PENGHUJUNG
abad pertama Hijriyah, telah terjadi pemindahan ilmu-ilmu kuno dari Iskandaria,
pusat perkembangan filsafat Hermes ke dalam kebudayaan Islam Arab. Kehadiran
ilmu-ilmu nonArab Islam ini mengundang sikap anti pati ulama ahl al-sunnah awal, karena dianggap bertentangan
dengan aqidah Islam. Ilmu-ilmu tersebut memasuki wilayah kebudayaan Islam
melalui penerjemahan.
Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa
taksonomi dalam sistem pendidikan apapun, memegang peranan yang sangat penting
dalam keseluruhan proses pendidikan, sejak dari perencanaan, pengembangan kurikulum, implementasi dan evaluasinya. Diketahui pula bahwa
taksonomi Bloom (dan modifikasinya) yang menstrukturasikan
perilaku manusia dalam tiga ranah (domain)
yaitu: ranah kognitif, ranah afektif
dan ranah psikomotor, yang sudah
merupakan “acuan/pedoman suci” di dunia pendidikan kita, termasuk khasanah
pendidikan Islam. Walaupun dalam praktek para pendidik Islam menjumpai
kesulitan (misalnya masuk ranah apakah iman, ibadah, akhlak dan sebagainya)
tetapi mereka cenderung secara “membabi buta” menggunakan taksonomi Bloom tersebut sebagai instrumen dalam proses pendidikan
bagaikan sesuatu yang “tabu” atau haram untuk dipersoalkan, apalagi diubah.[1]
Beranjak
dari catatan di atas, permasalahan problema perolehan ilmu pengetahuan dalam
pendidikan Islam, mengalami kegoncangan pada wilayah esensi filosofis, terutama
dalam kajian epistemologi pada filsafat pendidikan Islam.
RUMUSAN MASALAH
Dalam
makalah ini akan dibahas permasalahan dalam filsafat
pendidikan Islam tentang metode perolehan ilmu; yaitu “Bagaimana metode
perolehan ilmu dalam epistemologi filsafat pendidikan Islam?”.
PEMBAHASAN
Sekilas tentang Epistemologi
Islam
Epistemologi
(Filsafat Pengetahuan) Islam sebagai wilayah diskursus filsafat mencakup dua
pendekatan; yakni genetivus subyectivus (menempatkan Islam sebagai
subyek) bagi titik tolak berpikir (starting point) dan genetivus
obyectivus (menempatkan filsafat pengetahuan sebagai subyek yang
membicarakan Islam sebagai obyek kajian). Epistemologi Islam menelaah bagaimana
pengetahuan itu menurut pandangan Islam, bagaimana metodologinya, serta
bagaimana kebenaran dapat diperoleh dalam pandangan Islam atau proposisi yang telah
terbukti keabsahannya.
Secara
leteral, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti
pengetahuan. Terdapat tiga persoalan pokok dalam bidang ini: pertama, apakah
sumber-sumber pengetahuan itu? Manakah pengetahuan yang benar itu, dan bagaimana
kita mengetahuinya?; kedua, apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apakah ada
dunia yang benar-benar berada di luar pikiran kita, dan kalau ada, apakah kita
dapat mengetahuinya? Ini adalah persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomenia/appearance)
versus hakikat (noumena/essence); ketiga, apakah pengetahuan
kita itu benar (valid)? Bagaimanakah kita dapat membedakan yang benar dari yang
salah? Ini adalah persoalan mengkaji kebenaran atau verifikasi.[2]
Dalam
khazanah filsafat Islam, dikenal ada tiga buah metodologi pemikiran yakni bayani, irfani dan burhani. Bayani adalah sebuah model
metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Teks sucilah yang mempunyai
otoritas penuh untuk memberikan arah dan arti kebenaran, sedang rasio hanya
berfungsi sebagai pengawal bagi teramankannya otoritas teks tersebut. Irfani adalah
model metodologi berpikir yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman
langsung (direct
experience) atas
realitas spiritual keagamaan. Sedangkan burhani adalah model metodologi
berpikir yang tidak didasarkan atas teks maupun pengalaman, melainkan atas
dasar keruntutan logika.[3]
Demikian
pula halnya dengan diskursus filsafat pendidikan Islam dewasa ini yang melihat
persoalan alam (alam, Tuhan dan manusia) bukan lagi persoalan proposisi
metafisika karena epistemologi burhani dikedepankan untuk menghasilkan
pengetahuan yang valid dan bangunan pengetahuan yang meyakinkan tentang
persoalan duniawi dan alam. Dinamika kehidupan kontemporer dewasa ini bisa
memilah-milah masing-masing pendekatan epistemologik: bayani dan `irfani
karena masing-masing memiliki tipikal satu sama lain, dan epistemologi burhani
bisa menjadi pemoles keserasian hubungan antara kedua epistemologi di atas.
