Mencari Wakil Rakyat yang Merakyat? *
Oleh: Djawahir Muhammad *
Tentang fakta di lapangan
Dari sedikit pengalaman saya menjadi anggota DPR (Anggota Komisi E DPRD Provinsi Jawa Tengah 1997-1999 dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), saya berkesimpulan bahwa pada prakteknya atau “secara praktis” wakil rakyat yang merakyat itu (nyaris) tidak ada! Hal ini didasarakan pada analisis beberapa data sebagai berikut:
1. Dalam sistem demokrasi yang berlaku di Indoensia, rekruitmen anggota DPR dilakukan melalui partai-partai politik karena partai politiklah satu-satunya lembaga yang berhak mengajukan calon anggota dewan. Jadi, pada prakteknya anggota dewan adalah presentasi dari partai politik, bukan presentasi atau wakil rakyat.
2. DPR yang secara ideologis merupakan lembaga aspirasi publik, seharusnya mempresentasikan fungsi-fungsi public service, tetapi kenyataannya sudah menjadi lapangan kerja yang bergaji tinggi dengan berbagai fasilitas yang tidak terjangkau rakyat biasa.
3. Cara-cara memperoleh suara bergeser dari pola leadership (kepemimpinan) ke pola transkasional, dari pola idealism ke pola pragmatism dan nepotisme. Kecenderungan ini mendorong praktik teori dagang sapi alias money politics : gua kasih uang, lu kasih suara. “Wani piro?, Wani pora?”. Implikasinya rakyat tidak terwakili oleh wakil yang “benar-benar wakil,” tapi terwakili oleh para manajer kampanye, juragan suara, politisi karbitan, lu lagi, lu lagi, politik dinasti dsb.
4. Anggota dewan kebanyakan lupa pada konsituennya, lupa pada janji-janji pengabdiannya. Cenderung mengambil semua gaji, bonus, tunjangan, dan macam-macam fasilitas yang diterima untuk dirinya sendiri (dan/atau keluarga dan kelomponya), lupa untuk berbagi pada rakyat yang diwakilinya.
Analisis
Ada beberapa pemahaman tentang “wakil rakyat” di negeri ini yang di negeri lain disebut senator semisal di Amerika Serikat. Di Amerika, calon-calon senator boleh mengajukan dirinya sendiri untuk dipilih secara bertingkat melalui konvensi yang dibuka oleh partai (Republic dan Demokrat). Mereka berkampanye dengan mengajak orang berdiskusi, melakukan orasi, dan rata-rata telah memiliki pekerjaan dengan gaji yang cukup mapan.
Filosof (calon) anggota senat di Amerika dan Indonesia sangat jauh berrbeda. Senator (calon senator) di Amerika memiliki filosofi demikian:
Analisis sederhana tersebut mengilustrasikan bagaimana sistem rekuitmen anggota dewan/senat yang berbeda antara neara denan demokrasi yang sehat (Amerika), dengan negara demokrasi yang “sakit” (Indonesia). Perbedaan itu dimulai dari modal dasar para kandidat (input) yang berbeda, menuju proses (anggota senat/dewan), kearah capaian (produk) yang berbeda: di Amerika capaiannya adalah kebutuhan aktualisasi diri (need of achieverment), sementara di Indonesia adalah mencari kekayaan materi.
Jadi dimana posisi “rakyat” dalam demokrasi kita?
Mari kita pertanyakan!
Semarang, 5 April 2014
Oleh: Djawahir Muhammad *
Tentang fakta di lapangan
Dari sedikit pengalaman saya menjadi anggota DPR (Anggota Komisi E DPRD Provinsi Jawa Tengah 1997-1999 dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), saya berkesimpulan bahwa pada prakteknya atau “secara praktis” wakil rakyat yang merakyat itu (nyaris) tidak ada! Hal ini didasarakan pada analisis beberapa data sebagai berikut:
1. Dalam sistem demokrasi yang berlaku di Indoensia, rekruitmen anggota DPR dilakukan melalui partai-partai politik karena partai politiklah satu-satunya lembaga yang berhak mengajukan calon anggota dewan. Jadi, pada prakteknya anggota dewan adalah presentasi dari partai politik, bukan presentasi atau wakil rakyat.
2. DPR yang secara ideologis merupakan lembaga aspirasi publik, seharusnya mempresentasikan fungsi-fungsi public service, tetapi kenyataannya sudah menjadi lapangan kerja yang bergaji tinggi dengan berbagai fasilitas yang tidak terjangkau rakyat biasa.
3. Cara-cara memperoleh suara bergeser dari pola leadership (kepemimpinan) ke pola transkasional, dari pola idealism ke pola pragmatism dan nepotisme. Kecenderungan ini mendorong praktik teori dagang sapi alias money politics : gua kasih uang, lu kasih suara. “Wani piro?, Wani pora?”. Implikasinya rakyat tidak terwakili oleh wakil yang “benar-benar wakil,” tapi terwakili oleh para manajer kampanye, juragan suara, politisi karbitan, lu lagi, lu lagi, politik dinasti dsb.
4. Anggota dewan kebanyakan lupa pada konsituennya, lupa pada janji-janji pengabdiannya. Cenderung mengambil semua gaji, bonus, tunjangan, dan macam-macam fasilitas yang diterima untuk dirinya sendiri (dan/atau keluarga dan kelomponya), lupa untuk berbagi pada rakyat yang diwakilinya.
Analisis
Ada beberapa pemahaman tentang “wakil rakyat” di negeri ini yang di negeri lain disebut senator semisal di Amerika Serikat. Di Amerika, calon-calon senator boleh mengajukan dirinya sendiri untuk dipilih secara bertingkat melalui konvensi yang dibuka oleh partai (Republic dan Demokrat). Mereka berkampanye dengan mengajak orang berdiskusi, melakukan orasi, dan rata-rata telah memiliki pekerjaan dengan gaji yang cukup mapan.
Filosof (calon) anggota senat di Amerika dan Indonesia sangat jauh berrbeda. Senator (calon senator) di Amerika memiliki filosofi demikian:
Analisis sederhana tersebut mengilustrasikan bagaimana sistem rekuitmen anggota dewan/senat yang berbeda antara neara denan demokrasi yang sehat (Amerika), dengan negara demokrasi yang “sakit” (Indonesia). Perbedaan itu dimulai dari modal dasar para kandidat (input) yang berbeda, menuju proses (anggota senat/dewan), kearah capaian (produk) yang berbeda: di Amerika capaiannya adalah kebutuhan aktualisasi diri (need of achieverment), sementara di Indonesia adalah mencari kekayaan materi.
Jadi dimana posisi “rakyat” dalam demokrasi kita?
Mari kita pertanyakan!
Semarang, 5 April 2014
* Disampaikan dalam acara Pengajian Kebudayaan Sciena Madani
* Djawahir Muhammad - Mantan Anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah 1997 - 1999
0 komentar :
Posting Komentar