Pemikiran Al-Ghozali Tentang Pendidikan Berbasis Tingkah Laku Efektif


SECARA historis upaya krisis akhlak yang terjadi di masyarakat Islam pada zaman tersebut akhirnya Islam mengalami kehancuran  yang antara lain disebabkan umat Islam tidak siap memikul lahan pembangunan yang terasa semakin lekat saat itu,[1] ketidaksiapan ini disebabkan karena akhlaknya merosot. Maka timbulah ulama-ulama yang ingin memperbaiki kemerosotan jasmaniah dan rohaniyah (dalam hal ini akhlak).

Konsepsi pendidikan model Islam, tidak hanya melihat pendidikan itu sebagai upaya ‘mencerdaskan’ semata (pendidikan intelek, kecerdasan), melainkan sejalan dengan konsep Islam tentang manusia dan hakekat eksistensinya. Maka, pendidikan Islam sebagai suatu pranata sosial, juga sangat terkait dengan pandangan Islam tentang hakekat keberadaan (eksistensi) manusia. Oleh karena itu, pendidikan Islam juga berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran bahwa manusia itu sama di depan Allah dan perbedaannya adalah terletak pada kadar ketaqwaan masing-masing manusia, sebagai bentuk perbedaan secara kualitatif”.[2]
Pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spiritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam,[3] atau menurut Abdurrahman an-Nahlawi, “pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah.[4]
Pendidikan Islam bukan sekedar “transfer of knowledge” ataupun “transfer of training”, ....tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi “keimanan” dan “kesalehan”, yaitu suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan.[5] Dengan demikian, dapat dikatakan pendidikan Islam merupakan suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Maka sosok pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang membawa manusia kearah kebahagian dunia dan akhirat melalui ilmu dan ibadah. Karena pendidikan Islam membawa manusia untuk kebahagian dunia dan akhirat, maka yang harus diperhatikan adalah “nilai-nilai Islam tentang manusia; hakekat dan sifat-sifatnya, misi dan tujuan hidupnya di dunia ini dan akhirat nanti, hak dan kewajibannya sebagai individu dan anggota masyarakat. Semua ini dapat kita jumpai dalam al-Qur'an dan Hadits”.[6]

PERMASALAHAN
Dalam makalah ini akan dibahas permasalahan inti dalam filsafat pendidikan, tentang sesuatu yang menjadi konsepsi dalam ranah aksiologi ilmu filsafat, yakni tingkah laku manusia karena manusia sebagai objek kajian ilmu; yaitu “Bagaimanakah pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan berbasis tingkah laku efektif?”



