SEBELUM
membicarakan permasalahan dalam filsafat pendidikan Islam, terlebih akan
ditelaah definisi filsafat pendidikan itu sendiri. Imam Barnadib
mendefinisikan filsafat pendidikan sebagai “ilmu pendidikan yang bersendikan
filsafat atau filsafat yang diterapkan dalam usaha pemikiran dan pemecahan
masalah pendidikan”.[1]
Dari definisi di atas
dapat dijelaskan bahwa filsafat pendidikan dapat didekati dan problema-problema
pendidikan bersifat filosofis yang memenlukan jawaban yang filosofis pula. Di
samping itu, filsafat pendidikan dapat pula didekati dan ide-ide filosofis yang
diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan. Dalam tulisan ini,
pendekatan kedua Iebih ditekankan, dibandingkan pendekatan
pertama.
Di dalarn filsafat,
terdapat tiga masalah utama, yakni: masalah keheradaan termasuk masalah
kenyataan, masalah pengetahuan termasuk masalah kebenaran dan rnasalah nilai.
Masalah pertama dibji dalam cabang filsafat yang disebut metafisika. Masalah
kedua dikaji dalam cabang filsafat yang disebut epistemology, dan masalah
ketiga dikaji dalam cabang filsafat yang disebut aksiologi.
Pendidikan Islam adalah
suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa
sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap
segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spiritual dan
sangat sadar akan nilai etis Islam,[2] atau
menurut Abdurrahman an-Nahlawi, “pendidikan Islam mengantarkan manusia pada
perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah.[3]
Dari pandangan ini,
dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam bukan sekedar “transper of knowledge”
ataupun “transper of training”, ....tetapi lebih merupakan suatu sistem
yang ditata di atas pondasi “keimanan” dan “kesalehan”, yaitu suatu sistem yang
terkait secara langsung dengan Tuhan.[4]
Dengan
demikian, dapat dikatakan pendidikan Islam adalah suatu kegiatan yang
mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan
nilai-nilai Islam, maka sosok pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai suatu
sistem yang membawa manusia ke arah kebahagian dunia dan akhirat melalui ilmu
dan ibadah, karena pendidikan Islam membawa manusia untuk kebahagian dunia dan
akhirat. Maka yang harus diperhatikan adalah “nilai-nilai Islam tentang
manusia; hakekat dan sifat-sifatnya, misi dan tujuan hidupnya di dunia ini dan
akhirat nanti, hak dan kewajibannya sebagai individu dan anggota masyarakat. Semua ini dapat kita jumpai dalam al-Qur'an dan Hadits”.[5]
RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimanakah
konsep pendidikan rekonstruksionalisme?
B.
Bagaimana
konsep pendidikan rekonstruksionalisme dalam pandangan filsafat pendidikan
Islam?
PEMBAHASAN
Pendidikan Rekonstruksionalisme
Kata rekonstruksionisme dalam bahasa Inggeris rekonstruct
yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran
rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama
dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran
rekonstruksionisme, pada prinsipnya, sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu
hendak menyatakan krisis kebudayaan modern.
Kedua aliran tersebut, aliran rekonstruksionisme dan
perenialisme, memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai
kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran
proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu merombak
tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru, untuk
mencapai tujuan utama tersebut memerlukan kerjasama antar ummat manusia.
Tokoh-tokoh
Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan
Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang
pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini: Caroline Pratt, George Count,
Harold Rugg.
Pandangan Rekonstruksionisme
dan Penerapannya di Bidang Pendidikan
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas
penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia atau bangsa. Karenanya
pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat akan membina
kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar
pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk
dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Kemudian aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan
suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara
demokratis dan bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Sila-sila
demokrasi yang sungguh bukan hanya leori tetapi mesti menjadi kenyataan,
sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu
meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan
masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan, nasionalisme, agama
(kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.[6]
Walaupun demikian, prinsip yang dimiliki oleh aliran
rekonstruksionisme tidaklah sama dengan prinsip yang dipegang oleh aliran
perenialisme. Keduanya mempunyai visi dan cara yang berbeda dalam pemecahan
yang akan ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan.
Aliran perennialisme memilih cara tersendiri, yakni dengan kembali ke alam
kebudayaan lama atau dikenal dengan regressive road culture yang mereka anggap
paling ideal. Sementara itu aliran rekonstruksionisme menempuhnya dengan jalan
berupaya membina suatu konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok
dan tertinggi dalam kehidupan umat manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme
berupaya mencari kesepakatan antar sesama manusia atau orang, yakni agar dapat
mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya.
Maka, proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu
merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang
baru, untuk mencapai tujuan utama terse but memerlukan kerjasama antar ummat
manusia.
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas
penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia atau bangsa. Karenanya
pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat akan membina
kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar
pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk
dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Kemudian aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan
suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara
demokratis dan bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Sila-sila
demokrasi yang sungguh bukan hanya leori tetapi mesti menjadi kenyataan,
sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu
meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan
masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan, nasionalisme, agama
(kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.