Dalam
pengertian sederhana (elementer), al-burhan secara mantiqi (logika) berarti
aktifitas pikir yang dapat menetapkan kebenaran proposisi (qadliyah) melalui pendekatan
deduktif (al-istintaj) dengan cara mengaitkan proposisi satu dengan yang lain yang telah
terbukti secara aksiomatik (badihi). Dalam arti universal, al-burhan berarti aktifitas intelektual untuk menetapkan suatu proposisi
tertentu.
Metode Mendapatkan Ilmu
Pengetahuan
Masalah pengetahuan termasuk masalah
kebenaran juga menjadi salah satu masalah utama filsafat. Apakah hakekat
pengetahuan itu? Bagaimana kita (umat manusia) dapat mernperoleh pengetahuan?
Pandangan epistemologis antara lain akan menjawab bahwa pengetahuan manusia
diperoleh lewat kerjasama antara subyek yang mengetahui dan obyek yang
diketahui. Pengetahuan manusia tidak mungkin ada tanpa salah satunya, sehingga
pengetahuan manusia selalu suhyektif-obyektif atau obyektif subyektif. Di sini
terjadi kernanunggalan antara subyek dan obyek. Subyek dapat mengetahui
obyeknya, karena dalam dirinya memiliki kemampuan-kemampuan, khususnya
kemampuan akali dan inderawinya.[4]
Dalam kenyataan, manusia dapat memperoleh
pengetahuan lewat berbagai sumber atau sarana seperti: pengalaman inderawi dan
pengalaman batin (external sense experience and internal sense experience);
nalar (reason), baik melalui penalaran deduktif maupun induktif (deductive
and inductive reasoning); intuisi (intuition); wahyu (revelation);
keyakinan (faith), authority (orang yang ahli dalam bidangnya);
dan lewat tradisi dan pendapat umum (tradition and common-sense).[5]
Meskipun manusia dengan segala kemampuannya
telah dan akan berupaya terus untuk mengetahui obyeknya secara total dan utuh,
tetapi dalam kenyataan, manusia tidak mampu untuk merengkuh obyeknya secara
total dan utuh. Apa yang diketahui manusia selalu saja ada yang tersisa. Dalam
istilah ini, “ada segi tak terungkap dan pengetahuan manusia”, dengan kata
lain, manusia hanya mampu mengetahui yang fenomenal saja, dan tidak mampu
menjangkau yang noumenal. Hal inilah yang memicu munculnya anggapan bahwa
pengetahuan manusia itu relatif. Relativitas pengetahuan manusia itu disebabkan
sekurang-kurangnya karena keterbatasan kemampuan manusia sebagai subyek yang mengetahui,
dan juga karena kompleksitas obyek yang diketahui.
Beberapa masalah utama yang mewarnai dunia
pendidikan Islam dapat diklasifikasikan dalam lima hal, yaitu:
1.
Dicotomic, yakni adanya
dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, ilmu yang berasal dari wahyu dan ilmu
yang diperoleh dengan akal.
2.
Too general knowledge
yaitu sifat ilmu pengetahuannya yang masih terlalu general/umum dan kurang
memperhatikan kepada upaya penyelesaian masalah (problem solving).
3.
Lack of spirit inquiry
atau rendahnya semangat untuk melakukan penelitian/penyelidikan.
4.
Memorisasi yakni belajar
dengan sistem hafalan (memorizing). Hal ini pada gilirannya menjadikan
belajar lebih banyak bersifat studi
tekstual daripada pemahaman
pelajaran yang bersangkutan.
5.
Certificate oriented yaitu
belajar yang hanya mengejar sertifikat/ijazah bukan “kualitas substansial” yang
dapat diterapkan/dimanfaatkan dalam proses pembangunan.[6]
Jika pengetahuan manusia itu relatif, apakah
kebenaran itu ada? Dengan kata lain, apakah pengetahuan manusia itu benar
adanya? Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan berbagai teori kebenaran
seperti teori-teori: koherensi, korespondensi, pragmatis dan consensus. Dalam
pandangan yang lain, kebenaran itu meliputi: kebenaran epistemologikal,
kebenaran ontologikal, dan kebenaran semantikal atau kebenaran moral.
Dalam filsafat pendidikan, masalah pengetahuan
antara lain terkait dengan masalah kurikulum, belajar dan metode pembelajaran (teaching-learning
process). Karena pengetahuan manusia tidak dapat dilepaskan dengan masalah
isi pengetahuan (realitas), maka dalam pandangan filsafat pendidikan,
masalah realitas tercermin “in the subjects, experiences and skills of the
curriculum”.[7]
Dalam
hal perolehan ilmu pengetahuan, menurut Suhrawardi ada empat tahapan tertentu.
Pertama, tahap persiapan untuk menerima pengetahuan illuminatif. Kedua, tahap
penerimaan, dimana cahaya tuhan memasuki diri manusia, cahaya ini mengambil
bentuk sebagai penyingkap pengetahuan. Ketiga, tahap pembangunan pengetahuan
yang valid, dengan menggunakan analisas diskursif. Keempat, tahap pelukisan
atau dokumentasi dalam bentuk tulisan atas pengetahuan atau struktur yang
dibangun dari tahap-tahap sebelumnya, dan tahap inilah yang bisa diakses oleh
orang lain.