PEMBAHASAN
A.    Imam Al-Ghazali, Riwayat, Karya dan Pemikirannya
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, yang lebih dikenal dengan Imam Al-Ghazali lahir pada tahun 450 H/ 1058 M di Thus wilayah Khurasan. Al-Ghazali wafat di provinsi Thus pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H bertepatan dengan 1 Desember 1111 M.[7]
Al-Ghazali mulai menuntut ilmu agama di desa kelahirannya Ghazalah pada seorang sufi sahabat ayahnya, sebenarnya secara alami hidup dan ajaran ayahnya mempunyai pengaruh yang positif bagi pola pikir di masa kecilnya, guru pertama bagi pendidikannya yang dikenal sebagai sufi yang saleh.
Pada tahun 479 H. al-Ghazali melanjutkan pelajarannya ke Jurhan sebuah kota yang terletak tidak jauh dari Khurasan, di sana ia berguru dengan Abu Nashr al-Isma’ili. Kemudian ia kembali ke Thus dan dari sana ia melanjutkan ke Naysabur dan masuk sekolah tinggi Nizamiyah, ilmu-ilmu yang variatif didapatnya dari Abu Al-Ma’li Dhiauddin al-Juwayni (w. 1085 M/ 1478 H) dan ia menuju Baghdad dan menjadi guru besar di Universitas yang didirikan oleh Nizam al-Mulk, seorang perdana menteri Bani Saljuk.
Di antara karya-karya al-Ghazali adalah al-Basith, al-Waqiz Khulasah Ilm Fiqh, al-Munqiz fi Ilm al-Jadal, Ma’khaz al-Kalaf, Lubab al-Nazar, Tahsin al-Ma’akhidz, dan Mawadi wa al-Ghayat fi fan al-Khalaj, dan ditambah lagi pemikiran pendidikan al-Ghazali termuat dalam tiga buku karangannya, yaitu Fatihat al-Kitab, Ayyuha al-Walad dan Ihya ‘Ulumuddin. Ditambah ada lagi karya alGhazali yait al-Munqiz min al-Dhalal dan Maqasid al-Falasifah serta Tahafut al-Falasifah.
Al-Ghazali termasuk filosof pendidikan Islam berpaham empiris, yang menekankan pentingnya pendidikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Menurutnya, seorang anak tergantung kepada orang tuanya yang mendidiknya. Seorang anak hatinya bersih, murni, laksana permata yang amat berharga, sederhana dan bersih dari gambaran apapun. Jika anak menerima ajaran dan kebiasaan perbuatan buruk dan jahat, maka ia akan berakhlak jelek.
Tujuan pendidikan (jangka pendek) menurut al-Ghazali ialah diraihnya profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Syarat untuk mencapai tujuan itu, manusia harus memanfaatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai dengan bakatnya.
Berhubungan dengan tujuan jangka pendek, yaitu terwujudnya kemampuan manusia untuk melaksanakan tugas-tugas keduniaan dengan baik, al-Ghazali menyinggung masalah pangkat, kedudukan, kemegahan, dan kemuliaan dunia secara naluri. Semua itu bukan menjadi tujuan dasar seseorang yang melibatkan diri dalam dunia pendidikan.
Adapun tujuan pendidikan (jangka panjang) menurut al-Ghazali adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, bukan untuk mencari kedudukan, kemegahan atau mendapatkan kedudukan yang menghasilkan uang. Jika tujuan pendidikan bukan diarahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan.[8]

