WM - Nurcholis
Madjid, yang lebih populer dipanggil Cak Nur, lahir pada tanggal 17 Maret 1939
di lingkungan keluarga kyai yang terhormat di Jombang, Jawa Timur. Setelah mengenyam
pendidikan di pesantren, ia melanjutkan pendidikan di IAIN Jakarta, lalu
menyelesaikan program doktor di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Pemikiran
Cak Nur tentang pluralisme menjadikannya sebagai salah satu pemikir muslim
terdepan di Indonesia. Gagasan Cak Nur dinilai sebagai sumber pluralisme dan
keterbukaan mengenai ajaran Islam.
Hal ini
disampaikan oleh Samsul Maarif, Ph.D. dalam Diskusi Serial Tokoh Pluralis
Indonesia #5 yang diselenggarakan oleh BEM Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan
Kalijaga bekerjasama dengan AIFIS (American Institute for Indonesian Studies),
pada hari Jumat, 19 Desember 2014 di UIN Sunan Kalijaga. Samsul Maarif adalah
alumnus Arizona State University, Amerika yang kini menjadi dosen program S2
pada Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS)
UGM.
Dalam kesempatan tersebut Samsul Maarif menjelaskan, Cak Nur memandang bahwa
pluralisme merupakan suatu landasan sikap positif (aktif dan bijaksana) untuk menerima
kemajemukan dalam kehidupan sosial dan budaya, termasuk agama, terbuka untuk
berdialog dan menerima perbedaan secara adil. Kemajemukan merupakan taqdir (kepastian Allah), atau sunnatullah yang harus diterima di mana masyarakat didorong untuk berlomba berbuat kebaikan kepada sesama.
Samsul Maarif sendiri menilai bahwa pluralisme Cak Nur berdasar pada fondasi pluralisme Islam, yaitu Islam, Iman dan Taqwa. Islam, baik yang diturunkan sejak Nabi Adam maupun Nabi Muhammad, merupakan sebuah penyerahan terhadap keesaan Allah. Sedangkan Iman, merupakan sebuah keyakinan bahwa tidak ada yang lebih tinggi dibanding Allah.
Samsul Maarif sendiri menilai bahwa pluralisme Cak Nur berdasar pada fondasi pluralisme Islam, yaitu Islam, Iman dan Taqwa. Islam, baik yang diturunkan sejak Nabi Adam maupun Nabi Muhammad, merupakan sebuah penyerahan terhadap keesaan Allah. Sedangkan Iman, merupakan sebuah keyakinan bahwa tidak ada yang lebih tinggi dibanding Allah.
Dalam konteks ini, kaum Muslim tidak sepantasnya menilai bahwa
posisinya lebih tinggi dibanding kaum non-Muslim, karena soal kebenaran agama
adalah hak Allah yang menentukan. Sedangkan makna taqwa, bukan sekadar
melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah. Tapi lebih dari itu,
ketaqwaan harus berimplikasi pada keadilan terhadap sesama manusia.
0 komentar :
Posting Komentar