Perolehan
ilmu pengetahuan dalam isyraqi tersebut, tidak hanya mengandalkan kekuatan
intuitif melainkan juga kekuatan rasio. Ia menggabungkan keduanya, metode
intuitif dan diskursif dimana cara intuitif digunakan untuk meraih segala
sesuatu yang tidak tergapai oleh kekuatan rasio, sehingga hasilnya merupakan
pengetahuan yang tertinggi dan terpercaya.[9]
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
Dalam khazanah filsafat Islam,
dikenal ada tiga buah metodologi pemikiran yakni bayani, irfani dan burhani. Bayani adalah sebuah model metodologi berpikir yang didasarkan atas
teks. Teks sucilah yang mempunyai otoritas penuh untuk memberikan arah dan arti
kebenaran, sedang rasio hanya berfungsi sebagai pengawal bagi teramankannya
otoritas teks tersebut. Irfani adalah model metodologi berpikir yang didasarkan
atas pendekatan dan pengalaman langsung (direct experience) atas realitas spiritual keagamaan. Sedangkan
burhani adalah model metodologi berpikir yang tidak didasarkan atas teks maupun
pengalaman, melainkan atas dasar keruntutan logika.
Dalam perolehan ilmu pengetahuan,
menurut Suhrawardi ada empat tahapan.
1)
Tahap persiapan untuk menerima pengetahuan illuminatif.
2)
Tahap penerimaan, dimana cahaya tuhan
memasuki diri manusia, cahaya ini mengambil bentuk sebagai penyingkap
pengetahuan.
3)
Tahap pembangunan pengetahuan yang valid,
dengan menggunakan analisas diskursif.
4)
Tahap pelukisan atau dokumentasi dalam
bentuk tulisan atas pengetahuan atau struktur yang dibangun dari tahap-tahap
sebelumnya, dan tahap inilah yang bisa diakses oleh orang lain.
Perolehan ilmu dalam filsafat pendidikan Islam merupakan hasil dari
penggabungan metode, berupa intuitif dan diskursif. Keduanya dicerna dan
dianalisa sehingga menghasilkan ilmu pengetahuan tertinggi dan terpercaya.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami susun, tentunya
tidak terlepas dari kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik konstruktif
dari bapak dosen dan saudara sekalian kami terima sebagai koreksi dan pemacu
untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga dapat memberikan manfaat bagi kita
semua dalam mengembangkan keilmuan dalam pendidikan Islam di Indonesia. Amiin. (Dok - Rumah Pendidikan Sciena Madani)
Konsep Pendidikan Rekonstruksionalisme dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Islam
Konsep Pendidikan Esensialisme dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Islam
Pengaruh Filsafat Dalam Pendidikan Islam
Analisis Filsafat Tentang Metode Pendidikan Islan
Hakekat Evolusi dalam Pendidikan Islam
Baca juga:
Konsep Pendidikan Rekonstruksionalisme dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Islam
Konsep Pendidikan Esensialisme dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Islam
Pengaruh Filsafat Dalam Pendidikan Islam
Analisis Filsafat Tentang Metode Pendidikan Islan
Hakekat Evolusi dalam Pendidikan Islam
Problematika Filsafat Pendidikan
Refrensi:
[1] Ahmad Watik Pratiknya, ‘Identifikasi Masalah Pendidikan Agama Islam
di Indonesia’ dalam Muslih Usa (Ed.), Pendidikan
Islam di Indonesia; Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991,
hlm. 103.
[2] Wahib Wahab, “Rekonstruksi Epistemologi Burhani Penyelarasan
Metodologi Dalam Perspektif Al-Jabiri”, Makalah, http://mbegedut.blogspot.com/2010/11/epistemologi-burhani-dalam-filsafat-islam.html
[3] Amin Abdullah, “Filsafat Islam Bukan Hanya Sejarah Pemikiran” dalam
Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004, hlm. Ix.
[4] Pranarka, A.M.W., Epistemologi Dasar Suatu Pengantar, Jakarta: Centre for Strategic and International
Studies, 1987, hlm. 36-38.
[5] Thiroux, Jacques
P., Philosophy Theory and Practice. New York: Macmillan Publishing Company, 1985, hlm. 478-483.
[6] Abdul Wahid, ‘Pendidikan Islam Kontemporer: Problem Utama,
Tantangan dan Prospek’ dalam Ismail SM, et. al., (Ed.), Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm.
279-287.
[7] Ornstein, Allan C.
and Levine, Daniet U., An Introduction to the
Foundations of Education,
Boston: Houghton Mifflin Company, 1985, hlm. 186.
[8] Huseein Ziai, Suhrawardi & Filsafat Illuminasi, terj.
Afif Muhammad, Bandung: Zaman, 1998, hlm. 36.
[9] Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 132-133.
0 komentar :
Posting Komentar