B.     Pendidikan Berbasis Tingkah Laku Efektif
Para ahli Filsafat Pendidikan, menyatakan bahwa dalam merumuskan pengertian pendidikan sebenarnya sangat tergantung kepada pandangan terhadap manusia; hakikat, sifat-sifat atau karakteristik dan tujuan hidup manusia itu sendiri. Perumusan pendidikan bergantung kepada pandangan hidupnya, "apakah manusia dilihat sebagai kesatuan badan dan jasmani; badan, jiwa dan roh, atau jasmani dan rohani? Apakah manusia pada hakekatnya dianggap memiliki kemampuan bawaan [innate] yang menentukan perkembangannya dalam lingkungannya, atau lingkungannya-lah yang menentukan [domain] dalam perkembangan manusia? Bagimanakah kedudukan individu dalam masyarakat? Apakah tuj uan hidup manusia? Apakah manusia dianggap hanya hidup sekali di dunia ini, ataukah hidup lagi di hari kemudian [akhirat]? Demikian beberapa pertanyaan filosofis" yang diajukan.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, memerlukan jawaban yang menentukan pandangan terhadap hakekat dan tujuan pendidikan, dan dari sini juga sebagai pangkal perbedaan rumusan pendidikan atau timbulnya aliran-aliran pendidikan seperti; pendidikan Islam, Kristen, Liberal, progresif atau pragmatis, komunis, demokratis, dan lain-lain. Dengan demikian, terdapat keaneka ragaman pendangan tentang pendidikan. Tetapi, "dalam keanekaragaman pandangan tentang pendidikan terdapat titik-titik persamaan tentang pengertian pendidikan, yaitu pendidikan dilihat sebagai suatu proses; karena dengan proses itu seseorang [dewasa] secara sengaja mengarahkan pertumbuhan atau perkembangan seseorang [yang belum dewasa]. Proses adalah kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang sesuai dengan nilai-nilai yang merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Maka, dengan pengertian atau definisi itu, kegiatan atau proses pendidikan hanya berlaku pada manusia tidak pada hewan".[9]
Dari uraian di atas, timbul pertanyaan apakah Pendidikan Islam itu? Pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spiritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam,[10] atau menurut Abdurrahman an-Nahlawi, "pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah”.[11]
Dari pandangan ini, dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam bukan sekedar " transfer of knowledge " ataupun " transfer of training ", ....tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi "keimanan" dan "kesalehan", yaitu suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan.[12] Dengan demikian, dapat dikatakan pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Maka sosok pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang membawa manusia kearah kebahagian dunia dan akhirat melalui ilmu dan ibadah. Karena pendidikan Islam membawa manusia untuk kebahagian dunia dan akhirat, maka yang harus diperhatikan adalah "nilai-nilai Islam tentang manusia; hakekat dan sifat-sifatnya, misi dan tujuan hidupnya di dunia ini dan akhirat nanti, hak dan kewajibannya sebagai individu dan anggota masyarakat. Semua ini dapat kita jumpai dalam al-Qur'an dan Hadits.[13]
Jadi, dapat dikatakan bahwa "konsepsi pendidikan model Islam, tidak hanya melihat pendidikan itu sebagai upaya "mencerdaskan" semata [pendidikan intelek, kecerdasan], melainkan sejalan dengan konsep Islam tentang manusia dan hakekat eksistensinya. Maka, pendidikan Islam sebagai suatu pranata sosial, juga sangat terkait dengan pandangan Islam tentang hakekat keberadaan [eksistensi] manusia. Oleh karena itu, pendidikan Islam juga berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran bahwa manusia itu sama di depan Allah dan perbedaannya adalah terletak pada kadar ketaqwaan masing-masing manusia, sebagai bentuk perbedaan secara kualitatif".[14]
Pendidikan berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran pada manusia, maka sangat urgen sekali untuk memperhatikan konsep atau pandangan Islam tentang manusia sebagai makhluk yang diproses kearah kebahagiaan dunia dan akhirat, maka pandangan Islam tentang manusia antara lain: Pertama, konsep Islam tentang manusia, khususnya anak, sebagai subyek didik, yaitu sesuai dengan Hadits Rasulullah, bahwa "anak manusia" dilahirkan dalam fitrah atau dengan "potensi" tertentu.
Dengan demikian, manusia pada mulanya dilahirkan dengan "membawa potensi" yang perlu dikembangkan dalam dan oleh lingkungannya. Pandangan ini, "berbeda dengan teori tabularasa yang menganggap anak menerima "secara pasif" pengaruh lingkungannya, sedangkan konsep fitrah mengandung "potensi bawaan" aktif [innate patentials, innate tendencies] yang telah di berikan kepada setiap manusia oleh Allah.[15] Bahkan dalam al-Qur'an, sebenarnya sebelum manusia dilahirkan telah mengadakan "transaksi" atau "perjanjian" dengan Allah yaitu mengakui keesaan Tuhan, firman Allah surat al-A'raf: 172.
øŒÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJ­ƒÍhèŒ öNèdypkô­r&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ  

"Ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan Adam dari sulbi mereka dan menyuruh agar mereka bersaksi atas diri sendiri; "Bukankah Aku Tuhanmu?" firman Allah. Mereka menjawab; "ya kami bersaksi" yang demikian agar kamu tidak berkata pada hari kiamat kelak, "kami tidak mengetahui hal ini".