Pada prinsipnya, aliran rekonstruksionisme memandang
alam metafisika merujuk dualisme, aliran ini berpendirian bahwa alam nyata ini
mengandung dua macam bakikat sebagai asal sumber yakni hakikat materi dan
bakikat rohani. Kedua macam hakikat itu memiliki ciri yang bebas dan berdiri
sendiri, sarna azali dan abadi, dan hubungan keduanya menciptakan suatu
kehidupan dalam alam. Descartes, seorang tokohnya pernah menyatakan bahwa
umumnya manusia tidak sulit menerima atas prinsip dualisme ini, yang
menunjukkan bahwa kenyataan lahir dapat segera ditangkap oleh panca indera
manusia, semen tara itu kenyataan bathin segera diakui dengan adanya akal dan
petasaan hidup. Di balik gerak realita sesungguhnya terdapatlah kausalitas
sebagai pendorongnya dan merupakan penyebab utama atas kausa prima. Kausa
prima, dalam konteks ini, ialah Tuhan sebagai penggerak sesuatu tanpa gerak.
Tuhan adalah aktualitas murni yang sarna sekali sunyi dan substansi.
Alam pikiran yang demikian bertolak hukum-hukum dalam
filsafat itu sendiri tanpa bergantung padii ilmt pengetahuan. Namun demikian,
meskipun filsafat dan ilmu berkembang ke arah yang lebih sempurna, tetap
disetujui bahwa kedudukan filsafal lebih tinggi dibandingkan ilmu pengetahuan.
Konsep Pendidikan Rekonstruksionalisme Dalam Pandangan Filsafat
Pendidikan Islam
Pandangan secara Ontologi
Dengan ontologi, dapat diterangkan tentang bagaimana
hakikat dari segala sesuatu. Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa realita
itu bersifat universal, yang mana realita itu ada di mana dan sama di setiap
tempat. Untuk mengerti suatu realita beranjak dari suatu yang konkrit dan
menuju kearah yang khusus menampakkan diri dalam perwujudan sebagaimana yang
kita lihat dihadapan kita dan ditangkap oleh panca indra manusia seperti hewan
dan tumbuhan atau benda lain di sekeliling kita, dan realita yang kita ketahui
dan kita hadapi tidak terlepas dari suatu sistem, selain substansi yang
dipunyai dan tiap-tiap benda tersebut, dan dapat dipilih melalui akal pikiran.
Kemudian, tiap realita sebagai substansi selalu
cenderung bergerak dan berkembang dari potensialitas menuju aktualitas
(teknologi). Dengan demikian gerakan tersebut mencakup tujuan dan terarah guna
mencapai tujuan masing-masing dengan caranya sendiri dan diakui bahwa tiap
realita memiliki perspektif tersendiri.
Pandangan Ontologis
Dalam proses interaksi sesama manusia, diperlukan
nilai-nilai. Begitu juga halnya dalam hubungan manusia dengan sesamanya dan
alam semesta tidak mungkin melakukan sikap netral, akan tetapi manusia sadar
ataupun tidak sadar telah melakukan proses penilaian, yang merupakan
kecenderungan man usia. Tetapi, secara umum ruang lingkup (scope) ten tang
pengertian "nilai" tidak terbatas.
Aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai
berdasarkan azas-azas supernatural yakni menerima nilai natural yang universal,
yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis. Hakikat manusia adalah emanasi
(pancaran) yang potensial yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan dan
atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat diketahuinya.
Kemudian, manusia sebagai subyek telah memiliki potensi-potensi kebaikan dan
keburukan sesuai dengan kodratnya. Kebaikan itu akan tetap tinggi nilainya bila
tidak dikuasai oleh hawa nafsu belaka, karena itu akal mempunyai peran untuk
memberi penentuan.
Neo-Thomisme memandang bahwa etika, estetika dan
politik sebagai cabang dari filsafat praktis, dalam pengertian tetap
berhubungan dan berdasarkan pad a prinsip-prinsip dari praktek-praktek dalam
tindakan-tindakan moral, kreasi estetika dan organisasi politik. Karenanya, dalam
arti teologis manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yakni bersatu dengan
Tuhan, kemudian berpikir rasional. Dalam kaitannya dengan estetika (keindahan),
hakikat sesungguhnya ialah Tuhan sendiri. Keindahan yang maujud itu hanyalah
keindahan khusus, pancaran unsur keindahan universal yang abadi, maha indah dan
Tuhan.
Aristoteles
memandang bahwa kebajikan dibedakan menjadi dua macam, yakni kebajikan
intelektual dan kebajikan moral, kebajikan moral merupakan suatu kebajikan
berdasarkan pembiasaan dan merupakan dasar dari kebajikan intelektual.
