborasi dalam anti korupsi, isu lingkungan,
serta kolaborasi dalam membela kepentingan nasional NKRI. Disini perlu disadari bahwa bela negara tidak
hanya didarat dan udara, tapi juga di dunia maya. Itu sebab beberapa negara punya
pasukan cyber. Namun pasukan cyber tanpa dukungan masyarakat negara tersebut
juga tidak akan kuat. Kolaborasi ini yang harus ditingkatkan.
TWITTER JUGA MELARANG KONTEN KEBENCIAN
Terkait
dengan terbitnya Surat Edaran Kapolri mengenai ujaran kebencian atau hate
speech, ini
merupakan isu keamanan di media sosial. Jangan sampai ini hanya untuk membungkam
atau menakut-nakuti orang-orang yang mengkritik pemerintah, tetapi harus
memberikan rasa aman bagi siapapun. Intinya apa yang tidak boleh dilakukan di dunia
nyata, jangan lakukan di dunia maya. Satu postingnan bohong bisa bikin
kerusuhan di darat, satu poster fitnah bisa meruntuhkan bangunan NKRI.
Hati-hati juga adu domba antar golongan di media sosial. Soal bahayanya ujaran
kebencian di media sosial bukanlah hal
baru, karena kalau kita baca aturan di twitter, lebih kurang juga sama.
Twitter juga melarang promosi konten
kebencian, topik sensitif, dan kekerasan secara global. Konten kebencian, yang dimaksud dalam kebijakan ini adalah konten
yang menghasut individu, organisasi, atau grup berdasarkan: ras, suku bangsa, asal negara, warna kulit, agama, ketidakmampuan fisik atau mental, usia, jenis kelamin, Hal ini bisa dibaca lengkap di https://support.twitter.com/ articles/20172302.
Masalahnya,
kebanyakan orang membuat media sosial dengan cepat, tanpa membaca aturan yang
dibuat oleh media sosial itu sendiri. Karenanya, sebelum
membuat akun media sosial, kita baca dulu aturannya, jangan asal centang
“agree” saja. Ini mirip dengan kita beli barang elektronik atau obat, tidak
kita membiasakan diri membaca buku petunjuk penggunaan, kebanyakan memilik
mendengarkan penjelasan dari yang sudah menggunakan, meskipun yang sudah
menggunakan juga belum tentu membaca buku petunjuk. Guru, orangtua, para pemuka
agama juga harus sering mengingatkan agar masyarakat hati-hati menggunakan
media sosial dan kritis terhadap informasi di media sosial
Demikian
siaran pers ini disampaikan, terima kasih atas perhatiannya
Depok,
Jawa Barat, 28 November 2015
Hormat
kami,
Hariqo Wibawa Satria, M.Si
Direktur Eksekutif Komunikonten
0 komentar :
Posting Komentar