Apabila kita memperhatikan ayat ini, memberi gambaran bahwa setiap anak yang lahir telah membawa "potensi keimanan" terhadap Allah atau disebut dengan "tauhid". Sedangkan potensi bawaan yang lain misalnya potensi fisik dan intelegensi atau kecerdasan akal dengan segala kemungkinan dan keterbatasannya.
Di samping itu, hal yang juga penting implikasinya bagi pendidikan adalah tanggung jawab yang ada pada manusia bersifat pribadi, artinya tidaklah seseorang dapat memikul beban orang lain, beban itu dipikul sendiri tanpa melibatkan orang lain. [pada surat Faathir: 18]. Sifat lain yang ada pada manusia adalah manusia diberi oleh Allah kemampuan al-bayan [fasih perkataan-kesadaran nurani] yaitu daya untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya melalui kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang baik, [pada surat ar-Rahman: 3-4]. Pada hadits Rasulullah, "barang siapa ingin mencapai kebahagian dunia harus ditempuh dengan ilmu dan barang siapa yang mencari kebahagian akhirat juga harus dengan ilmu, dan barang untuk mencari keduanya juga harus dengan ilmu".
Dari pandangan ini, dapat dikatakan bahwa tugas dan fungsi pendidikan adalah mengarahkan dengan sengaja segala potensi yang ada pada seseorang seoptimal mungkin sehingga ia berkembang menjadi seorang muslim yang baik.
Peranan pendidikan atau pengarah perkembangan potensi manusia yang dibawa sejak dari lahir itu bukan hanya bisa dikembangkan dalam lingkungan tetapi juga hanya bisa berkembang secara terarah bila dengan bantuan orang lain atau pendidik. Dengan demikian, perkembangan anak haruslah secara sengaja diarahkan kepada pembentukan ketaqwaan, khususnya pada proses belajar-mengajar. Maka, pandangan bahwa seseorang dilahirkan dengan potensi bawaan tertentu dan dengan itu ia mampu berkembang secara aktif dan efektif dalam lingkungannya, mempunyai implikasi bahwa proses belajar-mengajar harus didasarkan pada prinsip belajar siswa aktif [student active learning].[16]
Jadi, dari pandangan di atas, pendidikan menurut Islam didasarkan pada asumsi bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah yaitu dengan membawa "potensi bawaan" seperti potensi "keimanan", potensi untuk memikul amanah dan tanggung jawab, potensi kecerdasan, potensi fisik. Karena dengan potensi ini, manusia mampu berkembang secara aktif dan interaktif dengan lingkungannya dan dengan bantuan orang lain atau pendidik secara sengaja agar menjadi manusia muslim yang mampu menjadi khalifah dan mengabdi kepada Allah.
Berdasarkan uraian di atas, pengertian pendidikan menurut al-Qur'an dan hadits sangat luas, meliputi pengembangan semua potensi bawaan manusia yang merupakan rahmat Allah. Potensi-potensi itu harus dikembangkan menjadi kenyataan berupa keimanan dan akhlak serta kemampuan beramal dengan menguasai ilmu [dunia-akhirat] dan keterampilan atau keahlian tertentu sehingga mampu memikul amanat dan tanggung jawab sebagai seorang khalifah dan muslim yang bertaqwa. Tetapi pada realitasnya pendidikan Islam, sebagaimana yang lazim dikenal di Indonesia ini, memiliki pengertian yang agak sempit, yaitu program pendidikan Islam lebih banyak menyempit ke-pelajaran fiqh ibadah terutama, dan selama ini tidak pernah dipersoalkan apakah isi program pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan telah sesuai benar dengan luasnya pengertian pendidikan menurut al-Qur'an dan hadits [ajaran Islam].

Pentingnya Metodologi
Menurut al-Ghazali, metodologi pendidikan diklasifikasikan menjadi dua bagian: Pertama, metode khusus pendidikan agama, metode khusus ini memiliki orientasi kepada pengetahuan aqidah karena pendidikan agama pada realitasnya lebih sukar dibandingkan dengan pendidikan umum, karena pendidikan agama menyangkut problematika intuitif dan lebih menitikberatkan kepada pembentukan personality peserta didik. Sebagaimana diungkapkan oleh Zakiah Daradjat (1986) bahwa: Pendidikan agama dalam arti pembinaan kepribadian sebenarnya telah dimulai sejak anak lahir, bahkan sejak dalam kandungan. Dengan demikian pendidikan akal yang kohesif pada peserta didik selama dalam proses pendidikan akan dapat dikendalikan, sehingga bukan hanya mementingkan aspek rasio, rasa, berpikir sebenar-benarnya tanpa dzikir (split personality), tetapi peserta didik yang memiliki kepribadian yang kamil. Dengan demikian agama bagi peserta didik menjadi pembimbing akal. Dari sinilah kemudian letak kesempurnaan hidup manusia dalam keseimbangan.
Kedua, metode khusus pendidikan akhlak, al-Ghazali mengungkapkan bahwa: “Sebagaimana dokter, jikalau memberikan pasiennya dengan satu macam obat saja, niscaya akan membunuh kebanyakan orang sakit, begitu pula guru, jikalau menunjukkan jalan kepada murid dengan satu macam saja dari latihan, niscaya membinasakan hati mereka. Akan tetapi seyogyanya memperhatikan tentang penyakit murid, tentang keadaan umurnya, sifat tubuhnya dan latihan apa yang disanggupinya. Berdasarkan yang demikian itu, dibina latihan”. Dan berikutnya, kalau guru melihat murid keras kepala, sombong dan congkak maka suruhlah ia ke pasar untuk meminta-minta. Sesungguhnya sifat bangga diri dan egois tidak akan hancur selain dengan sifat mandiri.
Dari keterangan di atas, al-Ghazali menegaskan membuat diagnosis dan melakukan perbaikan (modification) akhlak tercela anak adalah dengan menyuruhnya melakukan perbuatan sebaliknya. Layaknya bila badan sakit obatnya ialah dengan cara menurunkan panas atau obatnya ialah membuang penyakit itu.[17]