Dari gerakan intelektualitas pada abad pertengahan
yang mencapai kristalisasi pada abad IX-XIV, memberikan argumentasi rasio
tentang eksistensi Tuhan. Alselpus, seorang tokoh utama scholastik,
menyatakan bahwa secara kritis realita semesta dapat dipahami dan tidak ada
sesuatu di alam nyata ini diluar kekuasaan Tuhan karena semua itu sebagai
perwujudan dari kesempurnaannya. Dalam perkembangan selanjutnya, penafsiran
yang demikian didukung oleh Thomas Aquinas yang inti pembicaraannya untuk
mengetahui realita yang ada yang hams berdasarkan iman dan perkembangan
rasional hanya dapat dijawab dan mesti diikuti dengan iman.
Pandangan Epistemologis
Kajian epsitemologis aliran ini lebih merujuk pada
pendapat aliran pragmatisme (progressive) dan perenialisme. Berpijak
dari pola pemikiran bahwa untuk memahami realita alam nyata memerlukan suatu
azas tahu dalam arti bahwa tidak mungkin memahami realita ini tanpa melalui
proses pengalaman dan hubungan dengan realita terlebih dahulu melalui penemuan
suatu pintu gerbang ilmu pengetahuan. Karenanya, baik akal maupun rasio
sama-sama berfungsi membentuk pengetahuan, dan akal di bawa oleh panca indera
menjadi pengetahuan dalam yang sesungguhnya.
Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar dari suatu
kebenaran dapat dibuktikan dengan self evidence, yakni bukti yang ada
pada diri sendiri, realita dan eksistensinya. Pemahamannya bahwa pengetahuan
yang benar buktinya ada di dalam pengetahuan ilmu itu sendiri. Sebagai
ilustrasi, adanya Tuhan tidak perlu dibuktikan dengan bukti-bukti lain atas
eksistensi Tuhan (self evidence). Kajian tentang kebenaran itu
diperlukan suatu pemikiran, metode yang diperlukan guna menuntun agar sampai
kepada pemikiran yang hakiki. Penalaran-penalaran memiliki hukum-hukum
tersendiri agar dijadikan pegangan ke arah penemuan definisi atau pengertian
yang logis.
Ajaran yang dijadikan pedoman berasal dari Aristoteles
yang membicarakan dua hal pokok, yakni pikiran (ratio) dan bukti (evidence),
dengan jalan pemikirannya adalah silogisme. Silogisme menunjukkan hubungan
logis antara premis mayor, premis minor dan kesimpulan (condusion),
dengan memakai cara pengambilan kesimpulan deduktif dan induktif.
KESIMPULAN
Aliran rekonstruksionisme, pada prinsipnya, sepaham
dengan aliran perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern. Tokoh-tokoh
Rekonstruksionisme: Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold
Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas
dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini: Caroline Pratt, George Count, Harold
Rugg.
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas
penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia atau bangsa. Karenanya
pembinaan kembali daya inetelektual dan spiritual yang sehat akan membina
kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar
pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk
dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Dalam pandangan filsafat pendidikan Islam, bahwa dasar
dari suatu kebenaran dapat dibuktikan dengan self evidence, yakni bukti
yang ada pada diri sendiri, realita dan eksistensinya. Pemahamannya bahwa
pengetahuan yang benar buktinya ada di dalam pengetahuan ilmu itu sendiri.
Sebagai ilustrasi, adanya Tuhan tidak perlu dibuktikan dengan bukti-bukti lain
atas eksistensi Tuhan (self evidence). Kajian tentang kebenaran itu
diperlukan suatu pemikiran, metode yang diperlukan guna menuntun agar sampai
kepada pemikiran yang hakiki. (Dok - Rumah Pendidikan Sciena Madani)
Baca juga:
Konsep Pendidikan Rekonstruksionalisme dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Islam
Konsep Pendidikan Esensialisme dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Islam
Pengaruh Filsafat Dalam Pendidikan Islam
Analisis Filsafat Tentang Metode Pendidikan Islan
Hakekat Evolusi dalam Pendidikan Islam
Problematika Filsafat Pendidikan
Sumber Bacaan:
[1] Imam Barnadib, Filsafat
Pendidikan: Sistem dan Metode, Yogyakarta: Penerbit ANDI
OFFSET, 1994, hlm. 7.
[2] Syed Sajjad Husain
dan Syed Ali Ashraf, Crisis Muslim Education, Terj. Rahmani Astuti, Krisis
Pendidikan Islam, Banndung: Risalah, 1986, hlm. 2.
[3] Abdurrahman
an-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha fi Baiti wal Madrasati
wal Mujtama', Dar al-Fikr al-Mu'asyir, Beirut-Libanon, 1983, Cet. II,
Terj., Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat,
Jakarta: Gema Insani Press, 1995, hlm. 26.
[4] Roihan Achwan, Prinsip-Prinsip
Pendidikan Islam Versi Mursi, dlm. Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Volume 1,
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1991, hlm. 50.
[5] Anwar Jasin, Kerangka
Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam: Tinjauan Filosofis, Jakarta: Conference
Book, London, 1978, hlm. 2.
[6] http://wahyuniunindrabio2a.blogspot.com/2008/06/aliran-aliran-pendidikan-esensialisme.html
0 komentar :
Posting Komentar