KESIMPULAN
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, yang lebih dikenal dengan Imam Al-Ghazali lahir pada tahun 450 H/ 1058 M di Thus wilayah Khurasan. Al-Ghazali wafat di provinsi Thus pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H bertepatan dengan 1 Desember 1111 M
Al-Ghazali termasuk filosof pendidikan Islam berpaham empiris, yang menekankan pentingnya pendidikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Menurutnya, seorang anak tergantung kepada orang tuanya yang mendidiknya. Seorang anak hatinya bersih, murni, laksana permata yang amat berharga, sederhana dan bersih dari gambaran apapun. Jika anak menerima ajaran dan kebiasaan perbuatan buruk dan jahat, maka ia akan berakhlak jelek.
Pendidikan agama dalam arti pembinaan kepribadian sebenarnya telah dimulai sejak anak lahir, bahkan sejak dalam kandungan. Dengan demikian pendidikan akal yang kohesif pada peserta didik selama dalam proses pendidikan akan dapat dikendalikan, sehingga bukan hanya mementingkan aspek rasio, rasa, berpikir sebenar-benarnya tanpa dzikir (split personality), tetapi peserta didik yang memiliki kepribadian yang kamil. Pendidikan akhlak al-Ghazali, mendiagnosis dan melakukan perbaikan (modification) akhlak tercela anak adalah dengan menyuruhnya melakukan perbuatan sebaliknya. Layaknya bila badan sakit obatnya ialah dengan cara menurunkan panas atau obatnya ialah membuang penyakit itu.

PENUTUP
Demikianlah makalah pemikiran al-Ghazali tentang tingkah laku efektif, yang dapat kami susun, tentunya tidak terlepas dari kesalahan dan kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu, saran dan kritik konstruktif dari bapak dosen dan saudara sekalian kami terima sebagai koreksi dan pemacu untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua, Amiin.




[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1991, hlm. 59.
[2] M. Rusli Karim, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia , dalam Buku Pendidikan Islam di Indonesia antara Citra dan Fakta, Editor: Muslih Usa, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991, Cet. I, hlm. 29-32.
[3] Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, Crisis Muslim Education, Terj. Rahmani Astuti, Krisis Pendidikan Islam, Bandung: Risalah, 1986, hlm. 2.
[4] Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha fi Baiti wal Madrasati wal Mujtama', Dar al-Fikr al-Mu'asyir, Beirut-Libanon, 1983, Cet. II, Terj., Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, hlm. 26.
[5] Roihan Achwan, Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi, dlm. Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Volume 1, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1991, hlm. 50.
[6] Anwar Jasin, Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam: Tinjauan Filosofis, Jakarta. Conference Book, 1985, hlm. 2.
[7] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 159.
[8] Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005, hlm. 98-99.
[9] Anwar Jasin, op.cit, hlm. 5.
[10] Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, op.cit., hlm. 2.
[11]  Abdurrahman an-Bahlawi, op.cit.
[12] Roihan Achwan, op.cit.
[13] Anwar Jasin, op.cit.
[14] M. Rusli Karim, op.cit.
[15] Anwar Jasin, op.cit. hlm. 3.
[16] Ibid., hlm. 4-5.
[17] Ahmad Syar’i, op.cit., hlm. 101-12.
Share on Google Plus

About Unknown

RIC Karya
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar